Sebagai negara yang terletak di garis khatulistiwa, keberadaan Indonesia yang diapit dua samudera seringkali dianggap sebagai berkah karena potensi keanekaragaman hayati, beriklim tropis dan kekayaan alamnya. Namun, dibalik itu, terdapat potensi bencana yang bisa terjadi sewaktu-waktu.
Dalam dua hari terakhir, cuaca ektrem telah menyebabkan banjir, longsor dan puting beliung di 28 kabupaten/kota di Pulau Jawa dan Bali. Data sementara yang dihimpun posko Badan nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), bencana tersebut terjadi Kabupaten Situbondo, Sidoarjo, Pacitan, Wonogiri, Ponorogo, Serang, Sukabumi, Sragen, Boyolali, Magetan, Trenggalek, Cilacap, Purworejo, Tulungagung, Semarang, Klaten, Malang, Wonosobo, Klungkung, Kota Yogyakarta, Gunung Kidul, Kulon Progo, Sleman, Bantul, Kudus, dan Sukoharjo.
Saking parahnya, 13 desa dari 3 kecamatan di Pacitan terendam banjir dan melumpuhkan jalan lintas selatan serta menewaskan 19 orang. Kapusdatin Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), Sutopo Purwo Nugroho menyebut 4.000 jiwa menungsi di GOR Pacitan dan Masjid Sirnoboyo.
Sedangkan di di Yogyakarta, banjir merendam 3 titik di Kabupaten Gunung Kidul dan 2 titik di Kabupaten Kulonprogo. Kemudian tanah longsor terjadi di 22 titik yaitu, 16 di Kabupaten Bantul, 2 titik di Kabupaten Kulonprogo, 1 titik di Kabupaten Gunung Kidul dan 3 titik di Kabupaten Sleman. Sementara puting beliung juga melanda 56 titik di daerah Yogyakarta.
Munculnya Siklon Cempaka
Bencana dalam dua hari terakhir dipicu angin siklon tropis ‘Cempaka’ di Samudera Hindia, 100 kilometer dari tenggara Cilacap, Jawa tengah pada Senin (27/11) malam. Angin tersebut bergerak ke barat dengan kecepatan 65 km/jam dan menjadi angin siklon paling dekat dari selatan Jawa. Peneliti cuaca dan iklim Badan Metereologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), Siswanto mengungkapkan, siklon tropis ialah fenomena alam ekstrim yang sudah terjadi sejak lampau. Namun, tak ada siklus pasti terkait kemunculan angin siklon. Meski demikian, kondisi ini biasa terjadi di daerah tropis paling luar yang berdekatan dengan wilayah yang memiliki iklim subtropis, sekira 10-30’ lintang utara dan lintang selatan.
“Siklon terbentuk di Samudera Hindia antara selatan Jawa dan perairan Australia adalah hal biasa,” terang Siswanto saat berbincang dengan Alinea, Rabu (29/11).
Tak ada parameter khusus dalam penamaan Cempaka terhadap badai tersebut. Siswanto memaparkan, apabila siklon itu lahir di wilayah yang menjadi tanggung jawab Jakarta Tropical Cyclone Warning Center (JTCWC) BMKG, maka penamaannya tinggal mengambil dari daftar yang sudah disetujui badan meteorologi internasional. Angin siklon tersebut, dibedakan berdasarkan skala Saffir Simpson, tergantung dari tingkat kecepatannya.
“Selain Cempaka, ada Anggrek dan Bakung. Lalu disiapkan nama Dahlia, Flamboyan, Kenanga, Lili, Manga, Seroja dan Teratai untuk sikon selanjutnya,” paparnya.
Pengaruh langsung dari siklon, jelas Siswanto, curah hujan di sekitarnya yang mencapai 300-500 milimeter (mm). Adapun faktor yang memicu bibit siklon terus menguat ialah adanya simpanan energi (panas) oleh laut permukaan. Energi panas yang besar akan memberikan suplai uap air yang besar pula untuk menciptakan awan.
Selain itu, pola pusat tekanan rendah akan memicu pemusatan angin dan aliran masa udara. Sedangkan sebagai penyeimbang dari momentum angular rotasi bumi atau kecepatan perputaran bumi, maka angin akan mengalir membentuk pusaran. Kekuatan siklon pun kemudian diukur berdasarkan kecepatan angin tersebut.
“Semakin cepat kecepatan angin akibat perbedaan tekanan sekitar dengan pusat tekanan rendah di mata siklon, akan semakin menguatkan intensitas dari siklon tersebut,” paparnya.
Karena itu, ia mengimbau warga untuk terus memperbaharui informasi dan terus mengikuti perkembangan peringatan dini cuaca. Selain itu, Siswanto meminta pemerintah daerah (Pemda) mempersiapkan diri dari bahaya bencana banjir, tanah longsor dan angin kencang.