Setumpuk 'utang' lembaga antirasuah
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) masih berutang setumpuk kasus korupsi yang belum dituntaskan. Sebut saja kasus yang menjerat bekas direktur utama PT Pelindo II Richard Joost Lino, eks Ketua Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Hadi Poernomo, dana talangan Bank Century, hingga kasus BLBI yang merugikan negara senilai Rp4,58 triliun.
Lambannya proses penyidikan disayangkan sejumlah pihak. Tudingan tebang pilih kasus, munculnya kuda troya di KPK, hingga gagalnya pengelolaan sumber daya manusia tak urung bergema di tengah khalayak.
Pakar hukum pidana Universitas Muhammadiyah Jakarta Chairul Huda menilai, tersendatnya kasus korupsi yang ditangani KPK murni karena faktor internal di tubuh lembaga tersebut. Menurut analisisnya, para penyidik KPK tidak bisa mengontrol diri sehingga terjadi permainan tebang pilih kasus.
Kasus Century misalnya, telah jeda selama beberapa tahun namun belum ada penetapan tersangka resmi dari KPK. Padahal hakim praperadilan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan (PN Jaksel) telah menggulirkan putusan, agar KPK melanjutkan penyidikan atas skandal ini. Putusan tersebut sekaligus mendesak mantan Gubernur Bank Indonesia (BI) Boediono untuk ditetapkan sebagai tersangka baru.
Tim Pansus Angket Bank Century DPR, atau yang dikenal dengan Tim 9, Chandra Wijaya mengenang, BLBI menjadi kasus terlama yang berlarat-larat ditangani KPK. Hampir lima tahun pansus mengurus persoalan ini hingga memakan korban di antaranya Misbahun yang ditangkap di Bareskrim, dan juga Lili Wahid.
Namun sejatinya, kasus itu tak serumit yang dibayangkan. Eks anggota pansus Century Ahmad Yani menyebut, KPK sudah dituntun sebelumnya. BI sudah melakukan audit, dari hasil audit investigasi ditemukan sembilan pelanggaran bailout (talangan. Red).
Karena itu, sebenarnya kasus ini sudah terang benderang. Adalah aneh jika hingga kini KPK belum me-rompiorange-kan tiga tokoh tersebut. Khususnya Boediono yang memang menempati posisi penting kala itu. "Ini lebih mudah daripada kasus Jessica Kumolo Wongso," seloroh Ahmad Yani.
Dalih tidak ditahannya para tersangka, karena bailout akan berdampak sistemik menurutnya juga tidak terbukti. Apalagi setelah ia dan timnya berhasil melengkapi data-data untuk keperluan penyidikan, novum-novum penting, hingga keterangan tim profesional lain di bidang hukum pidana, ekonomi, bahkan tata negara.
Bukti dan data yang terkumpul menandaskan, ada indikasi pelanggaran hukum, termasuk kesengajaan mengubah syarat balilout dan penyelewengan peraturan. Tak hanya pelanggaran hukum, kasus ini juga memuat unsur kerugian negara yang mencapai Rp6,7 triliun. Segelintir pihak juga diduga mendulang keuntungan, bertambah kaya karena penyelewengan tersebut.
Senada dengan kasus Hambalang, sejumlah nama petinggi juga telah disebut, tapi belum ada tindak lanjut dari para penyidik. Rahmad Yasin Bupati Bogor saat itu yang menerbitkan site plan telah disebut-sebut bersama dengan pejabat dan elit parpol lain, namun kasus ini belum terang.
Pun dengan penyebutan Rano Karno yang diindikasi sebagai penerima gratifikasi proyek pengadaan alat kesehatan di Provinsi Banten tahun 2012. Pada salah satu episode sidang yang menghadirkan terdakwa eks Gubernur Banten Ratu Atut Chosiyah di Pengadilan Tipikor Jakarta, tahun lalu, Rano disebut Tubagus Chaeri alias Wawan, telah menerima uang Rp11 miliar. Uang itu dialokasikan Rp7,5 miliar untuk pemilihan gubernur, sisanya terkait alkes.
Kasus lain terkait korupsi Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI), yang konon menyeret nama-nama pejabat daerah dan nasional. Salam kasus itu KPK baru menetapkan satu tersangka, padahal 70 saksi telah diperiksa.
Tersangka Syafruddin Arsyad Temenggung, dikutip Tempo, akan membeberkan peran Komite Kebijakan Sektor Keuangan (KKSK) yang beranggotakan beberapa menteri bidang ekonomi dalam persidangan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta. Kepala Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) periode 2002-2004 itu menilai, KKSK adalah pihak yang menyetujui penerbitan surat keterangan lunas untuk para obligor BLBI.
Jika Syafruddin benar, maka menteri yang menjabat anggota KKSK, yaitu Menteri Koordinator Perekonomian Dorodjatun Kuntjoro-Jakti, Menteri Keuangan Boediono, Menteri Perdagangan Rini Soemarno, Menteri Badan Usaha Milik Negara Laksamana Sukardi, dan Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional Kwik Kian Gie, akan ikut terseret.
Hal ini menjadi catatan bagi pengamat Chairul Huda. Ia lagi-lagi menyebut, persoalan yang berkelindan di tubuh KPK hanya terkait selera. “Mana yang mau digorok dan mana yang mau dibiarkan, itu tergantung penyidikan," tegasnya.Sementara Ketua KPK Agus Rahardjo dalam keterangan persnya enggan mengungkapkan kemungkinan membuka penyelidikan dan penyidikan baru kasus BLBI. Dia hanya mengklaim penyidik masih terus bekerja untuk melihat kecukupan bukti terhadap sejumlah nama yang mungkin menjadi tersangka. "Kami ikuti dulu pelakunya siapa. Tak perlu sebut nama," kata dia.
Menurutnya istilah yang lebih tepat menggambarkan kondisi di KPK sebagai pertarungan selera. "Jadi, memang ini ada praktik tebang pilih. Ada praktik kewenangan sesuai dengan selera masing-masing, tidak melalui jalur di birokrasi di KPK," ujarnya.
Lebih lanjut, perbedaan selera mendasar terjadi antara Aris Budiman dan Novel Baswedan. Mereka berdua, imbuhnya, adalah contoh nyata tidak sejalannya penyidik KPK dalam penanganan kasus. Ada indikasi gagalnya komunikasi top down dari Aris selaku Direktur Penyidikan KPK dengan anak-anak di bawahnya. Pada kasus E-KTP misalnya, Novel dan Aris tidak berada dalam satu barisan, hingga kasus ini hanya berputar pada ranah perencanaan bukan pelaksanaan.
"KPK harus memebenahi diri," tandas Chairul.
Lembaga antirasuah itu menurutnya harus mengikuti platform awal lembaga, agar bisa solid mengungkap setumpuk PR yang mangkrak. Kredibilitas dan profesionalitas KPK dipertaruhkan. Apalagi seiring dengan tudingan adanya kuda troya yang menghambat kerja di KPK.
Pengamat politik dari Universitas Telkom Dedi Kurnia Syah angkat bicara. Kendati menurutnya tudingan kuda troya itu tak mendasar, karena selaku lembaga independen, KPK ketat dalam rekrutmen. Namun ia turut menyayangkan kegagalan komunikasi internal di KPK yang tak kondusif. “Ini yang justru menjadi celah kemunduran KPK, atau dalam hal ekstrim bisa saja dimanfaatkan oknum yang menginginkan KPK purnabakti,” ujarnya.
Brigjen Aris Budiman sendiri tak dinafikan punya wewenang lebih sebagai Direktur Penyidikan. Khususnya dalam mengarahkan mau dibawa kemana gerbong KPK. Dalam konteks keragaman di tubuh KPK, sebenarnya tak ada soal, sehingga akan mengkhawatirkan jika muncul preseden buruk KPK didominasi pihak tertentu di lingkup internalnya.
Ia justru menilai, ada kemungkinan intervensi kekuatan besar di luar KPK. “Kewenangan KPK terbatas, karena itu hanya sebatas komisi,” ujarnya. Namun pengamat ini tak menyebutkan lebih lanjut soal siapa yang mungkin menggelayuti kinerja KPK.
Apalagi di negara yang masih rentan politik sandera-menyandera, maka ada kecenderungan orang-orang di lingkar kekuasaan dengan sub-kekuasaan di bawahnya saling pasang badan serta menjaga satu sama lain.
KPK menurutnya terjebak di pusaran kekuasaan, artinya itu hanya sebagai pengawas, alih-alih memutuskan, bukan juga penegak hukum. Terlalu dini memang, lanjutnya menduga ada relasi kuda troya dengan terhambatnya kasus korupsi yang terarsip di KPK. Lebih penting melihat KPK sebagai institusi yang kecil, jika berhadapan dengan kasus mega korupsi yang mereka tangani. Dengan begitu, KPK sesungguhnya butuh dukungan sepadan sekaliber Presiden RI.
Sementara itu, Koordinator Investigasi Indonesia Corruption Watch (ICW) Febri Hendri menyebut KPK perlu meredefinisi perannya sebagai lembaga antirasuah. “KPK bisa back up tugas kepolisian dalam hal laporan harta kekayaan, pencegahan, hingga penindakan. Toh sekarang polisi juga sedang bersih-bersih, keduanya bisa jadi duet yang kompak,” tuturnya.
Dengan begitu kasus penyalahgunaan wewenang Brotoseno, kasus Nurhadi, hingga dugaan suap perwira di Polda Sulsel bisa terungkap.
Demo dukung adili Setya Novanto./ Antarafoto
Namun ICW membela KPK, karena penyelesaian kasus bisa jadi dipengaruhi sejumlah faktor penghambat. Mulai faktor teknis pengumpulan alat bukti, kasus yang tergolong rumit karena harus berhubungan dengan pihak luar negeri contohnya, kompetensi penyidik yang kurang, kegagalan komunikasi, hingga tidak tepatnya penentuan prioritas kasus yang ditangani.
Terkait tudingan tebang pilih, Hendri menyebut, batasan antara skala prioritas dan tebang pilih sudah demikian tipis.
“Terutama sekarang KPK saya lihat lebih fokus pada penanganan OTT sehingga menyedot energi penyidik ke situ, sedang kasus lain jadi ikut terbengkalai. KPK dalam hal ini harus ekstra hati-hati juga sepenuh hati menangani kasus. Jangan sampai ada kejadian kalah di praperadilan atau peradilan hanya karena bukti yang dirangkum penyidik mudah dipatahkan. Di sinilah butuh peranan pemimpin KPK yang kuat,” urainya.
Sementara itu, dari sejumlah kasus mangkrak seperti BLBI, Century, kasus Pelindo II, Jasindo, Petral sebagian memang mengharuskan KPK untuk berhubungan dengan pihak luar negeri dalam konteks pengumpulan data. Sementara proses komunikasi dengan pihak luar diyakini kerap tak mulus dan secepat ekspektasi publik.
“Jika memang demikian kesulitannya, maka KPK harus mengumumkan kepada publik kasus-kasus apa saja yang mangkrak. Lalu apa alasannya supaya akuntabilitas penanganan korupsi di KPK bisa tercapai dengan lebih baik,” ujarnya.
Jangan sampai publik sibuk berpraduga, bahkan luntur kepercayaan mereka pada lembaga itu.