close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Beberapa pasal di dalam RUU KUHP menimbulkan polemik. Alinea.id/Oky Diaz.
icon caption
Beberapa pasal di dalam RUU KUHP menimbulkan polemik. Alinea.id/Oky Diaz.
Nasional
Senin, 12 Desember 2022 20:53

Soal KUHP, Wamenkumham tegaskan kritik tidak akan dipidana

Ancaman pidana dalam KUHP soal menghina lembaga negara, tepatnya dalam Pasal 349 merupakan delik aduan.
swipe

Wakil Menteri Hukum dan HAM (Wamenkumham), Edward Omar Sharif Hiariej, menekankan kritik yang disampaikan masyarakat tidak akan berujung pada pidana. Hal ini merupakan respon atas kritik Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) terhadap ketentuan dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) yang dikhawatirkan dapat menghapus hak atas kebebasan berekspresi.

"Mengenai isu kebebasan berpendapat, bahwa KUHP dengan tegas telah membedakan antara kritik dan penghinaan. Kritik jelas tidak akan dapat dipidana, karena dilakukan untuk kepentingan umum," kata Edward dalam telekonferensi pers di Kantor Kementerian Luar Negeri (Kemlu), Jakarta, pada Senin (12/12).

Edward menuturkan, berbeda dengan kritik, penghinaan jelas termasuk dalam perbuatan tercela, baik itu ditujukan kepada pemerintah maupun lembaga negara. Kendati demikian, ujar dia, ancaman pidana dalam KUHP soal menghina lembaga negara, tepatnya dalam Pasal 349 merupakan delik aduan.

Dalam ketentuan tersebut, yang dimaksud pemerintah adalah merujuk kepada lembaga kepresidenan, yakni presiden dan wakil presiden. Sementara, untuk lembaga negara adalah lembaga legislatif (MPR, DPR, DPD) dan lembaga yudikatif (MA, MK).

"KUHP mengaturnya sebagai delik aduan. Sehingga, masyarakat termasuk simpatisan dan relawan tidak dapat melaporkan. Jadi, yang bisa melapor, yang bisa mengadu hanya presiden atau wakil presiden, ataupun kepala lembaga negara," ucap dia.

Edward menyebut, penyerangan harkat dan martabat pemerintah maupun lembaga negara telah diatur dalam penjelasan pasal di KUHP soal penghinaan. Menurut dia, hal ini bukan dimaksudkan untuk membungkam demokrasi, kebebasan berekspresi, maupun kebebasan berpendapat termasuk aksi unjuk rasa.

"Kritik yang diwujudkan dalam unjuk rasa itu sangat diperlukan bagi negara demokrasi sebagai kontrol sosial. Artinya, secara tidak langsung kita mengatakan bahwa kritik dan unjuk rasa itu boleh, tidak menjadi persoalan. Jadi kita sudah memberi batasan-batasan," ucapnya.

Edward juga menyinggung soal kebebasan pers setelah KUHP disahkan. Menurut dia, kemerdekaan pers tetap terjamin, sebab penjelasan dalam pasal 218 dan 240 KUHP mengadopsi ketentuan dalam Undang-undang Nomor 40 tahun 1999 tentang Pers.

"Disitu (KUHP) dikatakan bahwa kritik merupakan bentuk pengawasan koreksi dan saran terhadap hal-hal yang berkaitan dengan kepentingan masyarakat. Sehingga, jelas tidak dapat dipidana," ujar Edward.

Eddy menekankan, meski telah disahkan, KUHP baru akan berlaku efektif 3 tahun lagi. Selama masa transisi, pemerintah akan terus melakukan sosialisasi atas substansi KUHP kepada seluruh masyarakat.

Sosialisasi juga akan dilakukan kepada aparat penegakan hukum (APH) serta mempersiapkan berbagai peraturan pelaksana KUHP. Langkah ini diharapkan dapat meminimalisir penyalahgunaan kewenangan.

Eddy juga menegaskan, KUHP seharusnya tidak mengganggu kepentingan masyarakat, pelaku usaha, wisatawan, hingga investor asing. 

"Selama penegakan hukumnya sesuai dengan tujuan dari pembaharuan hukum pidana melalui KUHP sebagai cerminan paling jujur dari peradaban hukum bangsa Indonesia."

img
Gempita Surya
Reporter
img
Ayu mumpuni
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan