Sepak terjang militer di pucuk pimpinan PSSI
Pada 2 November 2019, Komjen Pol Mochamad Iriawan atau akrab disapa Iwan Bule, menang mutlak terpilih menjadi Ketua Umum (Ketum) Persatuan Sepakbola Seluruh Indonesia (PSSI) periode 2019-2023, dalam kongres luar biasa PSSI di Hotel Shangri La, Jakarta. Ia menyingkirkan dua pesaingnya, yakni Arif Putra Wicaksono dan Rahim Soekasah.
Ia tercatat sebagai Ketum PSSI berlatar belakang polisi pertama, dalam sejarah federasi sepak bola nasional. Sebelumnya, jabatan Ketum PSSI kerap dipegang pengusaha dan pensiunan tentara.
Sejak dibentuk pada 1930, tampuk pimpinan PSSI sudah diisi 17 nama ketua umum dan tiga pelaksana tugas. Dari 17 nama itu, 9 nama memiliki latar belakang militer.
Orang dekat Sukarno
Ketika masa pemerintahan Sukarno, Raden Maladi menjadi Ketum PSSI berlatar belakang militer pertama. Ia menjabat pada 1950-1959. Menurut The Jakarta Post edisi 1 Mei 2001, selain dikenal sebagai pencipta lagu, ketika revolusi fisik pada 1945-1949, ia bertugas di militer. Ia pensiun dengan pangkat mayor.
“Ia pernah menjadi penjaga gawang tim nasional Indonesia, dengan nama samaran Wakidjan atau Suntiori,” tulis The Jakarta Post.
Surat kabar Java-bode edisi 30 Juli 1957 melaporkan, dalam kongres PSSI di Padang, Maladi kembali terpilih menjadi Ketum PSSI. Ia memperoleh 67 suara, unggul dari pesaingnya, Kosasih Poerwanegara dan Sultan Hamengkubuwono IX.
Namun, Maladi sempat menyatakan dirinya tak memenuhi syarat untuk dipilih kembali. Ia juga mengatakan niatnya untuk mengabdi sepenuhnya menjadi Direktur Jenderal Radio Republik Indonesia (RRI). Ia menarik kembali keputusannya, usai didesak para wakil PSSI Jawa Tengah dan Jawa Timur.
Maladi digantikan Abdul Wahab Djojohadikoesoemo pada 1960. Kemudian, pada 1964, pucuk pimpinan PSSI dipegang Maulwi Saelan. Sama seperti Maladi, Maulwi juga mantan penjaga gawang tim nasional.
Nama Maulwi menjadi legenda ketika tampil apik saat melawan Uni Soviet di Olimpiade Melbourne 1956. Ia sanggup menahan gempuran Uni Soviet sampai waktu tambahan. Sayangnya, timnas Indonesia gagal melangkah lebih jauh, usai di pertemuan kedua, dibantai Uni Soviet 4-0.
Maulwi juga Ketum PSSI berlatar belakang militer. Menurut buku autobiografinya Kesaksian Wakil Komandan Tjakrabirawa: Dari Revolusi 45 sampai Kudeta 66 (2008), ia mengawali karier militernya kala bergabung dengan Laskar Pemberontak Republik Indonesia Sulawesi (Lapris) ketika revolusi fisik.
Saat dibentuk pasukan gerak cepat dengan nama Harimau Indonesia, Maulwi menjadi kepala stafnya. Ia kemudian menjadi perwira TNI. Pangkat terakhirnya adalah kolonel CPM. Jabatan terakhirnya adalah Wakil Komandan Resimen Tjakrabirawa, sebuah pasukan pengawal Bung Karno.
“Pak Maulwi Saelan orang dekat Bung Karno. Bung Karno ingin Ketua PSSI orang dekat, kebetulan juga dia ajudannya,” kata jurnalis senior olahraga Budiarto Shambazy saat dihubungi Alinea.id, Senin (18/11).
Budiarto mengatakan, Ketum PSSI pun dipilih karena kedekatannya dengan presiden. Sama seperti Sukarno, Soeharto yang punya kegemaran sepak bola pun menaruh perhatian terhadap PSSI. Ia punya kesamaan dengan Sukarno dalam memilih Ketum PSSI.
“Bukan hanya orang militer, tetapi juga dekat. Pak Harto bisa manggil kapan saja. Saat ada (kompetisi) Galatama, perhatian Pak Harto semakin besar. Sampai-sampai anaknya, Sigit Harjojudanto, punya klub sepak bola sendiri,” ucapnya.
Estafet militer masa Orba
Di masa Orde Baru, Bardosono menjadi Ketum PSSI dari militer selanjutnya, yang menjabat pada 1975-1977. Ia menggantikan posisi Kosasih Poerwanegara.
Majalah Tempo edisi 20 Agustus 1977 menulis, Bardosono terpilih secara aklamasi dalam kongres di Yogyakarta pada akhir 1974. Kongres itu tak lepas dari kecaman banyak pihak. Sebab, proses pemilihannya dipercepat sehari sebelum jadwal.
Bardosono adalah orang dekat Soeharto. Ia merupakan mantan komantan peleton tentara Pembela Tanah Air (Peta) di Yogyakarta pada masa pendudukan Jepang. Ia menjadi perwira TNI di Jawa Tengah, usai Indonesia merdeka. Pangkat terakhirnya adalah brigadir jenderal.
Rupanya, Bardosono tak piawai memegang jabatan Ketum PSSI. Tak sampai setahun, pengurus PSSI di bawah kepemimpinannya mengundurkan diri, seperti Ketua Bidang Organisasi Sutjipto Danukusumo, Ketua Bidang Kompetisi Kamaruddin Panggabean, dan Sekretaris Umum Hans Pandelaki.
Majalah Tempo edisi 15 November 1975 menulis, terjadi konflik internal di PSSI lantaran gaya kepemimpinan Bardosono yang otoriter. Bardosono berkilah, dalam menjalankan roda kepemimpinan, ia tetap berpedoman pada buku hijau, AD/ART PSSI, dan rutin melapor kepada Presiden Soeharto.
Di mata publik, pamor Bardosono pun redup. Salah satunya karena ia gemar bergurau yang tak terduga. Misalnya, tulis Tempo edisi 20 Agustus 1977, ketika PSSI Garuda tersingkir dengan kekalahan menyolok di turnamen Merdeka Games di Kuala Lumpur pada pertengahan 1975.
“Ia menyebut, hal itu sebagai strategi PSSI dalam menghadapi kejuaraan pra-Piala Dunia di Singapura. ‘Kalah 100-0 pun tak apa-apa. Biar lawan salah duga dengan kekuatan kita di Singapura nanti’,” tulis Tempo.
Namun, timnas kalah dalam pra-Piala Dunia di Singapura itu. Timnas hanya terhindar dari posisi juru kunci, masih lebih baik di atas Thailand.
Permasalahan di tubuh PSSI membuat Komite Olahraga Nasional Indonesia (KONI) turun tangan. Pada Mei 1977, KONI memberi alternatif atas permasalahan kepemimpinan Bardosono, yakni kongres luar biasa atau Ketum PSSI mengundurkan diri.
Bardosono akhirnya memilih mengundurkan diri dari kursi Ketum PSSI. Ia digantikan mantan Gubernur DKI Jakarta Ali Sadikin.
Menurut Teguh Limas Sarendra dalam PSSI di Masa Ali Sadikin (1977-1981): Galatama, Sebuah Era Baru Persepakbolaan Indonesia (2012), Ali Sadikin terpilih sebagai Ketum PSSI dalam sidang luar biasa yang diadakan pada 12-14 Agustus 1977 di Semarang. Ia unggul dari pesaingnya, Solichin GP dan Wahab Abdi.
Ali merupakan seorang Letnan Jenderal Korps Komando Angkatan Laut (KKO-AL). Ali menjawab isu suap pemain sepak bola dengan membentuk Liga Sepak Bola Utama (Galatama) pada 1978. Kompetisi sepak bola ini dikelola secara profesional, pemainnya juga menerima gaji dan bonus pertandingan.
“Keberhasilan yang dirasa cukup baik dan kesibukan Ali Sadikin di akhir-akhir masa kepengurusannya di dunia politik, membuat dirinya memutuskan untuk mengundurkan diri dari kursi jabatan di PSSI pada 6 Oktober 1980,” tulis Teguh.
Posisi Ali kemudian digantikan presidium, yang terdiri dari Suparjo Ponjowinoto, Sjarnoebi Said, dan Hans Pandelaki. Teguh menulis, para mantan staf Ali itu memimpin PSSI hingga kongres pada Agustus 1981.
Sjarnoebi Said, seorang brigjen purnawirawan menggantikan posisi Ali. Ia menjabat Ketum PSSI pada 1982-1983. Sjarnoebi memulai karier militer sebagai Kepala Dinas Intel Resimen Brigade Garuda Merah pada 1946. Ia pernah menjadi Staf Pribadi KSAD (1959-1961) dan Staf Komando Tertinggi Operasi Ekonomi (1964-1967).
Menurut Erik Destiawan dalam skripsinya Galatama 1979-1994 (Perkembangan Sepak Bola Non-Amatir di Indonesia) (2010), Sjarnoebi mendapat banyak dukungan dari komite daerah PSSI, ketika tugas kunjungan ke daerah-daerah sebagai ketua bidang liga di masa Ali.
Sjarnoebi pintar mencari peluang. Erik menulis, saat klub Yanita Utama dibubarkan, para pemain hebatnya ditampung dalam klub baru miliknya, Kramayudha Tiga Berlian. Hasilnya, klub ini menjadi kesebelasan yang tangguh. Klub ini dua kali menyabet gelar juara Galatama dan tiga kali Piala Liga, serta peringkat ketiga Piala Antarklub Asia 1986.
Pada 1983, estafet Ketum PSSI kemudian diteruskan oleh Kardono. Jenderal bintang tiga di TNI AU ini menjabat dari 1983-1991. Ia pernah pula menjadi Sekretaris Militer Presiden Soeharto.
Aksi Kardono di sepak bola nasional menonjol saat menghabisi pengaturan skor. Erik menulis, klub Cahaya Kita dibekukan segala kegiatannya karena terjerat kasus suap. Ia mengeluarkan keputusan PSSI bernomor 28/IV/1984.
“Inilah untuk pertama kali PSSI menindak anggota Galatama,” tulis Erik.
Pengamat sepak bola sekaligus Koordinator Save Our Soccer (SOS) Akmal Marhali mengatakan, Kardono berani membabat oknum pengaturan skor dan judi berbekal Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1980 tentang Tindak Pidana Suap.
Azwar Anas menggantikan posisi Kardono pada 1991. Ia menjabat hingga 1999. Azwar merupakan anggota TNI AD, dengan pangkat terakhir letnan jenderal. Ketika menjadi Ketum PSSI, Azwar masih menjabat sebagai Menteri Perhubungan.
Abrar Yusra dalam bukunya Azwar Anas: Teladan dari Ranah Minang (2011) menjelaskan, menurut kesaksian Kardono, Presiden Soeharto secara pribadi menyatakan Ketum PSSI diserahkan kepada Azwar.
Di masa kepemimpinannya, berembus isu pengaturan skor. Ia lantas membentuk tim khusus bernama Tim Pemberantasan Mafia Perwasitan (TPMP). Azwar menghukum banyak wasit yang diduga terlibat suap. Salah satunya koordinator wasit Djakfar Umar yang bersertifikat internasional, dengan hukuman 10 tahun.
Nasib miris menimpa Azwar. Ia yang berusaha membersihkan skandal suap di dalam negeri, justru tergelincir pertandingan memalukan “sepak bola gajah” di Piala Tiger pada 1998.
Saat itu, Indonesia yang di atas kertas sudah pasti bisa menang melawan Thailand, malah kalah karena gol bunuh diri Mursyid Effendy. Ada dugaan, Indonesia sengaja mengalah agar terhindar dari tuan rumah Vietnam di semifinal.
Menurut Retno Kustiati dan Fenty Effendy dalam buku Agum Gumelar: Jenderal Bersenjata Nurani (2004), pertandingan sepak bola gajah itu membuat Azwar mengundurkan diri.
Ketum PSSI itu seksi
Pada 1999, Jenderal TNI Agum Gumelar meneruskan kepemimpinan di PSSI. Ia menjabat pada 1999-2003. Agum adalah Ketum PSSI berlatar belakang militer pertama setelah kejatuhan Soeharto. Pada 2016-2019, PSSI kembali dinakhodai militer, yakni Letnan Jenderal TNI AD Edy Rahmayadi.
Menurut Akmal Marhali, sejak 2004 pemilihan Ketum PSSI berjalan lebih demokratis. Mereka yang terpilih lebih disebabkan keberhasilannya meyakinkan pemilih atau voter.
“Terakhir (yang berlatar belakang militer) Pak Agum yang dipilih secara aklamasi. Selebihnya, dipilih dengan pemungutan suara, seperti Edy Rahmayadi,” kata Akmal.
Sementara itu, Budiarto Shambazy berpendapat, Ketum PSSI dari kalangan militer diharapkan mampu menjaga keamanan karena bisa mengerahkan pasukan bersenjata. Selain itu, kata dia, juga dianggap bisa memetakan gerak-gerik para penjudi dan bandar judi bola.
“Para penjudi dan bandar takut kalau ada Ketum PSSI dari militer. Jadi, mereka enggak berani menyuap pemain dan wasit. Mereka berjudi, ya berjudi saja, tidak mengganggu pertandingan,” ujar Budiarto.
Akmal menuturkan, entah dari sipil atau militer, Ketum PSSI harus berorientasi membenahi sepak bola nasional. Ia khawatir, PSSI hanya dijadikan sebagai batu loncatan karier belaka.
Hal ini bisa dilihat dari sosok Edy Rahmayadi. Kata Akmal, Edy justru tak merepresentasikan harapan Ketum PSSI dari kalangan militer, seperti tegas, disiplin, dan berani mengambil keputusan.
Budiarto pun menganggap, tantangan Ketum PSSI lebih berat ketimbang memimpin asosiasi olahraga lain. Ia mengatakan, jabatan ini begitu seksi lantaran mampu mengatrol pamor. Jabatan ini kerap menjadi batu loncatan karier politik.
“Pada masa Orde Baru, sudah dikenal pemeo Ketum PSSI lebih populer daripada presiden karena masuk tv tiap hari, tetapi kalau gagal habislah. Apalagi kalau timnas kalah melulu,” ucapnya.
Di sisi lain, Akmal mengatakan, Ketum PSSI dari sipil maupun militer punya karakter masing-masing. Namun, semua ditentukan eksekusinya.
“Tegas, tetapi tidak dieksekusi, percuma saja,” ujar Akmal.