close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
PTUN DKI Jakarta menolak gugatan yang diajukan pihak Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) terhadap Kementerian Hukum dan Hak Azasi Manusia (Kemenkumham), Senin (7/5).  / Suratkabar.id
icon caption
PTUN DKI Jakarta menolak gugatan yang diajukan pihak Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) terhadap Kementerian Hukum dan Hak Azasi Manusia (Kemenkumham), Senin (7/5). / Suratkabar.id
Nasional
Senin, 07 Mei 2018 13:20

Sidang putusan, PTUN sahkan pembubaran HTI

Sidang putusan atas gugatan organisasi kemasyarakatan Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) dibacakan di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN).
swipe

Sidang putusan atas gugatan organisasi kemasyarakatan Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) dibacakan di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) hari ini, Senin (7/5). Gugatan yang diajukan pihak Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) terhadap Kementerian Hukum dan Hak Azasi Manusia (Kemenkumham) itu ditolak oleh PTUN DKI Jakarta. Dengan demikian, surat keputusan Menteri Hukum dan HAM Nomor AHU-30.AH.01.08 tahun 2017 tentang pencabutan status badan hukum HTI dinyatakan tetap berlaku.

Dalam sidang gugatan ini, pihak eks HTI menggunggat surat Keputusan Menteri Hukum dan HAM nomor AHU -30.AHA.01.08.2017 tentang pencabutan keputusan Menteri Hukum dan HAM nomor AHU-00282.60.10.2014 tentang pengesahan pendirian perkumpulan HTI.

Dalam proses persidangan yang telah digelar lebih dari 15 kali, baik eks HTI selaku Penggugat maupun Menkumham selaku Tergugat telah menghadirkan sejumlah saksi fakta maupun ahli serta menyerahkan bukti-bukti yang menguatkan argumentasi masing-masing.

Berdasarkan catatan, ada sejumlah fakta menarik yang muncul selama persidangan, seperti dilansir Antara.

1. Video rekaman

Pada sidang tanggal 18 Januari 2018, tim kuasa hukum Menkumham menghadirkan bukti video rekaman Muktamar HTI di Gelora Bung Karno, Jakarta, tahun 2013.

Video berdurasi dua menit itu menampilkan pernyataan salah satu orator HTI yang menyatakan bahwa nasionalisme telah memecah belah umat.

Oknum tersebut juga menyerukan agar anggota HTI mengangkat satu orang di antara mereka untuk menjadi khilafah, dan menyerukan untuk menjalankan hukum Islam serta meninggalkan sistem perundang-undangan.

2. Ceramah di masjid

Kemudian pada 25 Januari 2018, eks HTI yang dalam sidang itu diwakili juru bicara Ismail Yusanto beserta kuasa hukumnya Gugum Ridho Putra dari Ihza & Ihza Law Firm (milik Yusril Ihza Mahendra), menghadirkan saksi fakta bernama Noviar Bade Rani yang merupakan tetangga dari juru bicara eks HTI Ismail Yusanto.

Noviar menyatakan bahwa Ismail rutin memberikan ceramah di masjid rumahnya dan pernah menyampaikan soal khilafah dalam salah satu ceramah.

Noviar mengatakan bahwa khilafah yang disampaikan Ismail adalah sebuah contoh khilafah pada zaman nabi.

Atas ceramah Ismail itu ia juga mengaku menjadi mengetahui bahwa HTI adalah organisasi yang memperjuangkan khilafah yakni sistem pemerintahan berdasarkan aturan Islam, dan harus diwujudkan.

3. Konsep Khilafah

Selanjutnya pada 8 Februari 2018, eks HTI menghadirkan saksi ahli bernama Daud Rasyid.

Seolah menjawab video yang disampaikan Pemerintah, Daud Rasyid menyatakan khilafah artinya menggantikan peran nabi dalam menjaga agama dan urusan di dunia. Menurut Daud, konsep khilafah justru ditujukan untuk menjaga Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Daud juga menyatakan HTI hanya berupaya menyampaikan ajaran-ajaran Islam dalam setiap dakwahnya, dan khilafah adalah termasuk ajaran Islam.

Menurut kuasa hukum Menteri Hukum dan HAM, Hafzan Taher, khilafah jelas bertentangan dengan Pancasila.

4. HTI mengancam NKRI

Pada 1 Maret giliran Menkumham menghadirkan saksi ahli mantan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Ansyaad Mbai.

Mbai menegaskan keputusan pemerintah mencabut status badan hukum HTI tepat karena HTI mengancam negara.

Mbai menilai organisasi HTI memang berjalan normatif, berdakwah, nonkekekerasan, tapi dibawah permukaan membentuk paramiliter. Menurut dia pembentukan paramiliter ini bisa diketahui pimpinan formal organisasi HTI, bisa juga tidak.

Mbai mengungkapkan berdasarkan data-data pelaku aksi teror di Indonesia yang telah tertangkap dan disidangkan hingga saat ini, banyak di antaranya merupakan orang yang pernah berkecimpung di HTI.

Atas pernyataan Mbai yang terakhir ini, jubir eks HTI Ismail Yusanto menekankan bahwa dengan adanya oknum eks anggota HTI yang melakukan teror dengan kelompok lain, maka tidak sertamerta menjadikan HTI dapat dituding sebagai organisasi radikal.

5. HTI anti demokrasi

Selanjutnya pada 15 Maret pemerintah menghadirkan saksi ahli agama dari kalangan Nahdlatul Ulama KH Ahmad Ishomuddin yang menyatakan bahwa organisasi Hizbut Tahrir internasional menentang paham-paham demokrasi, karena peraturan perundang-undangan dalam paham demokrasi dibuat atau dirumuskan oleh manusia.

Hizbut Tahrir internasional menyatakan tidak boleh ada paham selain bersumber dari akidah Islamiyah. Dan HTI merupakan bagian dari Hizbut Tahrir internasional itu.

6. Status badan hukum dicabut

Selama persidangan pemerintah juga menghadirkan sedikitnya dua ahli hukum administrasi, yakni Dr. Philipus Mandiri Hadjon SH. serta Direktur Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kementerian Dalam Negeri Zudan Arif Fakhrulloh dalam kapasitasnya sebagai ahli hukum administrasi negara.

Meskipun keduanya hadir dalam jadwal persidangan berbeda, namun adanya dua saksi ahli hukum administrasi ini menunjukkan Pemerintah sangat ingin membuktikan bahwa pencabutan status badan hukum HTI dilakukan sesuai prosedur oleh pejabat berwenang.

Philipus dalam kesaksiannya menyebut, pejabat yang menerbitkan keputusan berwenang mencabut kembali keputusannya. Dalam konteks ini Menkumham selaku pihak yang menerbitkan status badan hukum bagi HTI berhak mencabut kembali status itu atas dasar yang jelas.

Pencabutan status badan hukum ini, menurut Philipus, masuk dalam kategori sanksi administratif yang bisa dilakukan tanpa melalui proses pengadilan demi mengakhiri sebuah pelanggaran.

7. Keputusan

Sementara Direktur Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kementerian Dalam Negeri Zudan Arif Fakhrulloh dalam kapasitasnya selaku ahli hukum administrasi negara, menyampaikan dalam aspek keberlakuannya, setiap keputusan yang telah dibuat pejabat tata usaha negara berlaku sesaat setelah ditandatangani.

Jika dikaitkan dengan posisi HTI, maka HTI sudah tidak berbadan hukum ketika SK Menkumham ditandatangani.

Menurut Zudan ketika sudah ditandatangani penetapan pencabutan badan hukumnya oleh pejabat tata usaha negara yang berwenang, maka baju atau status badan hukum suatu organisasi sudah terlepas dan yang tersisa hanya lah anggota-anggota atau mantan anggota badan hukum tersebut.

Ia menjelaskan pejabat tata usaha negara juga tidak perlu menunggu putusan pengadilan dalam mengambil keputusan, untuk mencegah timbulnya kerugian negara. Zudan menekankan sebuah keputusan tata usaha negara pasti tidak lahir serta merta, namun sudah melalui tahap pengkajian dan memiliki rasionalitas yang melatarbelakanginya.

Keterangan saksi-saksi serta dokumen bukti, menjadi bahan pertimbangan Majelis Hakim PTUN yang dipimpin Hakim Ketua Tri Cahya Indra Permana SH MH, dan dua Hakim Anggota Nelvy Christin SH MH dan Roni Erry Saputro SH MH dalam mengambil putusan.

Majelis Hakim tentu wajib hukumnya bersikap adil, dan mengambil sikap hanya berdasarkan fakta yang muncul dalam persidangan, tanpa adanya tekanan dari pihak-pihak di luar persidangan.

img
Sukirno
Reporter
img
Sukirno
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan