Sirkuit Ancol: Penghasil pembalap nasional yang dilupakan zaman
Riuh seri terakhir World Superbike 2021 sudah digelar pada Jumat (19/11), berlangsung hingga Minggu (21/11) di Pertamina Mandalika International Street Circuit atau Sirkuit Mandalika, Lombok Tengah, Nusa Tenggara Barat. Pembalap asal Turki Toprak Razgatlioglu dari tim Pata Yamaha dan pembalap asal Irlandia Utara Jonathan Rea dari tim Kawasaki Racing menjadi kandidat terkuat sebagai juara musim ini.
Selain ajang World Superbike, Sirkuit Mandalika rencananya akan digunakan untuk MotoGP pada Maret 2022. Sirkuit dengan lintasan sepanjang 4,31 kilometer dan 17 tikungan ini dibangun sejak 2019 dan rampung pada November 2021.
Presiden Joko Widodo pun sempat menjajal sirkuit ini dengan mengendarai sepeda motor Kawasaki W175 pekan lalu. Setelah itu, Jokowi meresmikan arena balap internasional ini.
Proyek besar Otorita Ancol
Di samping Sirkuit Mandalika, Indonesia punya banyak sirkuit balap sepeda motor, mobil, gokar, maupun off-road. Jaya Antjol Circuit Djakarta yang ada di kawasan Taman Impian Jaya Ancol, Jakarta Utara menjadi sirkuit pertama dan satu-satunya di Indonesia pada 1970-an hingga 1980-an. Pembangunannya masuk dalam proyek besar Otorita Ancol, dengan Gubernur DKI Jakarta Ali Sadikin dan pengusaha Ciputra sebagai tokoh utamanya.
Menurut buku Gita Jaya: Catatan H. Ali Sadikin Gubernur DKI Jakarta 1966-1977 (1977), Otorita Ancol merupakan sebuah pemikiran untuk mengubah daerah di Jakarta Utara yang saat itu sangat tak bermanfaat, seperti rawa-rawa dan empang, menjadi daerah pembangunan perumahan, industri, rekreasi, dan pariwisata.
Ide ini sebenarnya sudah ada sejak awal 1960-an, berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 1960, Keputusan Presiden Nomor 338 Tahun 1960, dan Keputusan Gubernur Kepala Daerah Nomor 11 Tahun 1961. Namun, baru serius dilaksanakan ketika era Gubernur Ali Sadikin, dengan diperkuat Keputusan Gubernur Kepala Daerah Nomor Ib.3/1/59/66 tanggal 25 November 1966.
Soekardjo Hardjosoewirjo—yang ditunjuk sebagai Ketua Pelaksana Harian Proyek Ancol dan kelak menjadi Direktur Taman Impian Jaya Ancol—dalam buku biografinya Jejak Soekardjo Hardjosoewirjo di Taman Impian Jaya Ancol (2010) yang ditulis Sugianto Sastrosoemarto dan Budiono, mengatakan peran Ali Sadikin terkait proyek Ancol sangat menentukan.
“Saat di bawah kepemimpinan Ali, Otorita BP3 (Badan Pelaksana Pembangunan) Ancol melakukan banyak studi banding ke beberapa kawasan rekreasi negara lain,” tulis Sugianto dan Budiono.
“Hal ini dilakukan untuk memperoleh inspirasi dan gambaran apa saja yang bisa dan baik dibangun di Ancol.”
Maka, awal 1970-an berbagai wahana dibangun di Ancol. Mulai dari gelanggang samudera, lapangan golf, gelanggang renang, pasar seni, taman hiburan, kasino, termasuk sirkuit balap. Soekardjo menuturkan, peran Pertamina, Astra, dan beberapa pengusaha besar yang bergerak di bidang otomotif dalam pembangunan maupun even balapan sangat besar.
“Ikatan Motor Indonesia (IMI) dan tokoh-tokoh kepolisian, seperti Soetjipto Judhodihardjo (Kapolri, 1965-1968), Hoegeng (Kapolri, 1968-1971), Sukahar, dan Widodo Budidarmo (Kapolda Metro Jaya, 1970-1974 dan Kapolri, 1974-1978) memiliki peran yang cukup penting. Pembangunan sirkuit balap mobil sangat didukung tokoh-tokoh kepolisian itu,” tulis Sugianto dan Budiono.
Dukungan dari tokoh-tokoh kepolisian ada kaitannya agar jalanan di Jakarta tertib dari aksi balapan liar. Sugianto dan Budiono menulis, fenomena balap liar di jalanan Ibu Kota marak pada awal 1970-an, seperti di Bandara Halim Perdana Kusumah dan Parkir Timur Senayan.
Ali sangat mendukung gagasan pembangunan Sirkuit Ancol, mengingat Jakarta belum memiliki arena balapan, seperti di negara lain. Selain itu, kata wartawan Kompas, Ignatius Sunito dalam buku Wardiman Djojonegoro, Sepanjang Jalan Kenangan: Bekerja dengan Tiga Tokoh Besar Bangsa (2016), waktu itu Bang Ali juga tengah tergila-gila dengan olahraga, usai kontingen DKI Jakarta merebut juara umum di PON VI 1969 di Surabaya, Jawa Timur.
Pembangunan sirkuit ini melewati tiga tahap. Pada 1969 kondisinya masih jalanan biasa, memiliki panjang lintasan 3,5 kilometer dengan lebar 7-10,5 meter. Mobilmotorlama.com dalam artikel “Mengenang Sirkuit Ancol, Sirkuit Internasional Pertama di Indonesia” terbit pada 14 Oktober 2018 menyebut, pada Oktober 1969 sudah ada even Jaya Ancol Race I.
Pada 1970, panjang lintasan ditambah menjadi 3,9 kilometer, dengan jumlah tikungan sebanyak 12 titik. Baru pada 1971, sirkuit ini dipugar total.
“Biayanya mencapai sekitar Rp400 juta. Jalanannya diaspal hotmix, serta dibangun paddock, pit, dan tower. Panjang lintasan menjadi 4,4 kilometer, dengan lebar ditambah menjadi 9 dan 12 meter,” tulis Mobilmotorlama.com.
Kala itu, olahraga balap mobil dan sepeda motor merupakan sesuatu yang baru. Banyak warga yang penasaran menonton bagaimana deru mesin balap berpacu dalam sebuah arena khusus.
Dipuji, lantas ditinggalkan
Wardiman Djojonegoro—yang saat itu menjadi Kepala Biro Gubernur Ali Sadikin dan Ketua Harian Ikatan Penggemar Mobil Jakarta (IPMJ), kelak Menteri Pendidikan dan Kebudayaan—dalam bukunya Sepanjang Jalan Kenangan mengatakan, di sirkuit itu ada kegiatan anggota IPMJ dalam olahraga mobil dan Persatuan Olahraga Sepeda Motor Indonesia Jakarta (Posija) dalam aktivitas olahraga sepeda motor.
“Saya berinisiatif agar IPMJ juga bergerak di sport mobil dalam sirkuit dengan cara untuk pertama kalinya mengadakan lomba ketahanan mobil 6 jam di sirkuit Ancol pada 1975,” kata Wardiman.
IPMJ dikenal sebagai penyelenggara banyak rally dan balap mobil di sirkuit Ancol. Wardiman menulis, menjelang pergantian gubernur Jakarta pada 1977—Ali Sadikin digantikan Tjokropranolo—mulai diadakan rally internasional, yakni rally kecepatan yang pemenangnya mampu menempuh waktu tercepat.
Pembalap, yang disebut “setan” Ancol pun bermunculan. Sirkuit Ancol melahirkan banyak pembalap nasional jempolan, seperti Tinton Soeprapto, Richard Hendarmo, dan Aswin Bahar dari balap mobil, Henky Iriawan dari gokar, serta Sony Saksono dan Hendra Tirta alias Abauw dari balap sepeda motor.
Juara Grand Prix kelahiran Inggris yang membela Hong Kong, John Macdonald pernah memuji Sirkuit Ancol. Ia datang dan menjajal sirkuit ini pada 5 Agustus 1976. Menurut dia, lintasan Sirkuit Ancol memiliki standar yan setingkat dengan sirkuit di Asia lainnya.
“Lebarnya sebagian lebih besar dari lebar lintasan di sirkuit Penang, Macao, dan Filipina,” ujar Macdonald, seperti dikutip dari Tempo, 4 September 1976 dalam artikel “Formula Pertama”.
“Beberapa tikungan bahkan lebih luas dari sirkuit Selangor di Malaysia. Permukaannya pun tak kalah dari sirkuit di beberapa negara itu.”
Macdonald berpendapat, lomba mobil balap Formula Asia bisa dihelat di Sirkuit Ancol. Ia pun menyayangkan, mengapa sirkuit ini tak dimanfaatkan untuk seri kejuaraan Asia.
Upaya mendatangkan Macdonald tadi adalah salah satu cara promosi Sirkuit Ancol, agar bisa diadakan kejuaraan internasional. Lalu, Tinton Soeprapto—yang ditunjuk Ali Sadikin sebagai ikon pembalap untuk menggaet pembalap asing ke Sirkuit Ancol—dan pimpinan Jakarta Racing Management berencana mengadakan lomba Formula II, yang akan mendatangkan pembalap tenar Asia pada Oktober 1976. Namun, tak ada informasi apakah kejuaraan itu berlangsung atau tidak.
Federation Internationale du Sport Automobile (FISA), dilansir dari Tempo, 19 November 1977 juga tak memberikan kewenangan untuk Sirkuit Ancol menyelenggarakan balap mobil internasional karena masih banyak kekurangan. Sirkuit Ancol juga baru dipakai untuk kejuaraan gokar internasional pada 1980-an.
Tampaknya, yang langgeng adalah balap sepeda motor Indonesian Grad Prix. Pada 1970-an dan 1980-an, pembalap motor terkenal pernah balapan di sini. Misalnya, Sonny Soh dari Malaysia dan Manfred Fiscer dari Jerman Barat.
Grand Prix ke-16 yang berlangsung pada 12-13 November 1977 menjadi salah satu ajang bergengsi di sirkuit ini. Saat itu, panitia mencantumkan nama-nama pembalap sepeda motor terkenal, seperti Giacomo Agostini asal Italia—yang juara balap 15 kali, Boet van Dulmen dari Belanda, Greg Johnson dan Ray Quincey dari Australia, Sonny Soh dari Malaysia, dan Hideo Kanaya dari Jepang di selebaran promosi.
Namun, penggila balap motor dibuat kecewa. Menurut Tempo edisi 19 November 1977 beberapa nama tadi, seperti Giacomo, Greg, dan Hideo urung datang ke arena.
Pada 1980-an, Gubernur DKI Jakarta Raden Soeprapto menyerahkan pengelolaan Sirkuit Ancol kepada Ketua IMI Hutomo Mandala Putra alias Tommy—putra bungsu Presiden Soeharto, hingga ada sirkuit pengganti.
Pada pertengahan 1980-an, sudah ada rumor arena balap mobil dan motor bakal dipindah ke sirkuit baru di daerah Citeureup, Bogor. Sirkuit Ancol pun disebut-sebut sudah tak layak dijadikan arena balap. Sarana di arena banyak yang rusak, warga terganggu dengan deru mesin balap, dan areanya makin menyempit karena pembangunan.
Pembalap Malaysia, Sonny Soh yang pertama kali menjajal Sirkuit Ancol pada 1971 pun mengkritik kondisi sirkuit. Menurutnya, seperti dikutip dari Tempo edisi 5 Desember 1992, permukaan lintasan benjol-benjol, ada aspal yang meleleh, dan lintasannya dipenuhi pasir.
Pada 1986, Tommy yang juga menjadi Ketua Yayasan Tirasa (pemilik Sirkuit Sentul) mengatakan sudah mendapatkan tanah seluas 145 hektare untuk dijadikan sirkuit balap. Tahap pertama pembangunan calon sirkuit itu menghabiskan dana Rp23 miliar. Menurut Tommy, seperti dilansir dari Tempo, dana itu ia peroleh dari Bina Marga, Telkom, dan PLN.
Pada 1992, Sirkuit Ancol ditutup dan dikembalikan ke pemiliknya, yakni Pemda DKI Jakarta. Sirkuit legendaris, yang dianggap tak aman lagi bagi pembalap itu pun akhirnya ditinggalkan, dengan berdirinya Sirkuit Internasional Sentul di Bogor, Jawa Barat.