close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Sejumlah polisi wanita (polwan) menuntun seorang nenek menyeberang jalan saat pembagian masker gratis di Kota Gorontalo, Gorontalo, Rabu (22/4/2020). /Foto Antara
icon caption
Sejumlah polisi wanita (polwan) menuntun seorang nenek menyeberang jalan saat pembagian masker gratis di Kota Gorontalo, Gorontalo, Rabu (22/4/2020). /Foto Antara
Nasional
Kamis, 05 Mei 2022 16:53

UU TPKS dan urgensi unit PPA naik kelas

Kehadiran UU TPKS harus dibarengi peningkatan kualitas penangana kasus kekerasan seksual.
swipe

Setelah enam tahun dibahas dan memunculkan beragam polemik, DPR RI akhirnya mengesahkan Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TPKS) menjadi UU. Beleid itu disahkan dalam sidang paripurna yang digelar di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, pertengahan April lalu.

Dipimpin langsung Ketua DPR RI Puan Maharani, pengesahan UU yang dibahas melibatkan lebih dari seratus kelompok masyarakat sipil tersebut berjalan tanpa kendala. Tak ada lagi fraksi yang menolak muatan UU yang terdiri dari 8 bab dan 93 pasal itu. 

"Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual adalah hasil kerja sama bersama. Ini sekaligus komitmen bersama kita supaya tidak ada ruang bagi kekerasan seksual," ujar Puan setelah mengetok palu tanda pengesahan UU tersebut.

Tercantum dalam Pasal 4 ayat 1 UU TPKS, setidaknya ada 9 kejahatan yang masuk dalam kategori tindak pidana seksual, yakni pelecehan seksual non fisik, pelecehan seksual fisik, pemaksaan kontrasepsi, pemaksaan sterilisasi, pemaksaan perkawinan, penyiksaan seksual, eksploitasi seksual, perbudakan seksual, dan kekerasan seksual berbasis elektronik. 

Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Wamenkumham) Edward Omar Sharif Hiariej memastikan UU tersebut tidak akan tumpang tindih dengan UU lainnya. Ia mencontohkan rumusan aborsi dan perkosaan yang "sengaja" tidak dibahas detail dalam UU tersebut. 

"Pemerkosaan dan persoalan aborsi sudah diatur dalam revisi KUHP yang akan disahkan selambat-lambatnya bulan Juni 2022 ini. Rumusan mengenai aborsi dan pemerkosaan dalam RKUHP itu kita nantikan bersama," ujar Eddy, sapaan akrab Edward, seperti dikutip dari Antara. 

Selain mengatur soal jenis kekerasan seksual, UU tersebut juga merinci hak-hak korban kekerasan seksual. Disebutkan dalam pasal 67 UU tersebut, korban kekerasan seksual memiliki tiga hak, yakni hak atas penanganan; hak atas perlindungan; dan hak atas pemulihan. 

UU TKPS juga mengatur hak restitusi atau ganti kerugian yang untuk para korban kekerasan seksual. Jika pelaku kekerasan seksual tidak bisa membayar restitusi, korban bahkan berhak mendapatkan ganti rugi dari negara. 

Ketua Komnas Perempuan Andy Yentriyani mengapresiasi langkah pemerintah dan DPR mengesahkan UU TPKS. Menurut dia, selama ini banyak kasus kekerasan seksual yang tidak tertangani dengan baik oleh kepolisian karena kekosongan payung hukum. 

Lebih jauh, ia berharap Polri segera menyusun langkah-langkah strategis untuk mengakomodasi UU TPKS. Salah satu upaya, usul Andy, ialah dengan membuat panduan penanganan korban kekerasan seksual berbasis isi UU tersebut. 

"Selain itu, kami juga mendorong agar Polri memperbanyak jumlah dan meningkatkan kapasitas polwan (polisi wanita) yang ada saat ini," kata Andy saat dihubungi Alinea.id di Jakarta, Selasa (26/4).

Selain karena kekosongan hukum, menurut Andy, kasus-kasus kekerasan seksual yang terjadi di masyarakat kerap tidak tertangani dengan baik karena minimnya personel di unit Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA) Polri. Ia berharap Polri mengangkat status unit tersebut menjadi sebuah direktorat khusus. 

"Kapasitas unit PPA seperti saat ini karena, secara institusi, dia tidak kuat. Unit ini seringkali tidak menjadi pilihan lokasi karier dan prioritas pengembangan infrastruktur. Dengan menjadikannya direktorat khusus, PPA akan punya ruang pengelolaan SDM (sumber daya manusia) yang lebih besar," kata Andy. 

Ilustrasi personel unit PPA Polri. /Foto dok. Polri

Naik kelas

Kepala Unit PPA Bareskrim Polri Kompol Ema Rahmawati membenarkan kepolisian kelimpungan menangani kasus-kasus kekerasan seksual lantaran terbatasnya personel. Itu diketahui dari kajian yang dilakukan Polri di sejumlah polda. 

"Ini membuat penyelesaian perkara terhambat. Antara jumlah perkara yang dilaporkan oleh masyarakat dengan personel yang melakukan proses penyelidikan itu perbandingannya sangat jauh," kata Ema kepada Alinea.id, Rabu (27/4). 

Berdasarkan pemetaan Polri, kasus kekerasan seksual paling marak terjadi di wilayah hukum Polda Jatim. Polda Metro Jaya bertengger di urutan kedua, diikuti Polda Sulsel, Polda Sumut, dan Polda Jabar. "Paling tinggi Polda Jatim karena wilayahnya luas. Ada 39 Polres di Polda Jatim," kata Ema.

Ema mengamini ada banyak pekerjaan rumah yang harus dituntaskan Polri merespons kehadiran UU TKPS. Selain mendongkrak jumlah personel, unit PPA juga harus menggelar beragam upaya untuk meningkatkan kualitas penyidik kasus-kasus kekerasan seksual. 

"UU TPKS ini juga kan menekankan bahwa APH (aparat penegak hukum) itu, mulai dari penyidik, penuntut umum, dan hakim yang menangani tindak pidana kekerasan seksual, harus ada syarat-syarat tertentu. Dia harus memiliki integritas, kompetensi, dan sudah mengikuti pelatihan-pelatihan," ujar Ema.

Selama ini, menurut Ema, unit PPA sudah rutin menggelar pelatihan bagi para personelnya. Sayangnya, personel unit PPA kerap dirotasi. Padahal, personel-personel tersebut sudah mendapat pendidikan khusus di Lemdiklat Polri. "Sehingga mereka tidak lagi memperkuat unit PPA," imbuh dia. 

Persoalan lainnya, lanjut Ema, terkait infrastuktur. Unit-unit PPA yang tersebar di sejumlah polda kerap tidak dilengkapi ruang pelayanan khusus (RPK). Walhasil, kasus-kasus kekerasan seksual kerap ditangani layaknya kasus pidana biasa. 

Padahal, penanganan kasus kekerasan seksual tidak bisa ditangani sembarangan. Korban atau pelaku yang berusia anak-anak, misalnya, harus didampingi pekerja sosial (peksos) dan pembimbing kemasyarakatan (PK) Balai Pemasyarakatan (Bapas) saat menjalani pemeriksaan.

"Anggaran kami belum cukup untuk menyediakan seluruh RPK. Jadi, Undang-Undang TPKS ini memang perlu segera kita sikapi agar (kepolisian) lebih siap," kata Ema.

Setidaknya ada sekitar 6.000 hingga 7.000 kasus kekerasan seksual terhadap perempuan dan anak yang digarap unit PPA setiap tahunnya. Di lain sisi, hanya ada sekitar 50-100 orang personel polisi yang ditempatkan unit PPA setelah lolos pendidikan khusus. Di polres, para penyidik di unit PPA juga kerap ditugaskan untuk menggarap kasus-kasus lain. 

Karena itu, Ema sepakat jika unit PPA naik kelas menjadi sebuah direktorat khusus. Ia meyakini penanganan kasus-kasus kekerasan seksual bakal lebih efektif dengan tambahan anggaran, fasilitas, dan personel.

"Tidak hanya dalam aspek penegakan hukum, tapi pemenuhan hak-hak yang lain bagi korban dan pelaku. Apalagi, jika mereka masih anak-anak. Makanya, itu menjadi suatu tuntutan organisasi bahwa unit PPA ini ditingkatkan menjadi direktorat," kata Ema.

Ilustrasi penanganan kasus kekerasan seksual. /Foto Alinea.id

Pedoman penanganan kasus

Anggota Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) Poengky Indarti berharap kepolisian segera menjadikan substansi UU TPKS sebagai pedoman penanganan kasus kekerasan seksual. Jika perlu, kata Poengky, Polri merilis peraturan khusus untuk merinci tahapan penanganan kasus kekerasan seksual. 

"Pedoman berbentuk perpol untuk penanganan kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak. Hakim dan jaksa sudah punya pedoman penanganan kasus perempuan berhadapan dengan hukum. Polri perlu menyusul membuat pedomannya," kata Poengky kepada Alinea.id, Selasa (26/4).

Selain peningkatan kuantitas personel, Poengky juga setuju Polri perlu menggelar beragam pelatihan untuk meningkatkan kualitas penyidik kasus kekerasan seksual. Tak hanya untuk personel PPA, pengetahuan mengenai kekerasan seksual berbasis gender juga perlu diikuti personel-personel Polri lainnya. 

"Jangan sampai anggota kepolisian justru menjadi pelaku kejahatan TPKS, seperti kasus perkosaan di Polsek Jailolo Selatan, Malut (Maluku Utara) atau di Parigi (Moutong), Sulteng (Sulawesi Tengah)," kata Poengky.

Infografik Alinea.id/Firgie Saputra

Kepala Bagian Penerangan Umum (Kabagpenum) Polri Kombes Gatot Repli Handoko menyebut Polri telah menyiapkan sejumlah langkah strategis untuk merespons pemberlakuan UU TPKS. Tak tertutup kemungkinan unit PPA bakal naik kelas jadi direktorat khusus. 

"Terutama untuk polwan-polwan yang akan mengawaki di unit PPA. Kami akan bekerja sama dengan para stakeholder terkait dengan PPA untuk memaksimalkan unit itu," kata Gatot saat dihubungi Alinea.id, Senin (25/4).

Lebih jauh, Gatot mengatakan Polri sudah punya rencana untuk meningkatkan kapasitas para penyidik. Untuk merealisasikannya, kepolisian bakal menggandeng sejumlah lembaga swadaya masyarakat dan kelompok masyarakat sipil yang fokus terhadap perlindungan perempuan dan anak.

"Pada dasarnya, kami ingin menyekolahkan atau mendidik (para personel Polri) dengan bantuan beberapa stakeholder, LSM yang terkait dengan (unit) PPA, untuk meningkatkan keahlian penyidik dalam kasus-kasus kekerasan seksual," kata Gatot.

img
Kudus Purnomo Wahidin
Reporter
img
Christian D Simbolon
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan