Komite Nasional Pemuda Indonesia (KNPI) tidak setuju dengan aksi bela Uighur yang digelar oleh Front Pembela Islam (FPI).
Sekretaris Jenderal KNPI Addin Jauharuddin mengatakan aksi solidaritas membela umat muslim Uighur itu tidak tepat. Sebab, FPI menggelar unjuk rasa dengan berlandaskan isu agama. Isu itu dinilai berpotensi memecah kerukunan umat beragama.
"Itu hak mereka. Tapi jika agama yang disuarakan, bisa membakar kemana-mana, agama-agama atau kelompok tertentu mungkin bisa tersinggung," ujarnya dalam konferensi pers di Hotel Gren Alia Cikini, Jakarta Pusat, Kamis (26/12).
Addin mengimbau kepada masyarakat, khususnya para pemuda yang berada di bawah arahan KNPI, untuk tidak mudah terprovokasi dengan isu-isu liar yang mungkin berkembang di masyarakat tentang muslim Uighur.
"Sebagai organisasi kepemudaan yang isinya lintas agama, suku dan golongan, kami mengimbau untuk memandang soal Uighur secara jernih dan rasional. Kebhinekaan dan keragaman yang selama ini sudah terjaga, harus terus dipertahankan menjadi modal keutuhan bangsa," ujarnya.
Diketahui sebelumnya, FPI akan menggelar aksi bela muslim Uighur pada Jumat (27/12) sekitar pukul 13.00 WIB di depan Kedutaan Besar China untuk Indonesia. Aksi tersebut mengungsung tagar #IndonesiaStandsWithUighur.
Dewan Pimpinan Pusat (DPP) FPI juga menginstruksikan seluruh anggotanya se-Indonesia untuk datang ke Jakarta mengikuti aksi tersebut.
Menurut Addin, KNPI setuju dengan pernyataan Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko pada 23 Desember lalu, yang mengungkapkan pemerintah Indonesia tidak akan mencampuri urusan dalam negeri negara lain, termasuk urusan dalam negeri China.
Addin menilai, masalah Uighur adalah masalah domestik dalam negeri Tiongkok. Sebaiknya, kasus itu diserahkan kepada pemerintah China untuk penyelesaiannya.
Akan tetapi, kata dia, jika ada tindakan tidak tepat atau gerakan separatisme yang dilakukan pemerintah China, KNPI meminta pemerintah agar melakukan diplomasi lunak, untuk membantu dengan berbagi pengalaman penyelesaian konflik kepada pemerintah Tiongkok.
"Kalau perlu kita menawarkan jembatan, untuk menjadi penghubung diplomasi ini, agar masalah bisa terselesaikan. Karena di Indonesia, NU (Nahdlatul Ulama) dan Muhammadiyah punya pengalaman soal itu," ujar Addin.