Setahun jadi jubir pemerintah untuk Covid, inilah cerita Reisa
Satu tahun berlalu. Dua belas bulan, 366 hari sudah, Reisa Broto Asmoro bertugas sebagai juru bicara pemerintah untuk Covid-19 dan Duta Adaptasi Kebiasaan Baru. Selama kurun waktu itu, Reisa mengaku belajar bahwa setiap orang punya cerita yang berbeda dalam bersinggungan dengan Covid-19.
"Ada banyak masa berduka dan banyak lagi orang memiliki kisah lebih sedih dari yang saya alami. Memang sekilas, tidak ada yang baik tentang pandemi ini. Meski, saya bersyukur kepada Tuhan karena telah mampu melewati setahun yang tidak mudah ini, tetapi jujur saja, jika waktu boleh diulang, saya lebih suka menghindari pandemi. Saya lebih memilih mencari cara mencegahnya terjadi," papar dia kepada wartawan, Selasa (8/6).
Pandemi ini telah masuk ke semua sendi kehidupan secara dramatis. Mengubah hidup secara drastis, memberikan tantangan baru yang sebelumnya tidak pernah diperkirakan. Namun tetap harus mencari jawabannya.
Wabah ini telah merenggut para dokter, perawat, dan puluhan tenaga kesehatan terbaik yang berjuang tanpa lelah di garis depan untuk menyelamatkan nyawa orang lain. Ratusan dari mereka telah gugur, sebagiannya adalah kolega dan guru dirinya, sesama dokter.
"Kehilangan yang luar biasa yang sampai saat ini masih saya rasakan," ucap dia.
Tentunya juga gugurnya para pejuang ini adalah kerugian negara. Dalam rangka menjadi dokter, di Indonesia, seseorang harus menghabiskan setidaknya enam tahun belajar. Belum lagi serangkaian Pendidikan spesialis, pascasarjana, berbagai kursus, dan pemenuhan kualifikasi akademik lainnya yang harus mereka lalui untuk dapat disebut ahli di bidangnya. Mencetak dokter-dokter berikutnya bukanlah perjalanan singkat.
"Minggu ini menandai tahun pertama pengabdian saya sebagai juru bicara penanganan dan vaksinasi Covid-19 untuk pemerintah. Sekedar untuk menyegarkan ingatan kita, perjalanan yang menempatkan saya di tempat ini, dimulai oleh dua kasus positif ibu dan anak, tahun lalu, di Depok," ucap dia.
Kasus pertama dan kedua Covid-19 di Indonesia ini memicu perdebatan tentang bagaimana masyarakat harus menanggapi kejujuran dan keberanian orang yang secara terbuka menyatakan status kesehatan mereka. Covid-19 telah mengubah hidup, terutama privasi, bahkan tetangga mereka, dilanggar media dan netizen, demi judul berita sensasional dan konten media sosial yang viral.
Namun stigmatisasi terhadap pasien Covid-19 tidak berumur lama. Hari ini, kita malah melihat banyak orang malah saling membantu dan mendukung tetangga mereka, bahkan menyemangati orang-orang yang mereka tidak kenal sebelumnya, yang sedang melalui masa isolasi untuk sembuh dari infeksi.
Sekarang kita telah melihat banyak inisiatif berdasarkan solidaritas tinggi, menulari berbagai kelompok di seluruh Indonesia, menular cepat sebagai virus yang baik. Mereka saling membantu bukan saja pasien Covid-19, tetapi juga membantu mereka yang terkena dampak krisis ekonomi.
Inisiatif Desa Tangguh dan Jogo Tonggo adalah contoh virus baik yang menular. Inisiatif yang secara harfiah berarti menjaga tetangga adalah inspirasi Pemberlakukan Pembatasan Kegiatan Masyrakat berskala Mikro (PPKM Mikro). Dengan sebutan yang bervariasi di 34 provinsi, semangat yang sama untuk saling peduli dan mengawasi, atau bahkan saling merawat anggota masyarakat membutuhkan telah meluas di seluruh pelosok negeri.
Tentunya, pemerintah terus mencari cara untuk mencegah lebih banyak kematian dan memastikan masyarakat semakin aman dari ancaman virus corona ini. Kapasitas pengujian sampel (testing) telah meningkat dari 10 ribu menjadi lebih dari 50.000 sampel setiap hari.
Jumlah laboratorium telah berkembang menjadi sekitar 800 laboratorium di seluruh negeri. Ini adalah komitmen meningkatkan 3T (Testing,Tracing and Treatment) atau tes, telusur dan terapi yang ditekankan Presiden Joko Widodo sejak awal pandemi.
Peningkatan ini dimungkinkan dengan dukungan dari puluhan ribu tracers atau petugas pelacak kasus yang merupakan gabungan dari tenaga Kesehatan, dan polisi dan prajurit TNI.
Ribuan relawan juga direkrut dan dilatih untuk mendukung tracing, dan berbagai tugas yang biasa diemban tenaga Kesehatan. Mereka bertugas mulai dari penyedia layanan kesehatan tingkat terendah, seperti puskesmas sampai dengan di rumah sakit-rumah sakit rujukan.
Pandemi telah mengambil alih hampir 90 persen dari layanan yang disediakan oleh fasilitas kesehatan tingkat manapun. Laporan terbaru menunjukkan bahwa penanganan pandemi menambah sekitar 40% beban kerja dan jam operasional puskesmas di seluruh Indonesia.
Setelah pemerintah mengamati arus mudik dan arus balik, rumah sakit kembali diminta untuk meningkatkan kapasitas mereka dengan menambah jumlah bangsal isolasi dan tempat tidur di ruang gawat darurat mereka . Sejak Januari 2021, pemerintah memiliki hampir 1000 rumah sakit rujukan, sepuluh kali lebih banyak daripada kondisi di fase awal pandemi. Selain rumah sakit, Kementerian Kesehatan telah menambah lebih dari 8500 tenaga kesehatan untuk memperkuat pelayan Kesehatan saat ini. Pasukan tambahan ini terdiri dari dokter umum, spesialis, perawat dan staf pendukung lainnya.
Satu tahun berlalu. Dua belas bulan, 366 hari sudah, Reisa Broto Asmoro bertugas sebagai juru bicara pemerintah untuk Covid-19 dan Duta Adaptasi Kebiasaan Baru. Selama kurun waktu itu, Reisa mengaku belajar bahwa setiap orang punya cerita yang berbeda dalam bersinggungan dengan Covid-19.
"Ada banyak masa berduka dan banyak lagi orang memiliki kisah lebih sedih dari yang saya alami. Memang sekilas, tidak ada yang baik tentang pandemi ini. Meski, saya bersyukur kepada Tuhan karena telah mampu melewati setahun yang tidak mudah ini, tetapi jujur saja, jika waktu boleh diulang, saya lebih suka menghindari pandemi. Saya lebih memilih mencari cara mencegahnya terjadi," papar dia kepada wartawan, Selasa (8/6).
Pandemi ini telah masuk ke semua sendi kehidupan secara dramatis. Mengubah hidup secara drastis, memberikan tantangan baru yang sebelumnya tidak pernah diperkirakan. Namun tetap harus mencari jawabannya.
Wabah ini telah merenggut para dokter, perawat, dan puluhan tenaga kesehatan terbaik yang berjuang tanpa lelah di garis depan untuk menyelamatkan nyawa orang lain. Ratusan dari mereka telah gugur, sebagiannya adalah kolega dan guru dirinya, sesama dokter.
"Kehilangan yang luar biasa yang sampai saat ini masih saya rasakan," ucap dia.
Tentunya juga gugurnya para pejuang ini adalah kerugian negara. Dalam rangka menjadi dokter, di Indonesia, seseorang harus menghabiskan setidaknya enam tahun belajar. Belum lagi serangkaian Pendidikan spesialis, pascasarjana, berbagai kursus, dan pemenuhan kualifikasi akademik lainnya yang harus mereka lalui untuk dapat disebut ahli di bidangnya. Mencetak dokter-dokter berikutnya bukanlah perjalanan singkat.
"Minggu ini menandai tahun pertama pengabdian saya sebagai juru bicara penanganan dan vaksinasi Covid-19 untuk pemerintah. Sekedar untuk menyegarkan ingatan kita, perjalanan yang menempatkan saya di tempat ini, dimulai oleh dua kasus positif ibu dan anak, tahun lalu, di Depok," ucap dia.
Kasus pertama dan kedua Covid-19 di Indonesia ini memicu perdebatan tentang bagaimana masyarakat harus menanggapi kejujuran dan keberanian orang yang secara terbuka menyatakan status kesehatan mereka. Covid-19 telah mengubah hidup, terutama privasi, bahkan tetangga mereka, dilanggar media dan netizen, demi judul berita sensasional dan konten media sosial yang viral.
Namun stigmatisasi terhadap pasien Covid-19 tidak berumur lama. Hari ini, kita malah melihat banyak orang malah saling membantu dan mendukung tetangga mereka, bahkan menyemangati orang-orang yang mereka tidak kenal sebelumnya, yang sedang melalui masa isolasi untuk sembuh dari infeksi.
Sekarang kita telah melihat banyak inisiatif berdasarkan solidaritas tinggi, menulari berbagai kelompok di seluruh Indonesia, menular cepat sebagai virus yang baik. Mereka saling membantu bukan saja pasien Covid-19, tetapi juga membantu mereka yang terkena dampak krisis ekonomi.
Inisiatif Desa Tangguh dan Jogo Tonggo adalah contoh virus baik yang menular. Inisiatif yang secara harfiah berarti menjaga tetangga adalah inspirasi Pemberlakukan Pembatasan Kegiatan Masyrakat berskala Mikro (PPKM Mikro). Dengan sebutan yang bervariasi di 34 provinsi, semangat yang sama untuk saling peduli dan mengawasi, atau bahkan saling merawat anggota masyarakat membutuhkan telah meluas di seluruh pelosok negeri.
Tentunya, pemerintah terus mencari cara untuk mencegah lebih banyak kematian dan memastikan masyarakat semakin aman dari ancaman virus corona ini. Kapasitas pengujian sampel (testing) telah meningkat dari 10 ribu menjadi lebih dari 50.000 sampel setiap hari.
Jumlah laboratorium telah berkembang menjadi sekitar 800 laboratorium di seluruh negeri. Ini adalah komitmen meningkatkan 3T (Testing,Tracing and Treatment) atau tes, telusur dan terapi yang ditekankan Presiden Joko Widodo sejak awal pandemi.
Peningkatan ini dimungkinkan dengan dukungan dari puluhan ribu tracers atau petugas pelacak kasus yang merupakan gabungan dari tenaga Kesehatan, dan polisi dan prajurit TNI.
Ribuan relawan juga direkrut dan dilatih untuk mendukung tracing, dan berbagai tugas yang biasa diemban tenaga Kesehatan. Mereka bertugas mulai dari penyedia layanan kesehatan tingkat terendah, seperti puskesmas sampai dengan di rumah sakit-rumah sakit rujukan.
Pandemi telah mengambil alih hampir 90 persen dari layanan yang disediakan oleh fasilitas kesehatan tingkat manapun. Laporan terbaru menunjukkan bahwa penanganan pandemi menambah sekitar 40% beban kerja dan jam operasional puskesmas di seluruh Indonesia.
Setelah pemerintah mengamati arus mudik dan arus balik, rumah sakit kembali diminta untuk meningkatkan kapasitas mereka dengan menambah jumlah bangsal isolasi dan tempat tidur di ruang gawat darurat mereka . Sejak Januari 2021, pemerintah memiliki hampir 1000 rumah sakit rujukan, sepuluh kali lebih banyak daripada kondisi di fase awal pandemi. Selain rumah sakit, Kementerian Kesehatan telah menambah lebih dari 8500 tenaga kesehatan untuk memperkuat pelayan Kesehatan saat ini. Pasukan tambahan ini terdiri dari dokter umum, spesialis, perawat dan staf pendukung lainnya.
"Itulah sebagian dari statistik yang disenangi media. Angka-angka yang bisa berubah dalam
semalam," ucap dia.
Namun harus juga diingat bahwa pandemi tidak hanya mempengaruhi mereka yang tertular. Mereka yang berdiam diri di rumah, rajin memakai masker dan cuci tangan pakai sabun sesuai anjuran juga tetap terdampak.
Kesulitan ekonomi melanda keluarga Indonesia ditambah dengan tantangan psikologis baru membantu anak-anak belajar online sambil berkerja secara daring. Dengan segala keterbatasan akses ke sekolah dan perubahan pola perilaku hidup, termasuk berubahnya pola asupan gizi, anak-anak dan populasi rentan lainnya juga dihadapkan dengan risiko kesehatan lainnya di luar Covid-19.
Sebelum pandemi, banyak rumah tangga Indonesia mampu membeli cukup protein dan nutrisi penting lainnya untuk anak-anak mereka. Namun saat para orang tua, pencari nafkah utama, harus tinggal di rumah sementara atau gajinya dipotong karena kehadiran di tempat kerja lebih sedikit, menu harian yang tersedia setiap waktu di masa lalu, tampaknya menjadi kemewahan pada saat ini.
Karena Puskesmas harus menyesuaikan jam operasional dan beban pekerjaannya, cakupan program imunisasi dasar rutin dengan tambahan asupan gizi untuk bayi baru lahir dan balita
melorot drastis. Kondisi tersebut dapat menimbulkan masalah kesehatan di kemudian hari. Rumah sakit pun banyak dihindari karena orang tua takut mendekati fasilitas tempat penderita Covid-19 dirawat. Banyak anak Indonesia yang tingkat kesehatannya saat ini tidak terpantau dengan baik.
"Maka, risiko peningkatan kasus anak dengan gizi buruk, stunting dan masalah kesehatan mental akan bermunculan apabila kita biarkan," ucap dia.
Kabar baiknya adalah orang Indonesia terbukti tangguh dalam menghadapi krisis. Mereka tidak akan membiarkan pemerintah untuk bekerja sendiri. Gotong-royong antar individu dan komunitas adalah senjata rahasia di balik upaya mengatasi pandemi di negeri ini. Seorang siswa sekolah perawat mengajukan diri sebagai anggota tim
“Cobra” di Wisma Atlet. Seorang stand-up comic atau komedian menggunakan ponselnya untuk membuat para penontonnya tertawa terpingkal-pingkal di rumah atau fasilitas karantina pemerintah saat menjalani isolasi atau perawatan.
Ika Dewi Maharani, warga Surabaya, menjadi supir ambulans perempuan pertama yang mengantar pasien ke Wisma Atlet. Di Padang, Sumatera Barat, sebuah kisah luar biasa telah diceritakan tentang Dr Andani Eka Putra, kepala penelitian penyakit menular dan diagnostik Universitas Andalas. Didorong oleh mimpinya untuk melihat negara dan rakyatnya aman dari pandemi ini, dokter Andani
menggunakan tabungan pribadinya sebesar Rp850 juta untuk membangun laboratorium
pengujian sampel Covid-19. Dia membuka pintu labnya dan menyediakan pengujian sampel
secara gratis.
Memasuki bulan keenam sejak program vaksinasi digulirkan, masyarakat Indonesia mengantre di pos dan sentra vaksinasi. Tidak hanya mengantre untuk dirinya sendiri, tetapi juga untuk mendampingi lansia, guru, dan tokoh agama divaksinasi. Mobil, bus, ojek online, dan bahkan becak, digunakan untuk mengangkut lansia menemui petugas vaksinasi.
Beginilah cara orang Indonesia mempersonifikasikan ungkapan, “tidak ada yang aman sampai semua orang aman (no one is safe until everyone is safe).”
Masyarakat Indonesia adalah salah satu yang beruntung. Lebih dari 90 juta dosis Coronavac dari Sinovac , AstraZeneca dari Covax dan Sinopharm telah mendarat di bandara Soekarno Hatta dan sudah disuntikkan ke lebih dari dua puluh juta orang Indonesia.
Dan kabar baiknya tidak berhenti di situ, berbagai perguruan tinggi berkomitmen mengembangkan Vaksin Merah Putih dalam rangka menguatkan kemandirian. Para ilmuwan dari Lembaga Molekuler Eijkman, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Universitas Airlangga, Universitas Gadjah Mada, Universitas Indonesia, Institut Teknologi Bandung dan Universitas Padjajaran kini tengah berlomba mengembangkan vaksin produksi Indonesia.
"Pandemi mungkin sedikit melemahkan kita, tetapi juga telah menunjukkan resiliensi dan ketangguhan kita. Itulah hikmah dari serangkaian kegiatan komunikasi saya kepada publik sebagai jubir, bahwa bukan angka dan statistik yang paling penting, melainkan orang-orang, kisah ketangguhan manusia Indonesia adalah yang paling utama," ucap dia.