Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) tidak setuju dengan wacana Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas PA) untuk membatalkan petunjuk teknis atau Juknis Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) DKI Jakarta.
Pasalnya, pembatalan dinilai akan berimbas pada nasib 31.011 calon siswa SMP dan 12.684 calon siswa SMA yang telah diterima jalur zonasi per Sabtu 27 Juni.
Diketahui, kebijakan PPDB memicu kegaduhan di ruang publik setelah pemberlakuan Surat Keputusan (SK) Dinas Pendidikan No.501 Tahun 2020 tentang Juknis PPDB untuk sekolah-sekolah negeri di DKI Jakarta.
“Tentu fase yang sudah dilalui beberapa minggu lalu akan dinyatakan tak sah. Kembali ke tahapan awal lagi. Ditambah para siswa yang sudah diterima via jalur afirmasi dan jalur prestasi non akademik yang sudah lebih dulu dibuka untuk Jakarta, tak mungkin diulang kembali,” ujar Wakil Sekretaris Jenderal FSGI Satriwan Salim dalam keterangan tertulis, Senin (29/6).
Menurut Satriwan, wacana Komnas PA bersama beberapa orang tua peserta didik justru semakin terlihat diskriminatif. Bahkan, lebih memperumit persoalan karena para orang tua calon siswa yang telah diterima pasti tidak akan tinggal diam begitu saja.
“Keputusan ini akan memperkeruh keadaan. Menyelesaikan persoalan diskriminasi siswa dengan membuat diskriminasi baru. Tentu tidak bijak, berpotensi melahirkan konflik horizontal jika opsi ini dipilih,” ucapnya.
Para orang tua belum lama ini melancarkan protes karena anaknya tidak diterima di sekolah negeri akibat sistem teknis penerimaan siswa baru berdasarkan usia.
Padahal, Pasal 25 Ayat 1 Permendikbud No. 44 Tahun 2019 tentang PPDB 2020 mengamanatkan prioritas jarak rumah calon peserta didik ke sekolah di zona yang sama berbasis kelurahan.
Sebagai wujud protes atas SK Disdik DKI Jakarta tersebut, para orang tua bersama Komnas PA, perwakilan guru dari FSGI, dan aktivis BEM Universitas Negeri Jakarta (UNJ) berunjuk rasa di depan Kemdikbud, Senayan, Jakarta hari ini.
Satriwan mengingatkan, agar persoalan PPDB DKI Jakarta tak diselesaikan berlarut-larut. Para calon siswa baru berpotensi menjadi korban dari sistem pendaftaran yang dinilai diskriminatif dan melanggar Permendikbud No. 44/2019.
“Jika ini berkepanjangan tak ada jalan tengah sebagai win-win solution, maka para siswa calon peserta didik baru makin tertekan melihat pemberitaan di media, mereka makin cemas dan tak menutup kemungkinan depresi, sebab mimpi bersekolah di sekolah negeri akan kandas,” tutur Satriwan.