Pihak terdakwa mantan Kapolda Sumatera Barat, Irjen Teddy Minahasa, membocorkan sejumlah poin yang akan disampaikan dalam pleidoi atau pembelaan untuk melawan tuntutan dari jaksa penuntut umum. Pembacaan tuntutan kepada Teddy Minahasa telah disampaikan di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Barat, Kamis (30/3) hari ini.
Pada persidangan hari ini, jaksa penuntut umum menuntut Teddy Minahasa dengan hukuman mati. Teddy didakwa telah menjual narkotika jenis sabu yang merupakan barang bukti sitaan dalam pengungkapan kasus di Polres Bukittinggi, Sumatera Barat.
Teddy Minahasa melakukan tindak pidana itu bersama tiga lainnya. Mereka adalah mantan Kapolres Bukittinggi AKBP Doddy Prawiranegara, Syamsul Maarif, dan Linda Pujiastuti. Mereka didakwa dalam berkas terpisah. Doddy dituntut 20 tahun penjara, Syamsul Ma’arif dituntut 17 tahun penjara, dan Linda Pujiastuti 18 tahun penjara.
Kuasa hukum Teddy, Hotmas Paris Hutapea mengatakan, pleidoinya akan berfokus ke arah pelanggaran hukum acara yang menurut undang-undang tidak boleh dilanggar. Lantaran pelanggaran berakibat dakwaan itu batal demi hukum.
"Kita akan jawab nanti semuanya dalam pleidoi. Seperti saya bilang tadi kalau kalau dari segi hukum acara bahwa memang dakwaan batal demi hukum," kata Hotman usai persidangan.
Hotman menyebut, poin pertama yang dapat menguatkan pleidoinya adalah perihal pesan melalui aplikasi Whatsapp dari kliennya pada tanggal 24 September. Pesan itu berbunyi soal pemusnahan sabu namun tidak pernah ditunjukan kepada saksi mana pun dalam Berita Acara Pemeriksaan (BAP).
Sementara, pesan itu dapat menguntungkan kliennya yang menunjang kembali penyerahan narkoba pada tanggal 3 Oktober. Hal ini juga telah diakui para saksi termasuk ahli ketika dirinya menunjukkan pesan tersebut.
"Itu semua mengakui memang ada," ujarnya.
Menurut jaksa, Teddy telah menawarkan, membeli, menjual, dan menjadi perantara sabu. Barang haram ini memiliki berat lima kilogram.
Hal yang memberatkan bagi Teddy adalah dia telah menikmati keuntungan dari penjualan sabu. Selain itu dengan jabatan tinggi di Polri sebagai Kapolda seharusnya membrantas narkoba namun justru melibatkan diri dalam peredaran narkotika.
Perbuatan Teddy telah merusak kepercayaan publik terhadap Polri. Teddy tidak mengakui perbuatannya, menyangkal dan berbelit-belit.
Bahkan, Teddy diilai telah mengkhianati perintah presiden untuk memberantas nakrotika. Hal ini menunjukkan Teddy juga tidak mendukung pemerintah untuk menegakkan hukum dalam pemberantasan narkotika.
“Hal yang meringankan tidak ada,” ujar JPU.