Aksi solidaritas galang APD, bentuk intervensi terhadap pemerintah yang lamban
Beberapa hari belakangan, teras rumah Hendro Rahmadani di Bekasi Jaya, Jawa Barat disulap menjadi posko penggalangan bantuan untuk warga yang membutuhkan masker. Kelangkaan dan tingginya harga masker di pasaran, membuat hati Hendro tergerak.
Ia menjadi koordinator Komunitas Warga Bekasi Lawan Covid-19. Hendro bekerja sama dengan driver ojek online di Cikarang dan sejumlah tukang jahit yang menjadi relawan, untuk membuat masker. Semua biaya produksi diperoleh dengan cara patungan.
“Sejumlah penjahit dari beberapa usaha konveksi memanfaatkan sebagian kain mereka untuk diolah menjadi masker kain pengganti. Selanjutnya, masker itu dibagikan gratis ke masyarakat sekitar, terutama dari kalangan ekonomi kurang mampu,” kata Hendro saat dihubungi reporter Alinea.id, Selasa (31/3).
Hendro menghimpun para relawan itu dalam sebuah grup WhatsApp. Ia menyebut, ada 51 orang yang sudah bergabung. Hingga Selasa (31/3), sebanyak 2.354 masker kain sudah mereka bagikan ke warga.
“Tim relawan ini yang berkoordinasi dengan pihak gugus tugas dan perangkat RT/RW untuk membagikan masker bagi warga kecil, seperti buruh harian, pedagang sayur, tukang becak, atau sopir,” ujarnya.
“Karyawan swasta di toko atau PKL juga diberikan, karena mereka tetap harus bekerja di luar rumah.”
Wilayah permukiman yang terjangkau untuk dibagikan masker di Bekasi, antara lain Kaliabang, Duren Jaya, Bekasi Jaya, dan Pekayon.
Terlepas dari aksi solidaritas ini, Hendro menyesalkan langkah pemerintah yang seakan tak mempersiapkan warga untuk menghadapi masa sulit pandemi coronavirus jenis baru atau Covid-19. Lambannya kerja pemerintah diikuti tak ada kebijakan menjamin keselamatan warga.
“Cara kami ini menjadi kritik juga ke pemerintah,” tuturnya.
Penyaluran dan langkanya APD
Tak hanya warga, petugas kesehatan pun kini seperti berjuang dengan alat perlindungan diri (APD) yang minim. Mereka sangat riskan tertular karena setiap hari kontak dengan pasien-pasien yang terjangkit coronavirus.
Di Jakarta, dari data Dinas Kesehatan DKI Jakarta per Rabu (1/4), dilaporkan sebanyak 84 orang petugas kesehatan positif Covid-19. Menurut Kepala bidang Pencegahan dan Pengendalian Penyakit (P2P) Dinas Kesehatan DKI Dwi Oktavia, dari 84 orang itu, satu di antaranya meninggal dunia dan dua orang lainnya dalam kondisi hamil.
“Jumlah itu tersebar di 30 rumah sakit dan 1 klinik di Jakarta. Adapula dua orang dokter spesialis yang meninggal, berasal dari rumah sakit di luar wilayah DKI Jakarta,” ucap Dwi dalam konferensi pers di Balai Kota Jakarta, Rabu (1/4).
Dwi mengaku, saat ini Dinas Kesehatan DKI Jakarta memerlukan bantuan berupa APD, masker bedah, disinfektan, dan sarung tangan medis.
Terkait hal ini, juru bicara pemerintah untuk penanganan Covid-19 Achmad Yurianto mengatakan, pihaknya sudah mendistribusikan APD ke dinas kesehatan provinsi seluruh Indonesia. Proses pengiriman itu dilakukan sejak 23 Maret hingga 31 Maret 2020.
“DKI Jakarta sudah mendapatkan distribusi sebanyak 85.000 APD, yang kami kirimkan pada 23 dan 31 Maret kemarin,” ujar Yuri saat konferensi pers di Graha Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), Jakarta, Kamis (2/4).
Di samping DKI Jakarta, pemerintah pusat mengirim APD ke Jawa Barat sebanyak 55.000, Jawa Tengah sebanyak 20.000, Jawa Timur sebanyak 25.000, Yogyakarta sebanyak 10.000, Bali sebanyak 12.500, dan Banten sebanyak 10.000. Sementara provinsi di luar Jawa dan Bali, kata dia, sudah didistribusikan rata-rata 5.000 APD pada dua kali proses penyaluran.
Sementara itu, Ketua Pelaksana Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 Doni Monardo menekankan, mekanisme distribusi APD dijalankan dengan koordinasi aktif pejabat pemerintah daerah, termasuk gugus tugas di provinsi.
“Kami harapkan para pimpinan rumah sakit memastikan persediaan APD di layanan rumah sakitnya. Itu betul-betul harus terpenuhi bagi petugas medis yang menangani pasien Covid-19,” kata Doni ketika dihubungi, Selasa (31/3).
Sebelumnya, dalam konferensi pers di Graha BNPB, Jakarta, Rabu (25/3), Doni menyebut, total APD yang sudah disalurkan pemerintah pusat sebanyak 51.000 unit. Sebagian besar didistribusikan untuk wilayah DKI Jakarta.
Selain itu, di tahap pertama penyaluran, beberapa daerah di luar Pulau Jawa, seperti Papua, Kalimantan Utara, Kalimantan Selatan, dan Kepulauan Riau menerima sebanyak 2.000 unit.
“Kami tetap berusaha menambah cadangan APD untuk fasilitas kesehatan di provinsi dan daerah lain,” kata Doni.
Salah seorang tenaga kesehatan di Rumah Sakit Hermina, Tangerang Selatan, Monica Christy mengaku memang ada keterbatasan APD.
“Hazmat (pakaian dekontaminasi) putih di RS Hermina terbatas stoknya. Kalau masker kami masih dapat, tapi enggak bisa lebih dari dua,” katanya saat dihubungi, Selasa (31/3).
Akibat jumlah hazmat yang terbatas, Monica mengatakan, beberapa tenaga medis terpaksa menggunakan jas hujan. Dengan kondisi ini, Monica merasa waswas saat mendampingi dokter ahli yang menangani pasien terinfeksi Covid-19. Meski begitu, belakangan ia merasa terbantu dengan adanya bantuan APD dari artis Cathy Sharon dan Maia Estianty.
Dihubungi terpisah, General Manager Divisi Kesehatan Dompet Dhuafa, Yeni Purnamasari mengatakan, ketersediaan APD seharusnya bisa dipastikan memadai untuk petugas kesehatan di rumah sakit.
Ia menjelaskan, untuk mencegah penularan, APD tak bisa dipakai berulang kali. Masker bedah juga harus dibuang setelah dipakai untuk beberapa kali tindakan penanganan.
“Baju hazmat itu cuma bisa sekali pakai, setelah itu harus dibuang. Berapapun stoknya, kelangkaan akan terjadi kalau tidak ada distribusi pasokan selanjutnya,” katanya saat dihubungi, Selasa (31/3).
Ia menuturkan, hampir semua rumah sakit, stok APD terbatas. Belum lagi masker bedah untuk konsultasi dan pengobatan pasien rawat jalan, yang sangat dibutuhkan.
Warga bergerak mandiri
Situasi ini membuat sebagian masyarakat tergerak untuk menggalang bantuan. Misalnya, Muhammad Bagus Aditya di Depok, Jawa Barat, yang membuat gerakan APD Gotong-Royong. Sejak Jumat (27/3) Abe, sapaan akrabnya—yang memiliki konveksi pakaian olahraga—membuat APD mandiri berupa hazmat berbahan plastik poliprofen.
“Saya lihat APD mahal-mahal banget sekarang. Produksi satu APD itu rata-rata Rp50.000-Rp60.000, tapi di pasaran harganya menjadi Rp100.000-Rp150.000,” kata Abe saat dihubungi, Selasa (31/3).
Abe tak sendiri. Ia mengumpulkan para penjahit sebagai relawan untuk membuat APD. Menurutnya, hingga Rabu (1/4), beberapa rumah sakit sudah menghubunginya untuk permintaan pembuatan APD. Permintaan salah satunya datang dari sebuah rumah sakit di Jakarta Selatan.
“Di sana petugas medis terpaksa pakai jas hujan untuk jadi pakaian hazmat,” ucapnya.
Selain dari Jakarta, permintaan berdatangan dari kota lain, seperti Bogor, Kudus, dan Jember. Biaya produksi diperoleh dari donasi sejumlah pihak. Dari setiap produksi sebuah hazmat sebesar Rp65.000, Rp5.000 ia sisihkan untuk menyokong biaya operasioanal dan ongkos distribusi ke daerah-daerah.
“Kalau ada yang pesan pembuatan kepada kami untuk dijual lagi, itu aku tolak,” kata dia.
Ikatan Alumni Universitas Indonesia (Iluni UI) pun melakukan hal serupa seperti yang dilakukan Abe. Menurut Ketua Umum Iluni UI Andre Rahardian, mereka menargetkan penyaluran APD sebanyak 500 buah untuk fasilitas kesehatan di Jakarta dan sekitarnya.
Kata Andre, melalui koordinasi Iluni UI, sejumlah fakultas di UI pun melakukan gerakan sosial. “Misalnya, Departemen Kimia UI dan Fakultas Kedokteran UI yang mengumpulkan donasi untuk membeli APD,” ujarnya saat dihubungi, Rabu (1/4).
Di Bandung, Jawa Barat, produsen alat permainan Lightsaber berinisiatif memproduksi alat pelindung wajah. Penggeraknya adalah Aldo Ikhwanul Khalid. Ia menjadi koordinator produsen pelindung wajah bernama Lifeshield Facemask, yang dibentuk pada 23 Maret 2020.
“Dengan menyisihkan uang pribadi, saya bersama dua teman memproduksi 50 buah pelindung wajah dalam sehari,” tuturnya saat dihubungi, Selasa (30/3).
Aldo menuturkan, keselamatan para petugas kesehatan menjadi alasan utama yang menggerakkan semangatnya. Baginya, hilangnya nyawa petugas medis karena Covid-19 akan melumpuhkan sistem kesehatan di masa mendatang.
Dalam kondisi kritis seperti ini, Aldo dan kawan-kawan menghentikan sementara usaha produksi mainan miliknya, demi membuat pelindung wajah yang disalurkan gratis.
“Kami mau melakukan apa pun yang bisa membantu. Mereka, petugas medis ini adalah prajurit kita,” ucapnya.
Sebuah pelindung wajah, kata dia, bisa dipakai beberapa kali, terbuat dari plastik mika transparan, rangka alumunium penutup kepala, dan tali pengait. Aldo mengatakan, di hari ketiga gerakannya, ia membuka donasi untuk menyokong biaya produksi.
Permintaan pelindung wajah buatan mereka berasal dari berbagai rumah sakit. Kini, rata-rata, tutur Aldo, jumlah permintaan mencapai 100 buah setiap hari.
“Kami putuskan untuk mencari teman-teman relawan dari bengkel lain. Kami coba desain baru yang lebih sederhana, tapi tahan banting,” ucap Aldo.
Semangat Aldo menular ke kota-kota lainnya. Produksi pelindung wajah lantas dibantu sejumlah relawan yang ada di Denpasar, Depok, Bekasi, Jakarta, dan Bogor. Di kota-kota itu, dilakukan sebagian proses perakitan.
“Materi dasarnya dikirim dari markas Lifeshield Facemask di Bandung,” ujarnya.
Kultur masyarakat dan intervensi terhadap pemerintah
Sosiolog dari Universitas Gadjah Mada (UGM) Derajad Sulistyo Widhyharto memandang, kondisi langkanya APD dan alat kesehatan menjadi akar bertumbuhnya aksi solidaritas di masyarakat. Ia memandang, hal itu tak bisa dilepaskan dari karakter sosial dan kultural masyarakat untuk tolong-menolong.
“Altruisme (paham yang mengutamakan kepentingan orang lain) masyarakat ini muncul disebabkan kelangkaan logistik APD, masker, dan sebagainya,” ujar Derajad saat dihubungi, Rabu (1/4).
Derajad mengatakan, sesungguhnya karakter altruisme itu dapat menjadi modal yang bisa diberdayakan pemerintah. Sayangnya, ia menilai, pemerintah tidak siap menangani pandemi Covid-19 yang sudah meluas di Indonesia. Ia berharap, pemerintah memperkuat koordinasi dan sistem krisis secara nasional.
“Pemerintah mestinya bikin road map dalam situasi pandemi. Di level pusat, BNPB semestinya lebih responsif, di level daerah BPBD (Badan Penanggulangan Bencana Daerah) juga harus lebih sigap,” ujarnya.
Derajad berpendapat, penyediaan APD oleh pemerintah pusat masih sebatas formalitas, yang belum menjangkau kebutuhan konkret di setiap layanan kesehatan. Adanya potensi permainan bisnis oleh pengusaha alat kesehatan, menurutnya, juga harus disanksi tegas oleh pemerintah.
Dihubungi terpisah, sosiolog dari Universitas Indonesia (UI) Imam B. Prasodjo mengingatkan pentingnya membangun aksi solidaritas konkret dalam lingkup permukiman.
“Saatnya kita di setiap kampung mengumpulkan uang atau sembako bagi warga yang membutuhkan. Tanpa solidaritas itu, akan jatuh korban,” ujar Imam ketika dihubungi, Rabu (1/4).
“Saatnya tidak main-main, mari disiplin diri dan saling mengingatkan. Ini bagian dari tanggung jawab sosial kita bersama.”
Lebih lanjut, Imam mengatakan, masyarakat juga perlu berperan mendukung keselamatan para petugas kesehatan dalam menjalankan tugas mereka. Menurut dia, aksi warga bisa mempercepat upaya pemenuhan penyaluran APD dan alat kesehatan.
Dalam satu rumah sakit, kata dia, banyak karyawan dan pekerja kesehatan yang membutuhkan APD untuk mencegah penularan virus mematikan asal Wuhan, China itu.
“Intervensi masyarakat inilah yang akan menjadi suntikan semangat dan moral bagi pekerja medis sebagai garda terdepan,” kata Imam.