Serba salah vaksin Nusantara
Puja-puji diutarakan mantan Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Dahlan Iskan terhadap vaksin Nusantara yang kini tengah dikembangkan tim peneliti Universitas Dipenogoro (Undip), RSUP Kariyadi Semarang, dan Balitbang Kementerian Kesehatan.
Dalam tiga seri tulisan yang diunggah di laman disway.id, beberapa hari lalu, Dahlan mengulas tuntas vaksin inisiatif eks Menkes Terawan Agus Putranto itu, mulai dari keampuhannya, cara kerjanya, hingga orang-orang yang berjasa di belakang layar.
Menurut Dahlan, jika sukses dikembangkan, vaksin dengan teknologi pengembangan sel dendritik itu bakal menuntaskan pandemi di Indonesia secara permanen. Pasalnya, vaksin Nusantara bisa menghasilkan antibodi hingga seumur hidup.
"Tidak seperti vaksin yang sudah ada: hanya bertahan 1 tahun. Ada yang bilang 9 bulan. Bahkan lebih pendek lagi. Artinya, kalau pandemi tidak selesai 6 atau 9 bulan lagi kita harus vaksinasi lagi," tulis Dahlan.
Keunggulan lain vaksin Nusantara adalah metode sekali suntik dan bisa disimpan di suhu lemari pendingin biasa. Kalau listrik mati pun, Dahlan mengklaim vaksin Nusantara tidak bakal rusak. "Berarti cocok sekali dengan kondisi Indonesia," imbuh dia.
Saat ini, vaksin Nusantara telah lolos uji klinis tahap 1. Menurut Dahlan, jika semua proses teknis selesai, Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM) bisa menerbitkan izin pemakaian darurat pada awal Mei 2021.
"Bukan main kebanggaan nasional kalau itu bisa terwujud. Kalau semua tahapan lancar maka Indonesia akan benar-benar bisa menyalip di tikungan. Sekaligus di banyak kelokan," kata dia.
Pada bagian lain tulisannya, Dahlan mengulas soal cara kerja vaksin Nusantara. Pertama, darah pasien diambil sebanyak 40 cc dan dimasukkan ke sebuah tabung yang terdiri dari tiga kamar.
Kamar pertama, kata Dahlan, untuk proses pemisahan darah merah dan darah putih. Kamar kedua, untuk menyimpan darah merah dan kamar ketiga untuk menampung darah putih.
Pada kamar ketiga, sudah ada antigen Covid-19 sehingga darah putih langsung tercampur. Tabung itu kemudian dibiarkan selama satu pekan. Selama itu, proses "pendidikan" terhadap sel-sel dendritik pada darah putih terjadi di kamar ketiga.
Pada hari ketujuh, darah putih disedot oleh alat suntik untuk dimasukan kembali ke tubuh pasien. "Maka otomatis tubuh kita sudah memiliki anti virus Covid-19. Tidak perlu menunggu 2 atau 3 minggu," tulis Dahlan.
Pada seri terakhir tulisannya, Dahlan mengungkapkan nama Prof Hans Keirstead sebagai penemu teknologi obat Covid-19 itu. Hans adalah CEO AIVITA Biomedical Inc yang berbasis di California, Amerika Serikat. Perusahaan itu, kata Dahlan, meriset aplikasi sel dendritik untuk pengobatan kanker otak.
Menurut Dahlan, riset itulah yang "dibelokan" untuk mengatasi pandemi Covid-19. "Ia (Hans) pada kesimpulan: bisa. AITAVA Biomedical itulah yang kemudian dibawa dokter-Jenderal Terawan ke Indonesia. Untuk dijadikan vaksin Nusantara," tulis Dahlan.
Efektivitasnya diragukan
Optimisme dan klaim keampuhan vaksin Nusantara tak sepenuhnya ditanggapi positif oleh kalangan peneliti dan epidemolog. Sejumlah pakar malah mempertanyakan kabar vaksin Nusantara lolos uji klinis tahap satu yang terkesan tiba-tiba.
Salah satunya adalah ahli biologi molekuler Ahmad Rusdan Handoyo. Ia mengaku heran Terawan mengembangkan vaksin berbasis sel dendritik. Menurut Ahmad, Indonesia belum memiliki banyak fasilitas penunjang pengembangan sel dendritik untuk vaksin.
"Kenapa mesti di Indonesia? Fasilitas dan segala macam itu lebih banyak di negara-negara maju," ujar Ahmad saat dihubungi Alinea.id, Kamis (25/2).
Tak hanya soal fasilitas saja, Ahmad juga mempertanyakan urgensi pengembangan vaksin berbasis sel dendritik. Menurut dia, vaksin semacam itu terlalu rumit untuk dikembangkan. Ia menduga alasan itulah yang menyebabkan tak ada negara maju yang mengadopsi pendekatan vaksin Nusantara.
Lebih jauh, Ahmad mengatakan, pendekatan sel dendritik juga tak tepat untuk vaksin Covid-19. Pasalnya, sel dendritik tidak berfungsi untuk memicu sel B atau antibodi, melainkan sel T.
Tugas sel T, kata Ahmad, berpatroli untuk melenyapkan sel yang telah terinfeksi virus. "Sedangkan vaksin yang sel B (antibodi) itu mencegah jangan sampai virusnya masuk," jelas dia.
Rekayasa sel dendritik, jelas Ahmad, merupakan metode yang sering digunakan pada pengobatan pasien kanker. Karena itu, metode itu lebih tepat jika diberikan kepada pasien yang telah terinfeksi virus Sars-Cov-2.
"Sel dendritik ini adalah vaksin terapi sebetulnya. Padahal, vaksin itu biasanya untuk pencegahan. Artinya, disuntikan sama orang yang belum sakit," ucapnya.
Metode sel dendritik dikembangkan untuk mengobati kanker lantaran kanker merupakan sel yang piawai memanipulasi sel imun. Sel-sel kanker, kata Ahmad, lazimnya menciptakan semacam "topeng" sehingga tidak dikenali sel imun.
Karena itu, sel dendritik diambil dari dalam tubuh untuk "dididik" di laboratorium supaya bisa mengenali sel kanker. Setelah lulus, sel dendritik kemudian dikembalikan ke dalam tubuh untuk melenyapkan kanker.
"Jadi sel dendritik dan sel kanker dari pasien itu diambil, lalu sel kanker yang tadi pakai topeng itu kita buka identitasnya. Kita ekspos ke sel dendritik supaya sel dendritik itu tahu sel kanker dan bisa jadi edukator bagi sel T untuk melawan sel kanker," tutur dia.
Logika penyembuhan menggunakan terapi sel dendritik, menurut Ahmad, tidak tepat diterapkan pada kondisi pandemi. Pasalnya, mayoritas populasi belum terjangkit Covid-19 dan butuh vaksin yang mampu mencegahnya.
"Kalau kita fokus ke sel T, artinya kita membiarkan virus ini masuk ke dalam sel-sel kita dan berharap sel T kita bisa menghancurkannya. Perlawanannya enggak bakal optimal kalau kita melawan dengan cara menunggu virus masuk ke rongga dalam. Kalau seperti ini, kami khawatir efikasinya justru rendah," ujarnya.
Keampuhan vaksin berbasis terapi sel dendritik juga tak bisa dipukul rata. Menurut Ahmad, kesuksesan vaksin semacam itu sangat tergantung pada kemampuan sel dendritik setiap individu dalam mengenali dan melawan virus.
"Jadi, efikasinya juga berbeda-beda. Ini juga harus dikultur di laboratorium yang sangat canggih. Dalam artian, laboratorium yang sangat berhati-hati. Jangan sampai sel dendritik itu terkontaminasi jamur dan bakteri," ujar Ahmad.
Jika berbasis tahapan penelitian, menurut Ahmad, vaksin Nusantara juga potensial kehilangan momen. Pasalnya, vaksin itu saat ini masih menjalani uji klinis tahap dua. "Bisa jadi, ketika mereka mulai tahap tiga itu, pandeminya sudah reda. Jadi, kita enggak tahu berhasil apa enggak vaksin itu," kata dia.
Berbasis dokumen milik US National Library of Medicine, pengembangan vaksin Nusantara baru dimulai pada 7 Desember 2020. Kajian tahap awal baru tuntas pada 31 Januari 2021 dan hasil penelitian tahap akhir dinyatakan bakal tuntas pada 31 Januari 2022.
Tidak boleh tergesa-gesa
Kepada Alinea.id, epidemiolog dari Universitas Airlangga (Unair) Windhu Purnomo mengatakan penelitian vaksin Nusantara tidak boleh tergesa-gesa. Apalagi, belum ada kajian ilmiah yang mengulas hasil penelitian awal vaksin dengan metode itu.
"Mestinya bila ini adalah jenis vaksin baru tentu melewati fase praklinik, (dimulai) uji in silico (pemodelan), diikuti uji in vitro (pada jaringan atau sel), dan uji in vivo atau pada hewan," ujarnya saat dihubungi, Rabu (24/2).
Dari sisi epidemiologi, menurut Windhu, vaksin yang "personal" seperti vaksin Nusantara juga tidak tepat untuk mengatasi pandemi Covid-19. Pasalnya, proses pembuatannya tergolong lebih ribet ketimbang vaksin-vaksin yang sudah ada.
"Jelas tidak cocok untuk vaksinasi massal yang bertujuan mencapai herd immunity secepat mungkin. Vaksin jenis ini bukan untuk pengendalian pandemi di tingkat populasi, tapi lebih untuk proteksi individual. Itu pun kalau memang hasil ujinya sukses," jelas Windhu.
Anggota Komisi IX dari fraksi PDI-Perjuangan Rahmad Handoyo meminta agar pengembangan vaksin Nusantara tidak disikapi dengan narasi pesimistis. Alih-alih berdebat di ruang publik, ia meminta agar para pakar menunggu keputusan BPOM.
"Sebab narasi yang disampaikan bisa membingungkan masyarakat. Soal yang menentukan apakah itu abu-abu atau aman tidaknya bukan ranah akademisi yang mengeluarkan persetujuan dan menilai bukan juga seorang epidemiolog, tapi tugas BPOM," ujar Rahmad kepada Alinea.id, Kamis (25/2).
Menurut Rahmad, BPOM sudah punya pengalaman panjang menguji kelayakan suatu obat sebelum digunakan atau beredar di masyarakat. Selama ini, BPOM juga relatif aman dari intervensi dari eksternal.
"Enggak perlu khawatir. BPOM lembaga kredibel dan terpercaya. Lembaga ini pasti akan mengawal penelitian vaksin Merah Putih dan vaksin Nusantara," ujar Rahmad.
Supaya tidak menimbulkan polemik berkepanjangan, anggota Komisi VII DPR Mulyanto meminta agar hasil uji klinis tahap satu dan penelitian terkait vaksin Nusantara dibuka ke publik.
"Sebelum masuk ke BPOM. Bahkan, semua tahap uji ilmiah ini harus terbuka kepada masyarakat," kata dia.