Eksistensi tukang gigi dan cerita korban layanan 'ilegal' mereka
Abdul Aziz panen "pasien". Sejak pagi, lapak tukang gigi miliknya di kawasan Benda, Tangerang, Banten, terus kedatangan pengunjung. Hingga petang, sejumlah perempuan muda terlihat masih mengantre di kios seluas seperempat lapangan bulutangkis itu.
"Mungkin karena udah mau puasa. Mbak-mbak ini mau pasang behel biar giginya agak rapihan. Rata-rata yang datang ke sini memang sudah langganan dan harga bisa ditawar," kata Aziz saat berbincang dengan Alinea.id di sela-sela kesibukannya melayani konsumen, Senin (28/3).
Tidak ada daftar harga perawatan yang dipajang di kios itu. Namun, Aziz mengatakan, ia mematok biaya sekitar Rp300 ribu untuk pasang kawat gigi atau behel. Adapun untuk gigi tiruan, ia memasang harga Rp200 ribu per biji. "Kalau satu set bisa Rp2,5 juta," ujar Aziz.
Selain melakukan praktik di kiosnya, Aziz juga menerima jasa layanan panggilan ke rumah untuk memasang gigi tiruan dan pemasangan kawat gigi. Harganya tentu sedikit lebih mahal. "Saya cuma satu yang enggak berani, yaitu cabut gigi," kata dia.
Menurut Aziz, bisnis tukang gigi itu dirintis oleh orang tuanya. Ia mengklaim kiosnya jadi salah satu tempat perawatan gigi yang paling laris di kawasan Benda. Pendapatannya hanya sempat tersendat saat pandemi menggila beberapa bulan lalu.
Aziz tak mau bercerita panjang lebar soal bagaimana ia mendapatkan keahlian sebagai tukang gigi. Namun, ia menegaskan hasil kerjanya hampir tidak pernah dikeluhkan pelanggan.
"Kalau memang merasa enggak enak, mereka (para pelanggan) enggak apa-apa kalau balik lagi (ke kios). Nanti saya betulin," ujar pria asal Pamekasan, Madura, Jawa Timur itu.
Jika dibandingkan dengan harga yang dipatok dokter gigi, biaya perawatan yang di kios Aziz memang tergolong murah. Itu setidaknya dibenarkan oleh Lilik Sudarso, salah satu pengunjung kios Aziz sore itu.
"Waktu awal-awal di sini cuma Rp400 ribu dua gigi. Kalau di dokter, bisa sampai sejutaan. Ya, saya cari yang murah aja," ujar Lilik saat berbincang dengan Alinea.id di kios Aziz.
Ini kali kedua Lilik berkunjung ke kios Aziz. Delapan bulan lalu, Lilik memakai jasa Aziz untuk memasang dua gigi geraham tiruan. Beberapa hari lalu, gigi tiruan itu tanggal.
"Kalau enggak dibetulin, bisa susah makan lagi saya kayak waktu awal gigi lepas. Sakitnya ampun-ampunan," ucap warga Jurumudi, Benda, Tangerang, Banten itu.
Kepada Aziz, Lilik berpesan agar gigi tiruannya digarap lebih serius. "Dibikin agak parmanenlah, biar tahan lebih lama. Paling enggak (bisa bertahan) setahunlah. Masa baru delapan bulan aja udah lepas?" keluh Lilik.
Merugikan konsumen
Keluhan yang diungkapkan Lilik sebenarnya tergolong enteng. Kepada Alinea.id, sejumlah eks pasien mengungkapkan menderita cacat permanen setelah berkunjung ke tukang gigi. Salah satunya ialah Sinta--bukan nama sebenarnya.
Sinta tinggal di Punggoloka, Kendari, Sulawesi Tenggara. Pada 2015, ia memakai jasa tukang gigi yang membuka tempat usaha tak jauh di rumahnya. Ketika itu, salah satu gigi geraham Sinta rusak dan harus segera dicabut.
"Waktu nyabut geraham, dia (tukang gigi) asal tarik aja tanpa diungkit. Sampe tangnya kebentur ke gigi atas," ucap Sinta saat dihubungi Alinea.id, Senin (27/3).
Karena giginya dicabut terlalu keras, gusi Sinta robek. Si tukang gigi kemudian menjahit daging yang robek itu. Namun, jahitannya tidak rapi. "Saya sempat sakit beberapa hari. Struktur gigi kanan saya berubah karena terlalu banyak jahitan waktu itu," kata dia.
Sejak itu, menurut Sinta, gigi dan gusinya kerap bermasalah. Hingga kini, ia bahkan kesulitan untuk mengunyah makanan yang teksturnya terlalu keras. "Kalau makan, harus pakai pertimbangan ngunyahnya. Sakit kalau dipaksain," kata Sinta.
Pengalaman serupa diungkap Yenis Deslia, warga Kota Tasikmalaya, Jawa Barat. Pada 2016, Yenis memakai jasa seorang tukang gigi untuk mencabut kelebihan gigi siung di antara barisan gigi serinya.
"Aku copot karena malu dan sekaligus pasang behel (kawat gigi). Tapi, setelah dipasang, kayak ada yang ganjel dan enggak enak," kata Yenis kepada Alinea.id.
Ketika itu, Yeni juga menggunakan jasa si tukang gigi memasang gigi tiruan. Namun, gigi palsu itu tak bertahan lama. "Jadi, longgar terus. Akhirnya, gigi tiruannya copot sendiri," kata perempuan berusia 25 tahun itu.
Sesuai isi Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 39 tahun 2014 tentang Pembinaan, Pengawasan, dan Perizinan Tukang Gigi (Permenkes 39/2014), para tukang gigi sebenarnya hanya diperbolehkan membuat dan memasang gigi tiruan. Mereka tidak boleh membuka jasa pemasangan kawat gigi, scaling, atau bahkan mencabut gigi.
Meski begitu, saat ini banyak tukang gigi menyediakan layanan-layanan layaknya dokter gigi profesional. Itu setidaknya dibenarkan oleh Tonal, seorang tukang gigi yang membuka "klinik" di kawasan Kalideres, Jakarta Barat.
"Kalau cuma boleh masang gigi tiruan, memang seret (pendapatannya). Makanya, banyak buka pelayanan yang aneh-aneh. Itu untuk narik konsumen," kata Tonal kepada Alinea.id saat ditemui di tempat usahanya, Senin (28/3).
Tak seperti kios milik Aziz, klinik Tonal sepi pengunjung. Tonal mengaku ia bahkan sudah sepekan tidak kedatangan pasien. "Saya enggak masang behel. Apalagi cabut gigi. Makanya, sepi," imbuh dia.
Menurut catatan Serikat Tukang Gigi Indonesia (STGI), ada sekitar 25 ribu orang anggota STGI pada 2017. Angka itu menurun drastis jika dibandingkan jumlah anggota STGI pada 2011 yang mencapai 100 ribu orang.
Tonal mengakui banyak tukang gigi yang "bermasalah" dan merugikan konsumen. Namun, ia juga menyebut tak semua tukang gigi semberono. Di lain sisi, ia meyakini kios-kios tukang gigi bakal terus buka di berbagai tempat.
"Karena lebih murah. Saya, untuk gigi tiruan saja, hanya mematok Rp200 ribu per satu gigi. Kalau kalangan masyarakat ke bawah, pasti masih banyak yang ke tukang gigi. Ya, saya kira tukang gigi masih dibutuhkan," kata pria berusia 56 tahun itu.
Pengawasan lemah
Dr. Fiesca, dokter gigi yang saban hari berpraktik di Bintaro, mengatakan harga layanan yang dipatok dokter gigi memang jauh lebih mahal ketimbang di tukang gigi. Untuk pemasangan gigi tiruan dan cabut gigi saja, misalnya, Fiesca mematok biaya termurah sekitar Rp500 ribu.
"Tapi, tiap klinik itu beda-beda. Untuk pembuatan gigi palsu pun tergantung jumlah gigi yang hilang berapa. Lalu bahannya apa, jenisnya apa. Ada di kisaran Rp500 ribu ke atas," ucap Fiesca kepada Alinea.id, Selasa (29/3).
Dari sisi medis, Fiesca mengatakan ada banyak layanan "berbahaya" yang seharusnya tak diberikan para tukang gigi. Ia mencontohkan praktik pemasangan behel atau cabut gigi di rumah pasien. Itu hal yang tidak mungkin dilakukan seorang dokter gigi profesional.
"Saat kerja pun kami harus dengan alat dan bahan yang sudah steril, menggunakan APD (alat perlindungan diri) yang sudah ditetapkan. Intinya sesuai SOP (standard operational procedure). Jadi, kalau panggilan seperti itu tentu tidak sesuai dengan SOP," kata Fiesca.
Pejabat Direktorat Tata Kelola Pelayanan Kesehatan Kementerian Kesehatan (Kemenkes) Indra Rachmad Dharmawan merinci sejumlah faktor yang menyebabkan para tukang gigi kerap membuka layanan yang melanggar ketentuan Permenkes 39/2014.
Pertama, turunnya pendapatan para tukang gigi sejak Permenkes diberlakukan. Sejalan dengan itu, masyarakat juga mulai beralih ke puskesmas lantaran perawatan gigi bisa di-cover oleh BPJS Kesehatan dalam skema jaminan kesehatan nasional (JKN).
"Semua bisa ditanggung, kecuali pemasangan behel karena itu soal estetis. Masyarakat memakai BPJS ke puskemas dan klinik-klinik. Pendapatan mereka akhirnya turun sehingga mereka menawarkan jasa yang aneh-aneh," kata Indra kepada Alinea.id, Senin (23/3).
Kedua, terbukanya akses para tukang terhadap peralatan kedokteran gigi. Menurut Indra, para tukang gigi kini bisa dengan mudah membeli peralatan dan bahan memasang kawat gigi atau selongsong gigi (veneer) di berbagai toko daring. Padahal, alat-alat itu seharusnya hanya boleh dimiliki dokter gigi.
"Bahan-bahan alat gigi itu dijual bebas. Ini kami lagi pikirkan bagaimana untuk mengatur agar alat-alat itu tidak diakses secara mudah sehingga menimbulkan praktik yang tidak semestinya dilakukan tukang gigi. Itu pekerjaan rumah kami," kata Indra.
Terakhir, lemahnya pengawasan. Menurut Indra, pendataan dan pengawasan terhadap praktik-praktik tukang gigi jarang dilakukan dinas kesehatan setempat. Padahal, banyak kios tukang gigi yang terang-terangan mempromosikan layanan yang melanggar Permenkes 39/2014.
"Sebenarnya itu ada sanksinya. Tapi, memang kita lemah. Semestinya dinas kesehatan kota itu menjalankan pembinaan dan pengawasan bersama organisasi profesi seperti PDGI (Persatuan Dokter Gigi Indonesia). Itu bareng-bareng turun ke lapangan untuk mengecek di luar pelayanannya itu sesuai Permenkes apa enggak," kata Indra.