Seputar penolakan dan desakan membatalkan pembahasan RKUHP
Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP) untuk memperbarui KUHP warisan zaman kolonial Belanda, masih menjadi polemik di kalangan masyarakat. Oleh karenanya, muncul desakan agar pemerintah dan DPR RI tak perlu tergesa untuk mengesahkannya.
Wakil Ketua Majelis Hukum dan HAM Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah, Maneger Nasution menyatakan, tindak pidana khusus seperti Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) tidak perlu dimasukkan dalam kodifikasi R-KUHP. Karena selain akan melemahkan posisi undang-undang tipikor, kodifikasi hukum pidana juga tidak memiliki dasar yang kuat dalam konstitusi negara.
Tipikor yang termasuk ke dalam tindak pidana Lex Specialis, memiliki lembaga khusus yang menangani dan UU sendiri sebagai payung hukumnya. Karenanya Maneger mempertanyakan bagaimana jadinya jika tindak pidana khusus ini ditangani Polisi dan Kejaksaan.
"Sementara selama ini sebagai bangsa, kita sudah bersepakat dan meyakini, lembaga Kepolisian dan Kejaksaan kita yang secara organik menangani kasus tersebut, sebetulnya belum seutuhnya bisa diandalkan," katanya di kantor PP Muhammadiyah, di Jakarta, Kamis (7/6).
Menurutnya, hal ini terbukti dengan pembentukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan penerbitan UU Tipikor. Sejak awal kelahirannya, lembaga antirasuah ini sudah unjuk gigi dan membuktikan diri dapat menjadi pegangan dalam upaya pemberantasan korupsi. Karenanya Maneger menyarankan agar Presiden dan DPR tidak mempertimbangkan delik pidana korupsi masuk ke dalam KUHP agar kewenangan KPK tidak dipangkas. Dia melihat, jika publik tidak berhati-hati, maka akan menjadi lonceng kematian bagi KPK.
"Masuknya Tipikor ke dalam RKUHP sulit untuk dibantah dengan tujuan melemahkan KPK," tegasnya.
Selain itu, delik pidana khusus lainnya adalah berkenaan dengan narkotika dan zat psikotropika. Status bangsa yang masih mengalami darurat narkoba, menjadi bahan pertimbangan agar tidak memasukkan delik tersebut ke dalam KUHP.
Selanjutnya, delik pengadilan HAM berat, karena juga telah ada payung hukum yang lebih khusus mengatur hal tersebut, yaitu UU HAM dan Pengadilan HAM. Kewenangan Komnas HAM dalam melakukan penyelidikan, atas adanya pelanggaraan HAM berat, nantinya juga akan dilemahkan jika hal ini masuk dalam KUHP.
"Kita melihat data pengaduan ke Komnas HAM, hampir semua pelaku, oknum pelanggar HAM itu masih negara, lalu kemudian kita kasih kepada mereka untuk mengadili diri sendiri?," katanya.
Delik khusus lainnya yang menjadi perhatiannya yaitu yang berkaitan dengan lingkungan hidup. Alasan PP Muhammadiyah melakukan penolakan tersebut, kata Maneger, disebabkan banyaknya kasus ini sehingga diperkirakan akan menimbulkan overload penanganan.
Maka itu, PP Muhammadiyah mengharapkan jiwa besar dan ketegasan presiden agar berkenan memerintahkan kepada menteri terkait, untuk menarik draft RKUHP dari DPR untuk dilakukan peninjauan kembali dengan melibatkan unsur-unsur masyarakat sipil dan penggiat anti korupsi, sebagai wujud nyata terhadap penghormatan Pancasila.
Muhammadiyah juga mendorong elit parpol dan DPR agar mengeluarkan ketentuan delik khusus tindak pidana korupsi dan lainnya, dari sistem KUHP dan memperberat ancaman hukuman.
Wakil Ketua Lembaga Hikmah Kebijakan Publik PP Muhammadiyah, Abdullah Dahlan menambahkan, adanya pengaturan tindak pidana korupsi kedalam R-KUHP, justru semakin menunjukkan pelemahan.
"Adanya RKUHP tersebut justru bukan menguatkan pada konteks tindak korupsi, naun melemahkan (UU) tindak pidana korupsi," katanya
Terdapat sejumlah poin yang dimaksud Abdullah dengan pelemahan itu. Pertama, adanya pengurangan hukuman dalam RKUHP yang hanya 2 tahun, sedangkan dalam UU Tipikor 4 tahun. RKUHP juga tidak mencantumkan pidana tambahan berupa penggantian kerugian negara, sebagaimana yang tertera dalam UU Tipikor.
Dahulukan terjemahan resmi
Lebih jauh, Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat (LBH Masyarakat), Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), dan Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), meminta agar pembahasan RKUHP ditunda. Mereka juga berencana melayangkan gugatan terhadap Pemerintah, DPR, dan Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham), ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada Jumat (8/6) besok.
Ketiga lembaga tersebut menuntut agar Presiden menyatakan permintaan maaf dalam lima media cetak, karena telah lalai tidak menetapkan terjemahan KUHP secara resmi.
“Sedangkan dalam tuntutan provisi, kami minta untuk segera diterjemahkan KUHP tersebut, dan tunda dulu pembahasan Rancangan KUHP (RKUHP),” jelas Sustira Dirga, peneliti ICJR saat ditemui di kantor LBH Masyarakat, Jakarta Selatan, Kamis (7/6).
Koordinator Advokasi dan Penanganan Kasus LBH Masyarakat, Afif Abdul Qoyim menjelaskan, KUHP yang dimiliki Indonesia hingga saat ini merupakan warisan dari kolonial Belanda dan masih berbahasa Belanda. Meski beredar beberapa versi terjemahan KUHP, tetapi belum ada satupun terjemahan resmi KUHP yang berasal dari pemerintah.
“Sejak diundangkannya Undang-undang Nomor 24 tahun 2009, salah satunya tentang Bahasa, kan mewajibkan Undang-undang dibuat dalam Bahasa Indonesia. Nah sekarang kita memiliki permasalahan di KUHP yang diundangkan sejak tahun 1946 belum diterjemahkan dari Bahasa Belanda,” kata Afif Abdul Qoyim.
Menurut Afif, dengan tidak adanya terjemahan resmi, KUHP akan menimbulkan multitafsir dan ketidakpastian hukum. “Karena ketidakjelasan soal rumusan pasal itu, maka itu menjadi permasalahan dalam proses penegakan hukum, karena kan seharusnya penegakan hukum itu harus jelas, pasti,” jelasnya.
Selama ini, Kejaksaan Agung, sesuai SEJA Nomor: SE-005/A/JA/2009, memerintahkan jajarannya untuk menggunakan terjemahan KUHP terbitan Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN). Namun, BPHN sendiri tidak pernah mengklaim dirinya sebagai intitusi yang menetapkan secara resmi terjemahan KUHP, yang dibuat sebagai terjemahan resmi pemerintah.
Akibat ketiadaan terjemahan resmi tersebut, Afif mencontohkan pada tahun 2012, Pengadilan Negeri Jakarta Barat memutus sebuah sengketa perdagangan antara satu perusahaan Indonesia dengan perusahaan asal Amerika. Sengketa tersebut diakibatkan oleh sebuah perjanjian pinjam-meminjam tahun 2010, yang dibuat tidak dengan Bahasa Indonesia.
Pada 2012, perusahaan Indonesia ini menggugat ke Pengadilan karena merasa dirugikan dengan ketentuan-ketentuan yang ada dalam perjanjian yang dibuat. “Hingga akhirnya kasasi dibatalkan,” cerita Afif.
Dirga menyambung, ICJR juga pernah melakukan judicial review tentang pasal makar yang dalam Bahasa Belanda Aanslag, berarti serangan. “Tapi akhirnya hakim menolak gugatan kita dan Aanslag tidak dimaknai sebagai serangan,” ujar Dirga.
Menurut Afif, Pemerintah telah melakukan perbuatan melanggar hukum yaitu Undang-undang Nomor 24 Tahun 2009 karena mendakwa seorang pesakitan tanpa terjemahan resmi. Ia juga menyayangkan DPR tidak berinisiatif untuk menjalankan fungsi pengawasannya terhadap hal ini.
Kado kemerdekaan
Tim perumus RKUHP dari pemerintah kerap kali mengatakan jika RKUHP yang rencananya akan disahkan pada 17 Agustus 2018 mendatang, merupakan kado kemerdekaan ke-73 bagi Indonesia. Bambang Soesatyo, Ketua DPR RI dan Enny Nurbaningsih, Kepala BPHN dan Ketua Tim Pemerintah untuk pembahasan KUHP, adalah sejumlah pihak yang menyatakan hal tersebut.
"Hari ini digadang-gadangnya RKUHP akan disahkan pada 17 Agustus sebagai kado kemerdekaan, yang bahasanya kita menggantikan warisan kolonial dengan produk kita sendiri,” ucap Dirga. Dirga mengatakan jika ingin anti terhadap produk kolonial, mengapa RKUHP tidak disahkan sejak 1946.
Dirga dan Afif memiliki kekhawatiran jika nantinya penggunaan bahasa “kado kemerdekaan” tersebut akan dijadikan alat dagangan politik. “Masyarakat awam pasti akan mikir 'wah', karena bahasanya 'kado kemerdekaan', padahal masih banyak pasal-pasal yang bermasalah dalam RKUHP ini,” jelas Dirga.
“Mungkin sebaiknya kita bertanya lagi, bukankah hadiah untuk Indonesia sudah sepatutnya diberikan dengan menghargai Bahasa Indonesia itu sendiri?” tanya Afif. Afif menegaskan jika memang ingin memberi hadiah bagi Indonesia, sebaiknya Pemerintah Indonesia tidak lari dari tanggung jawab yang sungguh penting, yaitu menerjemahkan KUHP.
Afif mengingatkan ketiadaan terjemahan resmi KUHP telah menimbulkan kerugian immaterial yang secara praktik, sulit dihitung nilainya. “Kepastian hukum macam apa yang ingin dicapai ketika tidak memiliki dokumen resmi yang jelas untuk kitab pidananya?” kata Afif.