Simalakama merger perguruan tinggi "mini"
Gedung kampus Sekolah Tinggi Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (STISIP) Setia Budhi di Jalan Budi Utomo, Rangkasbitung, Kabupaten Lebak, Banten, tampak lengang, Rabu (14/12) siang itu. Ruang-ruang kelas di gedung dua lantai itu tak banyak diisi mahasiswa. Hanya barisan motor yang terpakir di pinggir gedung yang mengindikasikan kampus itu "berpenghuni".
Di kampus itu, M Fares Wijaya sudah lima semester jadi mahasiswa jurusan Ilmu Administrasi Negara. Kepada Alinea.id, ia bercerita STISIP Setia Budhi merupakan satu-satunya perguruan tinggi yang membuka jurusan terkait politik di Lebak.
“Ada lagi di STISIP Banten, di daerah Pandeglang. Sekolah tinggi di Lebak bisa kehitung jari,” ujar Fares saat berbincang dengan Alinea.id di sebuah warung di depan kampus. Warung itu rutin jadi tempat nongkrong Fares dan rekan-rekannya di sela-sela kuliah.
Di Lebak, tercatat hanya ada 7 perguruan tinggi (PT) di bawah naungan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek). Sebanyak 5 PT lainnya di bawah naungan Kementerian Agama (Kemenag) di Lebak.
Jika dibandingkan dengan tetangganya, Lebak "tertinggal". Di Kabupaten Tangerang, misalnya, tercatat ada 24 PT di bawah naungan Kemendikbudristek. Sedangkan di Kota Tangerang, ada sekitar 32 PT di bawah Kemendikbudristek dan 7 PT di bawah naungan Kemenag.
"Akhirnya, penduduk Lebak lebih memilih keluar (daerah) mencari universitas-universitas atau sekolah-sekolah tinggi,” ucap Fares.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Banten, Lebak merupakan daerah terluas di Banten. Luas daratannya mencapai 3.426,56 kilometer persegi. Per 2021, jumlah populasinya mencapai 1.407.857 jiwa. Namun, BPS mencatat hanya 2,28% warganya yang menyelesaikan pendidikan di PT.
Fares bercerita kebanyakan mahasiswa yang kuliah di STISIP Setia Budhi berasal dari "daerah-daerah terpencil" di kabupaten itu. Ia, misalnya, tinggal di Kecamatan Sajira, Lebak. Jarak dari rumah ke kampus sekitar 20 kilometer.
“Ada yang lebih jauh. Banyak. Ada yang dari Kecamatan Cijaku (Lebak). (Kuliahnya) pulang-pergi. Itu sekitar 50-60 kilometer dari sini (STISIP Setia Budhi),” ucapnya.
Meskipun berkuliah di PTS kecil, Fares mengatakan, tidak ada perbedaan mencolok dengan universitas besar dari segi pembelajarannya. Kesimpulan itu dia peroleh setelah bertanya kepada teman-temannya yang kuliah di PT besar.
Sejumlah dosen yang mengajar di kampus Fares juga tercatat sebagai pengajar di PT yang tergolong besar. Salah satunya Universitas Sultan Ageng Tirtayasa (Untirta), Serang, Banten.
“Artinya, tiap dosen juga punya akreditasi untuk bisa mengajar di suatu universitas. Akhirnya, dalam proses pembelajarannya kurang lebih sama. Artinya, secara kualitas dari akademik, ya, bisa dibilang enggak ada bedanya,” jelas Fares.
Berbasis data yang disajikan ayokuliah.id, STISIP Setia Budhi punya 6 dosen dan 740 mahasiswa. Rasio jumlah pengajar dan mahasiswa mencapai 1:123. Angka itu jauh dari rasio ideal versi Kemendikbudristek, yakni 1:20 untuk ilmu eksakta dan 1:30 untuk ilmu sosial.
Sejak 2015, Kemendikbud mewajibkan kampus-kampus dengan jumlah mahasiswa kurang dari 1.000 orang untuk merger. Merger diitikadkan untuk menyehatkan kondisi keuangan PTS dan meningkatkan angka partisipasi kasar (APK) pendidikan di tingkat perguruan tinggi.
Ditanya soal isu merger kampus-kampus kecil, Fares mengaku pernah mendengarnya. “Itu mungkin langkah awal dari kementerian juga untuk membantu kampus-kampus kecil di daerah,” ucap dia.
Kaprodi Ilmu Hukum Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia (Unusia) Muhtar Said berpendapat kebijakan merger PTS kecil tidak perlu dikhawatirkan. Ia menyebut fusi dan merger hanya bakal menyentuh tata kelola PT.
"Misal, (PTS) di Lebak memang fasilitasnya enggak ada. Kemudian, dia tidak bisa mengurus PT-nya lalu diambilalih sama Untirta. Kemudian, kuliahnya di pindah ke Serang? Bukan begitu. Bisa saja yang di Lebak diurus oleh Untirta melalui program studi yang dibangunnya," jelas Muhtar saat dihubungi Alinea.id, Minggu (18/12).
Unusia pernah berfusi dengan Sekolah Tinggi Agama Islam Nahdlatul Ulama (STAINU). Proses tersebut terjadi pada 2015 saat Unusia aktif sebagai universitas. Namun, Muhtar menyebut keputusan fusi kala itu tak terkait kebijakan Kemendikbud.
"Ini berbeda. Peleburan tersebut bukan menjadi soal karena Unusia dan STAINU sama-sama berada di bawah NU," kata dia.
Lebih lanjut, Muhtar mengapresiasi kebijakan merger PTS-PTS kecil. Ketimbang hidup segan, mati tak mau, ia menganjurkan PTS-PTS kecil untuk merger supaya bisa serius mengimplementasikan Tri Dharma perguruan tinggi.
"Kalau dari tiga itu (pendidikan dan pengajaran; penelitian dan pengembangan; serta pengabdian kepada masyarakat), salah satunya saja tidak terpenuhi, maka itu problem. Apalagi, kalau tidak terpenuhinya karena soal anggaran. Kan problem lagi," jelasnya.
Pangkas jumlah PTS
Saat ini, tercatat setidaknya ada lebih dari 4.000 PTS di bawah Kemendikbudristek. Jumlah PTS rencananya bakal dipangkas via merger kampus hingga hanya 2.000. Sepanjang 2020-2022, tercatat sudah ada sekitar 692 kampus yang telah menggelar merger.
“Karenanya kita dorong PTS yang kecil untuk bergabung agar menjadi besar dan bisa berkembang mutunya dengan baik,” ucap pelaksana tugas Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi, Riset, dan Teknologi Kemendikbutristek, Nizam kepada Alinea.id, Rabu (14/12).
Jumlah PTS di Indonesia, kata Nizam, terlampau banyak. Walhasil, banyak PTS kesulitan dalam mendanai aktivitas belajar mengajar serta merekrut mahasiswa. Ia membandingkan jumlah PTS di Indonesia dengan jumlah perguruan tinggi di Tiongkok.
“Meski jumlah penduduknya lima kali lipat dari Indonesia, di sana (Tiongkok) jumlah perguruan tingginya hanya sekitar 2000-an,” jelas Nizam.
Ditanya mengenai kendala merger PTS-PTS kecil, Nizam tidak menjawab. Namun, dia mengatakan kian banyak PTS yang berinisiatif untuk melakukan penggabungan. Untuk PTS yang menggelar proses merger, Kemendikbud menyediakan insentif sebesar Rp100 juta per kampus.
"Tahun ini saja sudah ada 320 PTS yang merger. Kampus di bawah naungan Kemenag bisa ikut merger atas izin dari Kemenag," ujar Nizam.
Mantan Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi Kemendikbud, Satryo Soemantri Brodjonegoro mengatakan kebijakan merger PTS-PTS kecil dirilis karena pemerintah khawatir mereka sulit menyelenggarakan pendidikan. Pasalnya, kebanyakan PTS kecil biasanya terkendala anggaran.
“Jadi, sharing. Idenya gitu, membantu PT kecil yang tidak mampu. Mungkin juga ada yang merasa kalau gabung nanti hilang identitasnya. Jadi, tetap mau sendiri. Itu pilihan juga. Enggak apa-apa,” kata Satryo kepada Alinea.id, Rabu (14/12).
Kemendikbudristek memiliki delapan indikator kinerja utama (IKU) untuk mengukur mutu pendidikan di PT. Pertama, lulusan mendapat pekerjaan yang layak. Kedua, mahasiswa mendapat pengalaman di luar kampus. Ketiga, dosen berkegiatan di luar kampus. Keempat, hasil kerja dosen digunakan oleh masyarakat.
Kelima, praktisi mengajar di dalam kampus. Keenam, keberadaan program studi berstandar internasional di kampus. Ketujuh, kelas yang kolaboratif serta partisipatif. Kedelapan, adanya program studi bekerja sama dengan mitra kelas dunia.
Menurut Satryo, indikator kualitas pendidikan PT itu masih disamaratakan. Namun, ia berpendapat seharusnya indikator tersebut tidak baku berlaku untuk semua kampus. Pasalnya, situasi yang dihadapi tiap perguruan tinggi berbeda-beda.
"Supaya baik (PT) yang kecil, sedang, maupun besar, yang di daerah maju atau daerah terpencil, kemudian yang memang banyak dananya atau yang dananya pas-pasan, itu semua mendapatkan apresiasi yang sama. Meskipun kecil, tapi masyarakat di sekitar senang karena terbantukan dengan adanya PT, kan enggak ada salahnya,” ucap pria yang juga menjabat Ketua Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI) itu.
Dorong pendampingan
Koordinator Nasional Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) Ubaid Matraji mengaku tak sepakat jika PTS-PTS kecil dipaksa merger oleh Kemendikbudristek. Menurut dia, kebanyakan PTS didirikan untuk memenuhi kebutuhan publik.
"Kalau di-merger lalu kampusnya diletakkan di pusat-pusat kota, menurut saya, daya jangkaunya akan semakin jauh dari masyarakat," ucap Ubaid saat dihubungi Alinea.id, Kamis (15/12).
Ketimbang memaksa PTS-PTS kecil merger, ia menyarankan pemerintah untuk mendorong peningkatan kualitas lewat pendampingan secara serius. Saat ini, menurut Ubaid, pemerintah hanya memberikan penilaian dan rekomendasi.
"Pemerintah harusnya memastikan rekomendasi itu sesuai dengan yang idealnya seperti apa. Lalu, (rekomendasi) itu bisa tidak dilakukan oleh kampus? Lalu, kekurangannya apa perlu nantinya di-support oleh pemerintah?" jelasnya.
Soal indikator kualitas pendidikan di tiap kampus, Ubaid sepakat agar parameternya tidak dipukul rata. Pasalnya, karakteristik kampus di Indonesia berbeda-beda. Idealnya, indikator yang diberlakukan disesuaikan dengan karakteristik kampus.
"Contoh ada kampus yang fokus di keguruan. Berarti, yang diukur, misalnya, kampus itu mampu mencetak calon-calon guru yang berkualitas. Itu kan tentu akan berbeda dengan kampus yang fokus pada pengembangan dunia industri," ujarnya.
Dalam menentukan indikator, Ubaid berpendapat, pemerintah juga perlu memasukkan unsur kebutuhan lokal serta output dan outcome kampus. Dengan kata lain, tolok ukurnya tidak hanya jumlah sarjana yang dicetak PT. Akan tetapi, imbuh Ubaid, juga bagaimana kontribusi PT terhadap daerah dalam jangka panjang.
"Kalau kampus yang scope-nya nasional apakah kampus itu berkontribusi terhadap blue print pembangunan nasional. Kalau di lokal, apakah kampus-kampus itu berkontribusi terhadap rencana pembangunan daerah. Itu menjadi penting supaya kampus tidak menjadi institusi yang eksklusif atau menara gading," katanya.
Faktor lain yang perlu dijadikan indikator, jelas Ubaid, adalah kemampuan PT dalam membangun sumber daya manusia (SDM). Hal tersebut berkelindan dengan soft skill.
"Bagaimana kemampuan kampus dalam menciptakan mahasiwa yang kreatif, inovatif, kritis, dan tangguh perlu dinilai juga. Hal kayak gitu yang bagian terpenting dari pembangunan SDM yang sering kali terlewat karena banyak fokus pada hard skill," ucapnya.
Sebelumnya, Ketua Asosiasi Perguruan Tinggi Swasta Indonesia (Aptisi) Pusat Budi Djatmiko mengatakan program merger yang dirilis Kemendikbud sejak era Menteri Mohamad Nasir menimbulkan banyak persoalan di lapangan.
Pertama, proses merger yang bisa memakan waktu hingga dua sampai tiga tahun. Pada masa merger, kampus-kampus kebingungan lantaran masih harus membayar gaji dosen dan tenaga kependidikan. "Sementara yayasan atau badan penyelenggara tidak ada pemasukan," jelas Budi.
Kedua, kampus kesulitan merekrut dosen untuk mengajar yang linier dengan mata kuliah hasil merger. Ketiga, kesulitan menyamakan persepsi antara yayasan. Keempat, sulit mencari lahan untuk kampus baru. Kelima, ketidakjelasan tahapan merger.
Terakhir, persoalan dokumen hukum. Biasanya, nama yayasan yang muncul di akta notaris dan Kemenkumham berbeda dengan nama yayasan pada SK izin. "Penyebabnya kelalaian Kemendikbud dalam menulis nama yayasan dalam SK... Semua permasalahan atas dasar pengaduan dari berbagai PTS yang merger," kata Budi.