Solidaritas Perempuan berpendapat, peringatan Hari Bumi 2020 menjadi salah satu peristiwa terkelam. Pangkalnya, perusakan lingkungan kian beringas di tengah krisis kesehatan imbas coronavirus baru (Covid-19).
Hal itu, ungkap Ketua Badan Eksekutif Nasional Solidaritas Perempuan, Dinda Nuur Annisaa Yura, tecermin dari berbagai peristiwa yang terjadi. Misalnya, pembangunan Makassar New Port dan PLTA Bukaka di Poso tetap berlanjut tanpa mempertimbangkan penolakan masyarakat terdampak
"Ini menandakan, bahwa para investor justru memanfaatkan situasi Covid-19 untuk dapat memuluskan aktivitas industrinya," ucapnya melalui keterangan tertulis, Rabu (22/4). Hari Bumi diperingati setiap 22 April.
Negara pun demikian. DPR, selaku penyelenggara negara, melanjutkan pembahasan Rancangan Undang-Undang tentang Cipta Kerja (RUU Cipker) dan RUU tentang Pertambangan Minerba dan Batubara (Minerba) saat pembatasan sosial berskala besar (PSBB)–upaya menekan penyebaran Covid-19–diterapkan di Jakarta.
Kedua beleid itu disebut bermasalah sejak awal. Pun berorientasi kemudahan investasi di Indonesia dengan mengorbankan standar hak dan perlindungan masyarakat serta kelestarian lingkungan. Karenanya, ditolak sejumlah elemen.
Sayangnya, publik sekarang tidak bisa memprotesnya secara langsung dengan menggelar aksi, seperti di depan Gedung Parlemen. Pangkalnya, masyarakat dilarang berkerumun saat PSBB.
Tak sekadar itu. Dampak krisis iklim juga sudah terjadi dalam beberapa tahun terakhir. Tecermin dari cuaca ekstrem dan bencana alam yang datang bertubi-tubi. Membuat masyarakat, terutama perempuan, kian mengalami beban berlapis.
"Tidak hanya berdampak pada krisis iklim dan penghancuran bumi, proyek-proyek industri ekstraktif juga disertai konflik agraria dan pelanggaran hak asasi manusia (HAM) serta hak asasi perempuan," jelasnya.
Padahal, terang Dinda, perempuan dan komunitasnya menolak berbagai proyek itu untuk menjaga kelestarian bumi demi keberlanjutan. "Penghancuran bumi, adalah penghancuran hidup dan sumber kehidupan perempuan," tegasnya.
Imbas kehadiran proyek-proyek pencemar lingkungan tersebut, menurut dia, para perempuan sekarang kehilangan lahannya pertanian selaku sumber penghidupan, kesulitan mengolah dan menjual hasil laut, serta tak lagi dapat mengakses hutan.
Beban berlipat di tengah pandemi Covid-19. Karena dianggap sebagai "perawat keluarga", sehingga harus kerap keluar rumah untuk belanja makanan serta "panjang akal" mengelola keuangan agar kebutuhan rumah tanggan terpenuhi.
Karenanya, Solidaritas Perempuan mendesak DPR dan pemerintah menghentikan pembahasan RUU Cipker dan RUU Minerba. Kemudian, tak menambah beban masyarakat di tengah pandemi, seperti mengentikan penggusuran dan kriminalisasi warga demi tujuan investasi.
"Negara juga harus fokus pada penangan Covid-19 dengan memprioritaskan urgensi pemenuhan hak-hak dan perlindungan masyarakat, baik terkait kesehatan, pemulihan ekonomi warga, maupun mencegah dampak kerusakan kolateral," tutup Dinda.