close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Bupati Minahasa Selatan Tetty Paruntu gagal menjadi menteri Jokowi lantaran pernah jadi saksi kasus korupsi. / Antara Foto
icon caption
Bupati Minahasa Selatan Tetty Paruntu gagal menjadi menteri Jokowi lantaran pernah jadi saksi kasus korupsi. / Antara Foto
Nasional
Jumat, 25 Oktober 2019 05:01

Separuh menteri Jokowi-Amin tersangkut kasus korupsi

Bupati Minahasa Selatan Tetty Paruntu gagal menjadi menteri Jokowi lantaran pernah jadi saksi kasus korupsi.
swipe

Istana Negara dinilai bertindak diskriminatif terhadap Bupati Minahasa Selatan Christiany Eugenia Tetty Paruntu atau Tetty Paruntu yang gagal menjadi menteri menjelang pengumuman Kabinet Indonesia Maju oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi).

Koordinator Tim Pembela Demokrasi Indonesia (TPDI) Petrus Selestinus mengatakan, Tetty Paruntu ditolak bertemu Presiden Jokowi, hanya karena pernah menjadi saksi dalam perkara dugaan korupsi di Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

"Ini namanya politisasi bahkan kriminalisasi posisi seorang saksi yang di mata KUHAP (Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana) sangat terhormat," kata Petrus dalam siaran pers yang diterima Alinea.id di Jakarta, Kamis (24/10).

Menurut dia, mantan Bupati Minahasa Selatan dari Partai Golkar itu dijegal hanya karena pernah berstatus menjadi saksi, sementara sisi profesionalitas dan kemampuannya diabaikan Istana.

Padahal, kata advokat Peradi ini, kesaksian Tetty dibutuhkan sesuai KUHAP guna menemukan dan menentukan secara jelas apakah suatu peristiwa yang terjadi benar-benar sebagai peristiwa pidana.

"Maka sesungguhnya Istana sedang mempraktikkan politik mendeligitimasi kedudukan dan fungsi seorang saksi dalam proses hukum yaitu membantu penegak hukum membuat sebuah perkara yang sedang ditangani menjadi terang" ujarnya.

Petrus lebih lanjut mengatakan, apa yang terjadi dengan Tetty Paruntu di Istana bisa berkembang meluas, bahkan memberi citra buruk kepada siapa pun yang hendak menjadi saksi di KPK. Menurutnya, orang akan enggan menjadi saksi manakala kedudukan sebagai saksi itu dikaitkan dengan hilangnya kesempatan menjadi pejabat publik termasuk menteri.

"Seakan-akan seorang saksi identik dengan pelaku yang terlibat dalam pertanggungjawaban pidana," jelas dia.

Petrus menilai ada standar ganda yang diterapkan Istana saat menyeleksi para menteri. Itu berkaca dari sejumlah menteri yang pernah dipanggil KPK sebagai saksi.

"Jika demikian kriteria di internal Istana, maka mestinya Sri Mulyani, Airlangga Hartato, Agus Gumiwang, Tjahjo Kumolo, Yasona Laoly, Ida Fauziah, Zainuddin Amali, Abdul Halim Iskandar, Basuki Hadimuljono, Syahrul Yasin Limpo, bahkan hampir setengah dari calon menteri yang dipanggil Presiden Jokowi rata-rata pernah diperiksa sebagai saksi dan berpotensi jadi tersangka oleh KPK," katanya lebih lanjut.

"Sehingga seharusnya merekapun diperlakukan sama, yaitu ditolak hadir di Istana dan tidak diangkat jadi menteri, karena pernah jadi saksi di KPK," pungkas Petrus. 

img
Marselinus Gual
Reporter
img
Sukirno
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan