close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Toto ilustrasi pembukaan Sekolah/Pexels
icon caption
Toto ilustrasi pembukaan Sekolah/Pexels
Nasional
Rabu, 17 Februari 2021 09:52

Setahun pandemi Covid-19: Ortu siswa kesulitan bayar SPP, kasus putus sekolah terancam naik

KPAI ungkap temuan dampak Covid-19 terhadap sektor pendidikan di delapan provinsi.
swipe

Genap setahun sudah Indonesia dilanda pandemi Covid-19, tetapi hingga hari ini kasus baru masih tinggi. Imbasnya, mayoritas daerah menunda sekolah tatap muka dan memilih memperpanjang pembelajaran jarak jauh (PJJ).

Berdasarkan pengawasan Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), pandemi Covid-19 berpotensi kuat meningkatkan angka putus sekolah dan pernikahan anak.

Sebab, lanjut KPAI, tingginya angka pengaduan orang tua siswa, karena kesulitan membayar SPP (sumbangan pembinaan pendidikan) di berbagai daerah. Biasanya, kasus kesulitan mambayar SPP diselesaikan melalui mediasi dengan melibatkan dinas pendidikan setempat.

Pengaduan dari permintaan pengurangan SPP karena kebijakan PKK dan tunggakan SPP (3-10 bulan) membayangi semua jenjang pendidikan.

“Baik sekolah negeri maupun swasta, terbanyak sekoalh swasta,” ujar Komisioner KPAI Bidang Pendidikan, Retno Listyarti, dalam keterangan tertulis, Rabu (17/2).

Pengaduan tersebut, urai Retno, berasal dari delapan Provinsi yaitu DKI Jakarta (Jakarta Utara, Jakarta Pusat, Jakarta Timur, Jakarta Barat dan Jakarta Selatan), Jawa Barat (Bekasi, Kabupaten Bogor, Kota Bandung, dan Kabupaten Cirebon), Jawa Tengah (Kota Surakarta dan Kabupaten Temanggung), Banten (Kota Tangerang dan Kota Tangsel), Lampung (Bandar Bandung), Sumatera Utara (Kota Medan), Sulawesi Selatan (Kota Makassar), Bali (Kota Denpasar), dan Provinsi Riau (Kota Pekanbaru).

Pengaduan terbesar berasal dari DKI Jakarta (45,2%), Jawa Barat (22,58%), Banten (9,67%), Jawa Tengah (6,45%), Lampung (3,22%), Sumatera Utara (3,22%), Sulawesi Selatan (3,22%), Riau (3,22%); dan Bali (3,22%).

“Meskipun DKI Jakarta masuk pengaduan terbanyak, namun Dinas Pendidikan DKI Jakarta sangat kooperatif dalam upaya menyelesaikan dan memiliki program Kartu Jakarta Pintar (KJP) dan KJP Plus bagi anak-anak dari keluarga tidak mampu, sehingga memudahkan penyelesaian,” tutur Retno.

Di sisi lain, sambungnya, potensi meningkatnya angka putus sekolah juga disebabkan siswa menikah atau bekerja. PJJ disebut menjadi pemicu peserta didik berhenti sekolah, karena pernikahan dini atau siswa memilih bekerja membantu ekonomi keluarga karena orangtua kehilangan pekerjaan.

Berdasarkan pengawasan KPAI di 8 provinsi (semua provinsi di Pulau Jawa, NTB, dan Bengkulu), banyak kepala sekolah menyampaikan kabar peserta didik putus sekolah, karena masalah akses internet, hingga bekerja dan nikah.

Bahkan, jelas Retno, pihak sekolah mengetahui siswanya menikah atau bekerja dari kunjungan ke rumah peserta didik yang tidak pernah muncul lagi saat PJJ. Namun, ada beberapa kasus berhasil membujuk siswa dan orangtuanya untuk kembali bersekolah.

“Dari temuan KPAI, ada 119 peserta didik yang menikah, laki-laki maupun perempuan, yang usianya beriksar 15-18 tahun,” ucapnya.

Dari data diperoleh jenis pekerjaan para siswa umumnya pekerjaan informal, seperti tukang parkir, kerja di cucian motor, bekerja di bengkel motor, di percetakan, berjualan bensin di rumah, asisten rumah tangga (ART), hingga membantu usaha orang tuanya karena sudah tidak mampu lagi membayar karyawan.

Kemudian, PJJ juga berpotensi membuat peserta didik tidak naik kelas. Misalnya, dalam kasus ribuan siswa terancam tidak naik kelas di kota Cimahi karena rapor hasil belajar tidak tuntas. KPAI berencana pengawasan langsung pada 24-25 Februari ke beberapa sekolah di Kota Cimahi.

img
Manda Firmansyah
Reporter
img
Fathor Rasi
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan