Direktur Utama (Dirut) PT PLN Persero, Sofyan Basir, yang sedianya diperiksa penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) hari ini, Selasa (31/7) urung datang. Sofyan awalnya akan diperiksa sebagai saksi untuk tersangka Johannes Budisutrisno Kotjo dalam kasus suap kesepakatan kontrak kerjasama pembangunan PLTU Riau-1.
"Saksi Sofyan Basir tidak datang dalam rencana pemeriksaan hari ini. Tadi staf yang bersangkutan menyerahkan surat ke KPK," terang Juru Bicara KPK Febri Diansyah, Selasa (31/7).
Menurut Febri, Sofyan tidak bisa datang memenuhi panggilan penyidik KPK, karena hari ini ia menjalankan tugas lain.
Selain Sofyan, penyidik juga memeriksa CEO Blackgold Philip C. Rickard dalam kasus yang sama. Rickard dan seorang staf admin Diah Aprilianingrum akan diperiksa sebagai saksi untuk Eni Maulani Saragih, Wakil Ketua Komisi VII DPR RI.
Kasus suap PLTU Riau berawal dari operasi tangkap tangan (OTT) yang digelar KPK pada hari Jumat (13/7). Dalam operasi tersebut, KPK menangkap Eni Saragih di rumah dinas Menteri Sosial Idrus Marham, sementara Johannes ditangkap di kantornya. KPK menyita uang senilai Rp500 juta dalam pecahan Rp100.000 dan tanda terima uang tersebut sebagai barang bukti.
Kemudian pada hari Minggu (15/7), KPK juga menggeledah rumah Sofyan Basir untuk tindak lanjut penyidikan kasus suap proyek PLTU Riau. Pada hari Senin (16/7) malam, penyidik KPK datang ke kantor PLN pusat menggeledah dan mencari barang bukti untuk menguatkan kasus dugaan korupsi Eni Saragih, usai Sofyan memberikan keterangan persnya pada wartawan.
Dalam kasus ini, Johannes Budisutrisno Kotjo tertangkap tangan menyuap Eni Maulani Saragih Rp500 juta, untuk memuluskan proses penandatanganan kontrak kerja sama pembangunan PLTU Riau 1 2x300 Mega Watt (MW). PLTU Riau 1 ini merupakan bagian dari program listrik 35.000 MW. PLN sendiri baru menyelesaikan 32.000 MW listrik dari total 35.000 MW.
Pemberian uang sejumlah Rp500 juta tersebut merupakan pemberian keempat dari Johannes kepada Eni. Uang tersebut merupakan bagian dari komitmen fee 2,5% dari nilai proyek untuk Eni dan kawan-kawannya. Total uang yang telah diberikan mencapai Rp4,8 miliar.
Pemberian pertama yang dilakukan Johannes kepada Eni pada Desember 2017 sejumlah Rp2 miliar, kemudian Maret 2018 sejumlah Rp2 miliar, dan 8 Juni 2018 sebesar Rp300 juta.
KPK menyangka Eni Maulani Saragih selaku penerima suap, melanggar Pasal 12 huruf a atau huruf b atau Pasal 11 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagimana diubah UU Nomor 20 Tahun 2001 juncto Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP juncto Pasal 64 Ayat (1) KUHP.
Sedangkan Johannes Budisutrisno Kotjo selaku pemberi suap, disangka melanggar Pasal 5 Ayat (1) huruf a atau huruf b atau Pasal 13 UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah UU Nomor 20 Tahun 2001 juncto Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP juncto Pasal 64 Ayat (1) KUHP.