close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
icon caption
Nasional
Selasa, 29 Juni 2021 06:01

Dari smallpox ke SARS: Bagaimana virus-virus paling mematikan punah

Sejumlah virus paling mematikan sepanjang sejarah manusia kini tak lagi hidup di alam bebas.
swipe

Gairah hidup Janet Parker perlahan padam. Di ruang isolasi di rumah sakit itu, Parker hampir selalu sendirian. Meskipun tubuh perempuan berusia 40 tahun itu kian keropos, tak ada orang-orang tercinta yang menemani Parker. Hanya dokter dan perawat yang sesekali berkunjung. 

Selama dua pekan, Parker terbaring lemah. Kondisinya kian buruk setelah pneumonia ikut-ikutan menggerogoti tubuhnya. Sebelah matanya mulai buta. Suatu ketika, Parker bahkan jatuh dari tempat tidurnya saat hendak mencabut jarum infus. 

"Ketika kematian menghampirinya pada 11 September 1978, itu adalah sebuah berkah," tulis Andy Richards dalam "The Lonely Death of Janet Parker: The Terrifying Story of the Last Person Killed by Smallpox" yang tayang Birminghamlive.co.uk pada 2018. 

Parker mengidap cacar atau smallpox, penyakit yang disebabkan virus variola. Sehari-hari, Parker bekerja sebagai fotografer medis di Birmingham University. Ia diduga "bertemu" dengan variola di kampus itu.  Di bawah ruang kerja Parker, ada laboratorium yang menyimpan galur virus mematikan itu. 

Kasus Parker bikin Birmingham panik. Khawatir bakal pecah wabah, setidaknya 260 orang yang pernah berkontak langsung dengan Parker diisolasi, termasuk petugas ambulans yang membawa Parker ke Rumah Sakit Catherine-de-Barnes. Sebanyak 500 orang lainnya yang potensial terpapar dikarantina dan disuntik vaksin. 

"Dalam sebuah pemandangan yang tak lazim, ratusan orang terlihat mengantre selama berjam-jam untuk menerima suntikan vaksin darurat di pusat-pusat layanan kesehatan yang ada di seluruh kota," tulis Richards. 

Kepanikan itu mereda setelah Birmingham diumumkan bebas dari cacar pada 16 Oktober 1978. Dua tahun berselang, tepatnya pada 8 Mei 1980, Badan Kesehatan Dunia (World Health Organization/WHO) mengumumkan cacar sudah punah. 

Sejarah lantas mencatat Parker sebagai orang terakhir yang dihabisi cacar. Sebelum Parker, cacar telah membunuh lebih dari 300 juta orang selama berabad-abad. Penyakit ganas itu biasanya membunuh 3 dari 10 orang yang terjangkit. 

Asal mula cacar tak diketahui pasti. Sejumlah dokumen sejarah mengindikasikan cacar telah menyebar di China sejak abad ke-4. Penemuan mumi Mesir yang punya bintil-bintil seperti yang disebabkan cacar mengindikasikan penyakit itu sudah ada sejak tiga ribu tahun lalu. 

Bermula diidap ternak, penyakit ini loncat ke tubuh manusia. Seperti virus flu pada umumnya, variola ditransmisikan melalui udara atau droplet yang keluar dari bersin, batuk, dan saat berbicara. Selain demam, pusing, lemas, dan nyeri tenggorokan, cacar biasanya menyebabkan ruam merah di sekujur tubuh. 

Cacar tak pandang bulu. Korbannya mulai dari kaisar Jepang, ratu dan raja di Eropa, hingga rakyat jelata di berbagai belahan dunia. Jika merebak, wabah cacar--sebagaimana yang terjadi pada suku Aztec di Amerika Latin pada awal 1500-an--bahkan bisa membunuh sepertiga populasi di suatu area. 

Variola bisa berkembang biak dengan relatif tenang karena tidak ada obat mujarab yang bisa mencegah atau menyembuhkannya. Baru pada 1796, vaksin cacar perdana ditemukan oleh Edward Jenner, seorang dokter asal Inggris. 

Jenner menemukan vaksin cacar dari hasil pengamatannya terhadap Sarah Nelms, seorang dara yang sehari-hari bekerja memerah susu sapi. Pada Mei 1976, Nelms terjangkit cowpox, penyakit yang menginfeksi kulit karena virus cowpox. Pada pohon keluarga Orthopoxvirus, virus itu "kerabat dekat" variola. 

Dalam "Edward Jenner and the history of smallpox and vaccination", Stefan Riedel menulis Jenner kemudian menyuntikkan "materi" dari luka cowpox pada lengan Nelms kepada seorang bocah berusia 8 tahun bernama James Phipps pada 14 Mei 1796. Suntikan itu menyebabkan si bocah demam dan nyeri otot. 

"Sembilan hari setelah prosedur itu, dia (Phipps) meriang dan kehilangan nafsu makan, tetapi sehari setelahnya sang bocah membaik. Pada Juli 1796, Jenner kembali menyuntik sang bocah. Kali itu, dengan materi dari smallpox yang masih segar. Tak ada penyakit terdeteksi dan Jenner menyimpulkan eksperimennya berhasil," tulis Riedel. 

Vaksin tradisional yang dikembangkan Jenner terbilang sukses. Para dokter di berbagai belahan Eropa kemudian mereplikasi teknik inokulasi yang ditemukan Jenner. Setelah imunisasi mulai rutin, jumlah korban virus variola pun berangsur-angsur menurun.

Meskipun vaksin telah tersedia, butuh lebih dari satu abad untuk membasmi cacar. Amerika Utara menjadi kawasan pertama yang bebas dari cacar pada 1952. Setahun berselang, Eropa mendeklarasikan telah bersih dari penyakit mematikan itu. 

Pada 1959, WHO kemudian menyusun rencana untuk mengenyahkan cacar dari muka bumi. Sayangnya, upaya itu terkendala kekurangan dana, personel, dan stok vaksin. Komitmen negara-negara anggota WHO terhadap rencana itu pun tergolong rendah.

Pada 1967, WHO lebih gencar mengampanyekan pemberantasan cacar. Disokong pendanaan dan vaksin yang lebih mumpuni, usaha itu sukses. Empat tahun berselang, cacar enyah dari Amerika Selatan, diikuti Asia pada 1975, dan Africa pada 1977. Variola kini hanya hidup di dua laboratorum khusus di bawah pengawasan WHO. 

Seorang bocah di Burkina Faso, Afrika Barat, terinfeksi virus cacar difoto pada 1969. /Foto Wikimedia Commons

Rinderpest dan bencana kelaparan 

Selain cacar, rinderpest jadi satu-satunya virus "kuno" yang punah karena program vaksinasi global. Berarti wabah ternak (cattle plague) dalam bahasa Jerman, rinderpest umumnya hanya menyerang kerbau, sapi, domba, dan hewan-hewan ternak bertanduk lainnya. 

Ternak yang terpapar virus itu biasanya mengalami demam, depresi, luka-luka pada bagian mulut, kehilangan nafsu makan, dan peradangan pada selaput lendir. Jika pecah, epidemi rinderpest bisa menyebabkan kematian 90-100% hewan ternak. 

Diperkirakan mulai berkembang pada era Mesir kuno, rinderpest menyebar ke Eropa melalui perdagangan ternak sejak ribuan tahun lalu. Perpindahan ternak jarahan perang juga menjadi penyebab menyebarnya rinderpest. 

Selama berabad-abad, epidemi rinderpest pecah berulang kali di Benua Biru. Pada abad ke-18, epidemi rinderpest diperkirakan telah menyebabkan kematian 200 juta ekor sapi di Eropa. Di Prancis, bencana kelaparan akibat wabah itu bahkan menjadi pemicu kerusuhan sosial yang berujung pada revolusi.

Di penghujung abad ke-19, rinderpest tiba di Afrika. Di Benua Hitam itu, rinderpest kali pertama terdeteksi pada sapi-sapi yang diimpor dari India oleh pasukan Italia yang tengah berperang di Ethiopia (ketika itu bernama Abyssinia). Rinderpest ditengarai sengaja disebar sebagai bagian dari taktik perang.

Kehancuran akibat wabah itu direkam oleh Richard Pankhurst dalam "The Great Ethiopian Famine of 1888-1892: a new assessment" yang terbit pada 1966. Menurut Pankhurst, rinderpest menyebabkan kematian hampir semua ternak di Ethiopia.  

"Tanpa ternak untuk membajak dan kotorannya untuk pupuk, tanah pertanian Ethiopia yang subur jadi kuburan. Penanaman dan panen berhenti total. Kematian fauna dan hancurnya ekosistem membuat tikus-tikus liar, gerombolan belalang, dan ulat bebas menyerang tanaman," tulis Pankhurst. 

Warga setempat, kata Pankhurst, bertahan hidup dengan beragam cara mengerikan. Pada mulanya, mereka merebus  dan memakan kulit ternak-ternak mereka yang mati. Setelah itu, mereka meninggalkan kampung-kampung untuk mencari makanan apa pun yang bisa ditemukan. Tak hanya daun-daunan dan akar-akaran, mereka juga melahap bangkai kuda, anjing, hyena, dan serigala.

"Beberapa orang menjadi kanibal. Orang tua menjual anak-anak mereka menjadi budak dengan harapan anak-anak itu diberi makan oleh tuan-tuan baru mereka. Yang lain membunuh untuk bertahan hidup atau bunuh diri. Orang-orang kelaparan tersungkur dan mati di hutan-hutan, di pinggir jalan, dan sekitar gereja," jelas Pankhurst. 

Saat epidemi berakhir, diperkirakan dua per tiga dari total jumlah penduduk Ethiopia mati. 

Ternak-ternak mati akibat wabah rinderpest di Afrika Selatan pada 1896. /Foto Wikimedia Commons

Sejak awal abad ke-18, orang-orang intelek Eropa sebenarnya telah berupaya mengembangkan vaksin untuk melawan rinderpest. Namun demikian, baru pada pertengahan 1950-an, vaksin ampuh ditemukan oleh Walter Plowright dan koleganya. 

Menurut Sophie Ochmann dan Hannah Behrens dalam "How Rinderpest Was Eradicated" yang terbit di ourworldindata.org, Plowright mengembangkan vaksin itu dari virus rinderpest jinak yang dilemahkan. Metode serupa kini digunakan para ilmuwan medis untuk mengembangkan vaksin di era modern. 

"Vaksin yang dikembangkan Plowright melahirkan imunitas seumur hidup, tanpa risiko efek samping yang berat, tidak menyebabkan transmisi virus, dan bisa diproduksi dengan biaya yang rendah," tulis Ochmann dan Behrens. 

Berbasis vaksin yang dikembangkan Plowright, Food and Agricultural Organization (FAO) meluncurkan Global Rinderpest Eradication Programme (GREP) pada 1994. Targetnya pemusnahan rinderpest pada 2010. Pada Mei 2011, World Organization for Animal Health mendeklarasikan rinderpest punah. 

Ilustrasi pasien pengidap SARS-1 pada 2003. /Foto dok. Kedutaan Besar China

Menghilang, tapi tak punah 

Penyakit menular termutakhir yang dinyatakan menghilang dari peredaran adalah Severe Acute Respiratory Syndrom (SARS-1). SARS-1 pertama kali diketahui keberadaannya setelah kantor WHO di Beijing menerima sebuah surat elektronik bertanggal 10 Februari 2003 yang memaparkan penyakit menular aneh yang bisa membunuh 100 orang dalam sepekan. 

Kasus pertama terdeteksi di Guangdong, sebuah provinsi pelabuhan di tenggara China, beberapa bulan sebelum surel itu diterima WHO. Guangdong terkenal sebagai pusat restoran-restoran penyedia makanan eksotik, mulai dari daging rakun, kelinci, rusa, ular, hingga kelelawar. Restoran-restoran itu kerap tak higienis dengan jeroan binatang berserakan di lantai. 

Dari Guangdong, penyakit itu ditularkan oleh sejumlah super-spreader. Salah satunya Zhou Zuofen, seorang nelayan. Setelah terpapar, Zuofen mulai dirawat di Sun Yat-sen Memorial Hospital di Guangzhou pada 31 Januari 2003. Di rumah sakit itu, dia menginfeksi 30 perawat dan dokter. Dari Sun Yat-sen, SARS-1 menyebar ke rumah sakit tetangga. 

Penyebar lainnya ialah Liu Jianlun, seorang dokter spesialis di sebuah rumah sakit di Guangdong. Pada 21 Februari 2003, Liu terbang ke Hong Kong untuk menghadiri sebuah pernikahan. Bersama sang istri, ia tinggal di sebuah kamar di lantai 9 Metropole Hotel.

Meskipun sedang demam, Liu sempat pelesiran ke berbagai lokasi di Hong Kong. Baru pada keesokan harinya, Liu memeriksakan diri ke rumah sakit setempat dan meminta diisolasi. Ketika itu, Liu diperkirakan telah menginfeksi 23 orang, sebagian di antaranya warga negara asing. 

Dari China, SARS-1 kemudian menyebar berbagai negara. Total ada 29 negara yang melaporkan warganya terbukti terpapar atau kemungkinan terpapar SARS-1. Pada periode 2002-2004, dari 8.096 orang yang terinfeksi, sebanyak 774 di antaranya mati. Artinya, 1 dari 10 orang yang terinfeksi SARS-1 meninggal. 

Meski lebih ganas dari sepupunya, SARS-Cov-2, SARS-1 lenyap secara tiba-tiba. Pada Juni 2003, WHO mengumumkan epidemi SARS-1 berakhir. Sejak akhir 2004, tidak pernah tercatat ada kasus SARS-1 lagi di berbagai belahan dunia. Padahal, belum ada vaksin yang terbukti efektif untuk SARS-1. 

Seperti SARS-Cov-2, SARS-1 ialah virus RNA, yaitu virus dengan materi genetik berantai tunggal. Virus RNA bermutasi sekitar 1 juta kali lebih cepat daripada virus DNA. SARS-1 juga menyebar melalui droplet saat berbicara atau bersin sehingga sulit dihindari.  

Epidemiolog dari University of Chicago, Sarah Cobey mengatakan dunia "beruntung" pada kasus SARS-1. Menurut dia, SARS-1 punah lantaran kombinasi lacak kontak yang masif serta karakteristik virus itu sendiri.

Pada SARS-1, pasien yang terjangkit langsung memburuk kondisinya dalam dua atau tiga hari. Gejalanya mudah dikenali sehingga mempermudah isolasi dan karantina. Inkubasi virus relatif panjang dan mereka yang tak bergejala tidak bisa menularkan SARS.

"Selain itu, pemerintah dan institusi kesehatan juga bereaksi dengan cepat sekali," kata Cobey seperti dikutip dari BBC. 

Infografik Alinea.id/Oky Diaz

Pakar mikrobiologi dari University of Iowa, Stanley Perlman punya teori kenapa SARS menghilang dari peredaran. Menurut dia, SARS musnah kehabisan inang manusia untuk mereplikasi diri. Di sisi lain, SARS juga tak bisa kembali ke kawanan musang yang kali pertama menyebarkan virus itu ke manusia. 

"Karena kawanan musang itu lazimnya kebal. Hewan individual yang pertama kali menyebarkan virus itu kepada manusia mungkin satu dari segelintir yang terinfeksi dan kemungkinan terpapar langsung dari seekor kelelawar," kata Perlman. 

Karena orang-orang yang terinfeksi mati atau sembuh dan rantai penularan putus, galur virus SARS yang beredar di manusia akhirnya punah. Meski begitu, SARS masih terus mengintai populasi manusia. Pada tubuh kelelawar-kelelawar di hutan-hutan China, virus itu masih terus bermutasi dan beredar. 

Seperti MERS yang tercatat "melompat" berulang-kali dari unta ke manusia, SARS juga bisa kembali menemukan jalan ke populasi manusia dan memicu pandemi baru. Namun, jika beruntung, SARS juga bisa punah dengan sendirinya sebagaimana galur H1N1 penyebab flu Spanyol raib secara misterius di masa lalu. 

 

img
Christian D Simbolon
Reporter
img
Christian D Simbolon
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan