Siasat mencegah darurat hepatitis misterius: Perkuat surveilans, dorong transparansi
Penyakit hepatitis misterius diperkirakan telah tiba di Indonesia. Akhir April lalu, Kementerian Kesehatan (Kemenkes) mengumumkan setidaknya ada 15 pasien yang diduga mengidap penyakit inflamasi hati yang belum diketahui asal-usulnya itu.
Sebanyak tiga pasien anak di DKI Jakarta dilaporkan meninggal lantaran terlambat mendapat pertolongan medis. Selain di ibu kota, pasien yang diduga mengidap hepatitis misterius juga tercatat di Jawa Barat, Jawa Timur, dan Sumatera Barat.
Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular Kemenkes Siti Nadia Tarmizi mengatakan Kemenkes telah merilis Surat Edaran HK.02.02/C/2515/2022 bertanggal 27 April 2022 untuk merespons kehadiran penyakit tersebut di Tanah Air.
Dalam surat itu, menurut Nadia, Kemenkes mengimbau agar dinas kesehatan daerah, laboratorium terpadu, dan rumah sakit setempat untuk memantau dan melaporkan kasus-kasus yang diduga hepatitis akut dalam kerangka sistem kewaspadaan dini dan respons (SKDR).
“Jadi, setiap kasus dengan keluhan ada (penyakit) kuning, untuk segera dilaporkan agar segera diinvestigasi, termasuk wawancara pola resiko penularan, bagaimana penularan terjadi, sampai pengambilan spesimen BAB (buang air besar),” ujar Nadia saat dihubungi Alinea.id di Jakarta, Senin (9/5).
Mewabahnya penyakit hepatitis misterius diumumkan sebagai kejadian luar biasa oleh Badan Kesehatan Dunia (WHO) pada pertengahan April lalu. Hingga kini, WHO mengidentifikasi setidaknya ada 363 kasus hepatitis misterius di seluruh dunia. Sebanyak lebih dari 160 kasus terdeteksi di Inggris.
Pertama kali teridentifikasi di Skotlandia, hepatitis misterius kini diperkirakan telah menyebar ke 20 negara. Di Asia Tenggara, Singapura menjadi negara pertama yang melaporkan masuknya hepatitis misterius ke negara mereka.
Dari hasil identifikasi, WHO menemukan hepatitis misterius sejauh ini hanya menyerang bayi dan anak-anak dari rentang usia 1 bulan hingga 16 tahun. Pada para pasien, tidak ditemukan virus yang lazim jadi penyebab hepatitis tipe A, B, C, D, dan E.
Alih-alih virus hepatitis, menurut Nadia, pada kebanyakan pasien ditemukan adenovirus. Virus ini lazimnya menyerang saluran pencernaan dan pernafasan. Karena termasuk salah satu virus flu, adenovirus bisa menyebar lewat udara.
“Ya, karena penularannya melalui makanan jadi harus memastikan kebersihan. Menjaga kehigienisan sanitasi itu juga harus dilakukan. Untuk mencegah penularan melalui udara, memakai masker itu menjadi penting juga,” kata dia.
Sebagaimana hepatitis biasa, pengidap hepatitis misterius lazimnya mengalami gejala-gejala tertentu. Yang paling kentara semisal kulit menguning, mata memutih, sakit perut, diare, kehilangan nafsu makan, dan muntah-mutah. Pada beberapa pasien, ditemukan gejala nyeri sendi, gatal, dan pegal-pegal.
Meskipun menyebar dengan relatif cukup cepat, menurut Nadia, KLB hepatitis misterius belum dikategorikan sebagai wabah oleh WHO. Karena itu, penanganan pemerintah tak akan "sedramatis" saat pandemi Covid-19.
"WHO menyatakan (hepatitis misterius) ini adalah penyakit yang harus diwaspadai karena kita belum tahu pengobatannya seperti apa dan belum tahu juga jenis virus penyebabnya apa. Jadi, kita harus waspada,” kata Nadia.
Perkuat surveilans
Epidemiolog dari Universitas Griffith, Australia, Dicky Budiman berharap pemerintah tidak menganggap enteng penyebaran hepatitis misterius. Apalagi, sudah ada sejumlah pasien anak di Indonesia yang meninggal lantaran mengidap penyakit tersebut.
“Ini message (pesan) yang jelas dan cukup serius. Dengan kehadiran penyakit yang belum jelas etiologi penyebabnya dan mekanisme penularannya, tentu akan harus membuat kita semua waspada,” ujar Dicky saat dihubungi Alinea.id, Senin (9/5).
WHO melaporkan sejumlah pasien anak di Inggris harus menjalani transplantasi hati lantaran kondisi kesehatannya tiba-tiba memburuk. Meski jumlah pasiennya jauh lebih banyak dari Indonesia, Inggris hanya mencatat satu kematian karena hepatitis misterius.
Menurut Dicky, menjalankan pola hidup sehat saja tak cukup melawan penyakit tersebut. Apalagi, hingga kini asal-asul penyebab hepatitis yang tergolong akut itu belum diketahui secara pasti.
Lebih jauh, Dicky menyarankan pemerintah memperkuat pengawasan dan lacak kontak untuk memutus mata rantai penularan. Strategi itu, kata dia, perlu dijalankan Kemenkes dengan menggandeng dinas kesehatan daerah dan pihak swasta.
“Yang paling penting sekarang itu meningkatkan surveilans. Surveilans itu mulai dari fasilitas kesehatan paling bawah. Bukan hanya milik pemerintah, tetapi juga punya swasta. Deteksinya kan di situ,” ujar Dicky.
Epidemiolog Universitas Airlangga (Unair) Laura Navika Yamani memandang penegakan aturan protokol kesehatan selama pandemi Covid-19 bisa diaplikasikan dalam menghadapi penyebaran hepatitis akut. Pasalnya, adenovirus yang diduga jadi agen penyebar penyakit itu bisa menular lewat udara.
"Berarti kita bisa melakukan pencegahan dengan melihat dari katakteristik virusnya. Karena masuk saluran pernafasan, berarti kita bisa melakukan protokol kesehatan. Hampir sama juga apa yang kita lakukan pencegahan saat pandemi Covid-19,” tutur Laura kepada Alinea.id, Selasa (10/5).
Laura sepakat pemerintah harus proaktif menggelar langkah-langkah pencegahan. Di lain sisi, ia juga meminta masyarakat aktif mewaspadai penyebaran virus tersebut di tingkat komunitas dan segera menjalankan pemeriksaan dini bagi anggota keluarga yang diduga memiliki gejala-gejala hepatitis misterius.
"Apalagi, di luar negeri sudah ada yang transplantasi hati bahkan meninggal. Jadi, kalau ada gejala terkait dengan hepatitis, lebih baik melakukan pemeriksaan dini. Jadi, penanganannya jauh lebih cepat, tidak sampai terjadi peradangan hati yang masif,” tandasnya.
Dorong transparansi
Anggota Komisi IX DPR RI Netty Prasetiayani Aher meminta pemerintah gencar menggelar pemeriksaan spesimen pasien yang bergejala hepatitis akut sebelum mengambil kebijakan-kebijakan strategis untuk menanggulangi penyakit tersebut. Ia juga mendorong fasilitas kesehatan disiagakan untuk mengantisipasi lonjakan kasus.
“Kita tidak berharap kasus hepatitis misterius ini semakin meningkat. Akan tetapi, fasyankes (fasilitas pelayanan kesehatan) dan nakes (tenaga kesehatan) harus siaga dengan langkah antisipatif,” kata Netty kepada Alinea.id, Minggu (8/5).
Agar tak salah langkah, Netty meminta pemerintah transparan dalam melaporkan perkembangan jumlah kasus hepatitis misterius di Indonesia. Selain sosialisasi masif, ia juga berharap pemerintah menggelar sejumlah strategi untuk menangkal penyebaran hoaks terkait penyakit tersebut.
“Penting untuk menginformasikan peta penyebaran kasus, upaya yang dilakukan pemerintah, dan kesiapan sistem kesehatan dalam melakukan antisipasi lonjakan kasus agar rakyat dapat berpartisipasi aktif melakukan pencegahan,” kata politikus Partai Keadilan Sejahtera (PKS) itu.
Ketua Umum Pengurus Pusat (PP) Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI), Piprim Basarah Yanuarso meminta publik tidak panik. Menurut dia, perlu ada penyidikan lebih lanjut untuk memastikan virus hepatitis akut telah menyebar di Indonesia.
“Pada rapat koordinasi Ketua IDAI kemarin itu belum banyak yang melaporkan. Baru Tulungangung dan Sumatera Barat. Tetapi, itu masuk ketegori probable pun belum. Jadi, ini masih dalam penyelidikan,” tutur Piprim dalam sebuah webinar yang tayang di akun YouTube IDAI_TV, Selasa (10/5).
Sebagai strategi pencegahan, ia mendorong masyarakat untuk menerapkan perilaku hidup bersih dan sehat (PBHS). Salah satunya dengan mengonsumsi makanan dan minuman yang matang serta meneruskan penerapan protokol kesehatan.
Di lain sisi, ia berharap agar para dokter spesialis anak senantiasa waspada. Ia menyarankan agar para dokter spesialis anak segera merujuk pasien-pasien yang diduga mengidap hepatitis akut. Jika diperlukan, diagnosis penyakit dilakukan dengan menguji kesehatan liver pasien mereka.
“Yang penting, IDAI bekerja sama dengan Kemenkes dan berbagai pihak terus melakukan investigasi penyebabnya seperti apa. Kita juga terus melakukan surveilans atau meningkatkan kewaspadaan supaya kasus itu bisa terjaring sidini mungkin,” kata dia.