close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Foto ilutrasi/REUTERS/Dado Ruvic
icon caption
Foto ilutrasi/REUTERS/Dado Ruvic
Nasional
Kamis, 24 Juni 2021 07:59

SKB pedoman UU ITE, ICJR beri sejumlah catatan perlunya revisi

Pedoman kriteria implementasi UU ITE dinilai masih tetap membuka ruang kriminalisasi.
swipe

Menteri Komunikasi dan Informatika, Jaksa Agung, dan Kapolri resmi menandatangani surat keputusan bersama (SKB) pedoman kriteria implementasi UU ITE. Peneliti Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), Sustira Dirga menilai, beberapa ketentuan dalam pedoman kriteria implementasi UU ITE dapat berpeluang membantu perbaikan masalah di lapangan.

Namun, sambungnya, masih ada catatan yang menguatkan perlunya segera revisi UU ITE. Pertama, Pasal 27 Ayat (1) tentang Kesusilaan UU ITE telah merujuk pasal 281-282 KUHP dan UU Pornografi. Namun, KUHP dan UU Pornografi mengatur pelanggar kesusilaan harus di muka umum atau untuk keperluan komersial.

Pedoman kriteria implementasi UU ITE masih mengatur korespondensi orang ke orang dan dapat dijerat tanpa mempertegas transmisi/distribusi/memberi akses untuk diketahui umum sebagai perbuatan pidana. “Hal ini tetap membuka ruang kriminalisasi bagi korban Kekerasan Berbasis Gender Online (KBGO) atau korespondensi privat atau pribadi yang tidak ditujukan untuk umum atau tidak untuk kebutuhan komersil,” ucapnya dalam keterangan tertulis, Kamis (24/6).

Kedua, pedoman kriteria implementasi UU ITE dianggap berhasil meluruskan masalah Pasal 27 Ayat (3) tentang Pencemaran Nama Baik. Ketiga, pedoman kriteria implementasi UU ITE terhadap Pasal 27 Ayat (4) tentang Pemerasan/Pengancaman dapat memberi perlindungan bagi korban KBGO. Aparat penegak hukum tidak lagi dapat berkelit terkait pasal pidana untuk menjerat pengancam/pemeras korban KBGO.

Keempat, pedoman kriteria implementasi UU ITE sudah memberi batasan terkait ujaran kebencian pada Pasal 28 ayat (2). Namun, persoalannya terletak pada pengertian ‘antargolongan’ yang masih menjadi masalah serius pascaputusan Mahkamah Konstitusi (MK).

Jadi, lanjutnya, memang perlu direvisi. “Sejalan dengan Putusan MK yang meminta pembentuk undang-undang untuk melihat adanya kelompok lain di luar SARA yang menjadi bagian dari ‘antargolongan’, maka dalam konteks itu, Pemerintah dan DPR harus mempertegas ‘antargolongan’ ini tetap berdasar pada identitas masyarakat atau warga negara, yang merupakan sesuatu yang melekat dan susah diubah, bukan profesi, kelompok, atau hal lain yang mudah untuk berubah-ubah,” tutur Sustira.

Kelima, pedoman kriteria implementasi UU ITE belum mempertegas syarat Pasal 29 UU ITE tentang Pengancaman di Ruang Siber (Cyberbullying) sebagai delik aduan. Keenam, pedoman kriteria implementasi UU ITE belum mempertegas peran dari polisi dan jaksa dalam melakukan pemeriksaan kerugian materiil dari pelanggaran yang diderita korban akibat Pasal 27-34 UU ITE.

ICJR banyak menemukan Pasal 36 tentang Perbuatan Pidana yang Menyebabkan Kerugian bagi Orang Lain digunakan agar aparat penegak hukum dapat melakukan upaya paksa dan menahan pelaku perbuatan hukum dengan ancaman pidana dibawah lima tahun. Namun, polisi dan jaksa masih perlu mencari alat bukti nyata kerugian tersebut sebelum menggunakan pasal ini.

“Keberadaan pedoman ini harus menjadi isyarat pentingnya revisi UU ITE untuk segera dibahas oleh Pemerintah dan DPR. Sebab, tanpa revisi UU ITE, maka tidak ada jaminan pasti selesainya berbagai permasalahan yang tidak dapat disentuh oleh pedoman UU ITE,” ujar Sustira.

Sebelumnya, Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD mengatakan, adanya pedoman kriteria implementasi UU ITE diharapkan aparat penegak hukum tidak lagi multitafsir.

“Sambil menunggu revisi terbatas, pedoman implementatif yang ditandatangani tiga menteri dan satu pimpinan lembaga setingkat menteri bisa berjalan dan bisa memberikan perlindungan yang lebih maksimal kepada masyarakat. Ini dibuat setelah mendengar dari para pejabat terkait, dari kepolisian, Kejaksaan Agung, Kominfo, masyarakat, LSM, Kampus, korban, terlapor, pelapor, dan sebagainya, semua sudah diajak diskusi, inilah hasilnya,” ucapnya usai menyaksikan penandatanganan di Kantor Kemenko Polhukam RI, Rabu (23/6). 

img
Manda Firmansyah
Reporter
img
Fathor Rasi
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan