China dengan segala sumber daya yang dimiliki akan terus berupaya menunjukkan eksistensinya di Laut Natuna Utara untuk membenarkan klaim mereka atas wilayah tersebut. Akan tetapi Indonesia tidak mau diam menyerah atas manuver China di zona eksklusif ekonomi Indonesia itu.
Kepala Badan Keamanan Laut (Bakamla) Laksamana Madya Aan Kurnia mengatakan, Bakamla secara berkesinambungan menggelar grey zone operation di Natuna Utara dan wilayah-wilayah perbatasan lainnya. Operasi ini, jelas Aan, mengedepankan kapal-kapal pemerintah noncombatan (bukan kapal perang) maupun kapal nelayan.
Langkah semacam ini menjadi simbol bahwa Indonesia hadir menjaga kedaulatan teritorialnya. Namun, lanjut Aan, kehadiran semacam itu harus juga diikuti dengan aktivitas eksplorasi dan eksploitasi potensi sumber daya alam di sana untuk kepentingan nasional secara optimal.
“Idealnya tentu bukan cuma nelayan yang beraktivitas di sana, para akademisi dan peneliti berbagai bidang juga perlu melakukan riset di Natuna Utara. Riset terakhir dilakukan 1996, itu sudah lama sekali,” ucap Aan Kurnia, Senin (23/11).
Untuk itu, pemerintah melalui Kementerian Kelautan terus berupaya melengkapi infrastruktur yang dibutuhkan seperti membangun Sentra Kelautan dan Perikanan Terpadu. Dia yakin langkah semacam itu akan dapat mengimbangi upaya China maupun Vietnam dan negara-negara lain terhadap Natuna Utara.
Saat ini, sambung Aan, kekuatan armada milik Bakamla sebagai coast guard Indonesia dalam bertugas menjaga kedaulatan di perbatasan laut sangat minim. Dari jumlah ideal 60 kapal patroli, baru tersedia 10 kapal yang disebar di tiga zona maritim, yakni di Barat (Batam) sebanyak 4 kapal, Manado 3, dan di Ambon 3 kapal.
“Sekarang Bakamla punya 10 kapal, sekitar 30% dari kebutuhan. Idealnya punya 60 kapal,” papar Aan Kurnia.
Persoalan Natuna, jelas Aan, harus di kaji oleh lebih dari satu kementerian aja. Ia menilai para akademisi juga ikut mengambil andil mencari solusi untuk mengatasi persoalan di Natuna Utara ini.