Simalakama kenaikan iuran BPJS Kesehatan di tengah kesulitan masa pandemi
Drama tarik-ulur iuran peserta Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan memasuki babak baru. Pada 13 Mei 2020, Presiden Joko Widodo mengumumkan kenaikan iuran BPJS Kesehatan per Juli 2020.
Sebelumnya, Mahkamah Agung (MA) membatalkan kenaikan iuran BPJS per 1 Januari 2020 yang sudah ditanda tangani Jokowi. Jokowi meneken Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 75 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Peraturan Presiden Nomor 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan.
Tadinya, berdasarkan Perpres Nomor 75 Tahun 2019, iuran bagi perserta Pekerja Bukan Penerima Upah (PBPU) dan peserta Bukan Pekerja (BP) sebesar Rp42.000 untuk kelas III, Rp110.000 kelas II, dan Rp160.000 kelas I.
Keputusan MA mengamanatkan kembali ke Perpres Nomor 82 Tahun 2018. Iurannya pun kembali ke semula, yakni Rp25.500 untuk kelas III, Rp51.000 kelas II, dan Rp80.000 kelas I.
Akan tetapi, besaran iuran sesuai Perpres Nomor 82 Tahun 2018 hanya berlangsung selama tiga bulan, April-Juni 2020. Jokowi lantas meneken Perpres Nomor 64 Tahun 2020 tentang Perubahan Kedua atas Perpres Nomor 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan.
Nantinya, peserta BPJS Kesehatan membayar iuran Rp150.000 untuk kelas I dan Rp100.000 untuk kelas II. Peserta kelas III membayar Rp35.000 per Januari 2021.
Naik di tengah kesulitan
Menurut Kepala Humas BPJS Kesehatan M. Iqbal Anas Ma’ruf, kebijakan itu menunjukkan pemerintah sudah menjalankan putusan MA. Ia pun mengklaim, kebijakan itu sudah sesuai dengan aspirasi masyarakat.
“Seperti yang disampaikan wakil-wakil rakyat di DPR, khususnya dari anggota Komisi IX, untuk memberikan bantuan iuran bagi peserta PBPU atau mandiri dan BP kelas III,” katanya dalam keterangan tertulis yang diterima reporter Alinea.id, beberapa waktu lalu.
Koordinator Advokasi BPJS Watch Timboel Siregar berpendapat, secara prosedur hukum, kenaikan iuran peserta BPJS Kesehatan dimungkinkan lantaran Pasal 38 ayat 1 Perpres Nomor 82 Tahun 2018 menyatakan, besaran iuran dapat ditinjau kembali paling lama dua tahun sekali.
Oleh karena itu, meski putusan MA hanya dijalankan pemerintah selama tiga bulan, pemerintah bisa membuat keputusan menaikkan kembali iuran peserta BPJS Kesehatan.
Menurut Timboel, ketika MA melakukan putusan, ada dua pertimbangan hukum yang membatalkan Pasal 34 Perpres Nomor 75 Tahun 2019. Pertama, daya beli masyarakat yang menurun. Kedua, pelayanan Jaring Kesehatan Nasional (JKN) dianggap belum baik.
Memperhatikan pertimbangan pertama, Timboel berpendapat, pemerintah keliru menaikkan iuran BPJS karena sebelum pandemi Covid-19, daya beli masyarakat sudah turun.
“Kalau kita konteks kan hari ini, sekarang bukan lagi masalah daya belinya rendah, tapi daya belinya terperosok. Sudah hancur,” ucapnya saat dihubungi reporter Alinea.id, Selasa (19/5).
Timboel mencermati, ada persoalan lain di Perpres Nomor 64 Tahun 2020, yang tercantum dalam pasal 35 A ayat 2. Di pasal itu disebut, penduduk yang semula didaftarkan pemerintah daerah dan memenuhi kriteria fakir miskin dan/atau orang tidak mampu sesuai undang-undang, kepesertaannya ditambahkan sebagai bagian peserta Penerima Bantuan Iuran (PBI) Jaminan Kesehatan.
Sedangkan penduduk yang semua didaftarkan pemerintah daerah, tetapi tidak memenuhi kriteria fakir miskin dan/atau orang tidak mampu sesuai ketentuan undang-undang, statusnya menjadi PBPU dan PBI dengan pelayanan kelas III.
Dengan ketentuan itu, menurut Timboel, akan ada sentralisasi PBI. Imbasnya, PBI yang menggunakan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) tidak boleh ada lagi karena yang diperbolehkan PBI Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
Persoalannya, kata dia, saat ini ada 36,9 juta orang yang berstatus PBI APBD. Menurutnya, dari jumlah itu tidak akan semua masuk ke dalam PBI APBN.
“Yang selama ini dibayar oleh pemda, besok-besok akan disubsidi. Artinya apa? Besok akan dibayar oleh mereka sendiri,” katanya.
Problem lainnya terdapat di pasal 42 yang mengatur kenaikan denda dari 2,5% menjadi 5% pada 2021. Denda itu berlaku bagi peserta nonaktif yang menjadi aktif kembali.
“Artinya denda naik 100%. Kan kasihan juga,” ucapnya.
Di sisi lain, seperti halnya yang dilakukan saat keluar Perpres Nomor 75 Tahun 2019, Komunitas Pasien Cuci Darah Indonesia (KPCDI) pun melayangkan gugatan uji materiel Perpres Nomor 64 Tahun 2020 ke MA.
Menurut Ketua Umum KPCDI Tony Samosir, kenaikan iuran itu memberatkan masyarakat. Mengingat kondisi ekonomi warga saat ini sedang tak stabil karena pandemi SARS-CoV-2 penyebab Covid-19.
“Bisa kami anggap terlalu galak menaikkan iuran,” kata Tony saat dihubungi, Senin (18/5).
“Kita tahu bahwa kesehatan adalah tanggung jawab negara kepada warga negaranya. Itu kan amanat undang-undang.”
Meski begitu, secara prinsip, Tony mengaku tak menolak kenaikan itu. Namun, ia menyarankan, ada baiknya pemerintah membenahi tata kelola dan meningkatkan fasilitas kesehatan terlebih dahulu.
Menurut Tony, fasilitas kesehatan di Indonesia tidak merata, minim di daerah terpencil luar Pulau Jawa. Sementara, ketika iuran BPJS Kesehatan naik, kebijakan itu berlaku rata bagi peserta.
“Sangat tidak adil apabila kenaikan iuran itu terlalu galak dilakukan tanpa mempertimbangkan kualitas layanan yang merata dari Sabang sampai Merauke,” katanya.
Problem lain
Tony memandang, jika pemerintah memaksa menaikkan iuran BPJS Kesehatan, masyarakat akan semakin kesulitan dalam memenuhi kebutuhan hidup. Ia mencontohkan, banyak pasien gagal ginjal terkena pemutusan hubungan kerja (PHK). Menurut dia, di tempat kerja, pasien pengidap penyakit kronis rentan mendapatkan perilaku diskriminatif.
“Sebagian besar pasien ini telah ter-PHK. Termasuk saya. Saya adalah korban PHK karena sakit yang berkepanjangan,” ujarnya.
Persoalan lain timbul jika peserta ingin pindah ke kelas yang iurannya lebih murah. Hal itu, kata dia, tidak mudah. Misalnya, kalau peserta ingin pindah dari kelas III menjadi PBI, pihak terkait akan melakukan survei.
Menjadi problem, menurut dia, jika ketika disurvei terlihat rumahnya bagus atau punya kendaraan bermotor. Dengan kondisi ini, peserta akan sulit berpindah menjadi PBI.
“Padahal karena pandemi Covid-19 yang bersangkutan bisa saja baru terkena PHK. Apa harus kita jual harta semua, hidup miskin, dan menderita baru bisa masuk PBI? Itu harus jelas ketentuannya,” ucapnya.
Tony membeberkan, pihaknya juga menemukan kasus pasien yang ditolak melakukan cuci darang karena kartu BPJS-nya dianggap tidak aktif. Hal itu banyak terjadi pada Mei 2020.
“Kami bersyukur pemerintah telah hadir dengan mendorong BPJS Kesehatan untuk menjamin setiap warga negaranya yang sakit, tetapi juga jangan sampai ugal-ugalan menetapkan tarif,” ujarnya.
Sementara itu, sosiolog dari Universitas Gadjah Mada (UGM) AB Widyanta—akrab disapa Abe—mengatakan, kebijakan menaikkan iuran BPJS Kesehatan tidak tepat dalam kondisi masyarakat yang tengah terpuruk dampak pandemi Covid-19.
“Bahkan dalam proses yang kemarin pun, sejumlah masyarakat yang bayar terseok-seok, apalagi kalau ditingkatkan,” katanya saat dihubungi, Selasa (19/5).
Abe menyarankan pemerintah untuk melihat dahulu kondisi ekonomi warga, sebelum tergesa-gesa menaikkan iuran BPJS Kesehatan. Jika keadaan sudah membaik, kebijakan tersebut baru bisa didiskusikan kembali.
Dihubungi terpisah, pengamat kebijakan publik dari Universitas Trisakti Trubus Rahadiansyah mengatakan, jika iuran dinaikkan, peserta akan pindah ke kelas yang lebih rendah dari sebelumnya.
Akan tetapi, ia memandang, secara umum warga tak mempersoalkan besaran kenaikan, tetapi perkara layanannya. Kualitas pelayanan, terutama terkait fasilitas kesehatan, kata dia, selama ini mengalami banyak masalah.
“Sebenarnya masalah internal BPJS ini, yang paling krusial itu pembenahan manajemen sama keuangan,” ujarnya saat dihubungi, Selasa (19/5).
Sementara menurut Timboel, penurunan kelas kepesertaan BPJS Kesehatan akan banyak terjadi ketika iuran naik. Ia menjelaskan, berdasarkan data yang diperolehnya sebagai imbas Perpres 75/2019, sebelum aturan itu dieksekusi, peserta kelas I menurun sekitar 850.000.
Di kelas II penurunan terjadi sekitar 1,2 juta. Akibatnya, peserta di kelas III menjadi menumpuk. Selain itu, dampak yang bisa terjadi adalah bertambahnya utang iuran peserta.
“Per 29 Februari 2020, sebelum pandemi Covid-19, dua bulan dieksekusinya Perpres 75/2019 itu Rp12,33 triliun peserta mandiri punya utang iuran untuk satu bulan,” katanya.
Jika situasinya menjadi seperti itu, kata Timboel, banyak orang yang kepesertaannya menjadi nonaktif karena tidak mampu bayar iuran BPJS. “Ini persoalan dampak lain, akhirnya banyak orang yang tidak menjadi peserta JKN untuk dijamin,” ucapnya.