Aparat kepolisian dinilai terlalu cepat berasumsi ihwal latar belakang teroris yang melakukan penusukan terhadap mantan Menteri Koordinator bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Wiranto. Hal ini lantaran Abu Rara membantah pernyataan polisi yang menyebut ia dan isterinya merupakan jaringan kelompok teroris Jamaah Ansharut Daullah (JAD).
Pengamat terorisme yang merupakan Direktur Institute for Policy Analyst of Conflict (IPAC) Sydney Jones mengatakan, polisi kerap terlalu cepat mengambil kesimpulan bahwa pendukung ISIS merupakan anggota jaringan JAD.
"Padahal banyak anggota organisasi atau sel lain," kata Sidney saat dikonfirmasi reporter Alinea.id di Jakarta, Senin (4/11).
Pengamat teroris lainnya, Zaki Mubarok, mengatakan saat ini banyak bermunculan teroris individual atau biasa disebut lone wolf terrorist, seperti pengakuan Abu Rara. Menurut Zaki, para lone wolf terrorist ini melakukan aksinya setelah mengalami radikalisasi dari media sosial, terutama melalui Youtube. Namun, kata dia, pemerintah juga kesulitan mengawasi konten-konten radikal, karena konten-konten serupa bermunculan tiap pekan.
Zaki mengatakan, tindakan para teroris untuk tidak bergabung dengan organisasi terorisme, telah membuat aparat kesulitan mendeteksinya. Apalagi, jaringan teroris sudah tidak lagi menjalin komunikasi melalui aplikasi Telegram, setelah polisi mengetahui pola komunikasi mereka.
"Proses komunikasinya kembali dengan cara tradisional, bertemu secara fisik," ujar Zaki melalui pesan singkat.
Di sisi lain, pengamat intelijen dan terorisme Harits Abu Ulya berpandangan, ada dua kemungkinan yang melatarbelakangi perbedaan keterangan Abu Rara dan polisi. Kemungkinan pertama adalah pasokan informasi intelijen atas Abu Rara belum akurat, namun polisi tergesa-gesa mengeluarkan pernyataan.
"Kemungkinan lain memang politis. Framing terorisme memang perlu diangkat, karena sebab kepentingan dan target politis tertentu," ucap Harits saat dihubungi.
Perbedaan tersebut dinilai Harits akan mempengaruhi kepercayaan masyarakat kepada aparat. Sebab dalam sejumlah kasus, polisi kerap menganulir informasi pelaku penyerangan. Tak jarang polisi menyebut pelakunya adalah teroris, namun direvisi menjadi orang dengan gangguan jiwa.
Sikap kukuh Polri
Dikonfirmasi terpisah, aparat kepolisian masih kukuh perihal latar belakang Abu Rara. Kepala Biro Penerangan Masyarakat Mabes Polri Brigjen Pol Dedi Prasetyo menjelaskan, Abu Rara dan istrinya tidak secara struktural berada dalam JAD. Namun demikian, keduanya terhubung dan berada dalam struktur dalam media sosial JAD.
"Secara virtual mereka sangat aktif, karena dia telah membaiatkan diri ke ISIS melalui kelompok JAD Bekasi secara virtual," kata Dedi saat dikonfirmasi jurnalis Alinea.id, Senin (4/11).
Menurutnya, meski hanya satu kali, Abu Rara juga pernah melakukan komunikasi langsung dengan pimpinan JAD Bekasi, Abu Zee.
"Secara organisasi struktural lapangan, hanya pernah sekali saja bersentuhan dengan kelompok JAD Bekasi pimpinan Abu Zee," ucap Dedi.
Di sisi lain, sumber kepolisian menuturkan kepada tim Alinea bahwa tidak semua anggota kelompok radikal berhasil diidentifikasi. Perbuatan anggota kelompok radikal pun tak dapat digeneralisasi.
Menurutnya, orang-orang yang terpapar radikalisme di Indonesia, telah terhubung dengan jaringan di luar negeri. Oleh karenanya kontrol terhadap jaringan lokal terbilang sulit.
"Dan ada banyak juga orang-orang yang terkooptasi melalui media sosial, yang aktivitasnya di-remote oleh orang-orang yang berada di wilayah lain, bahkan di luar negeri," ujarnya.