close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Defisit Badan Penyeenggaraan Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan pada 2018 mencapai Rp10,98 triliun. /Antara Foto.
icon caption
Defisit Badan Penyeenggaraan Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan pada 2018 mencapai Rp10,98 triliun. /Antara Foto.
Nasional
Selasa, 23 Oktober 2018 19:12

Solusi menambal defisit BPJS Kesehatan

Pemerintah sudah menggunakan dana cadangan dari APBN 2018 untuk menutup defisit Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) sebesar Rp4,9 triliun.
swipe

Pada 2014, tahun pertama beroperasi, Badan Penyelenggaraan Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan sudah merugi Rp814,4 miliar. Kemudian, pada 2015 kerugian malah menjadi Rp4,63 triliun, dan pada 2016 kerugian Rp6,6 triliun.

Sementara, berdasarkan hasil audit Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) defisit BPJS Kesehatan pada 2018 mencapai Rp10,98 triliun. Berdasarkan rencana kinerja dan anggaran tahunan (RKAT) 2018 yang disusun manajemen, defisit arus kas 2018 mencapai Rp16,5 triliun.

Untuk menambal defisit tersebut, pemerintah mengeluarkan dana talangan Rp4,9 triliun. Dana talangan ini berasal dari APBN, yang diatur melalui penerbitan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 113/PMK.02/2018 tentang Tata Cara Penyediaan, Pencairan, dan Pertanggungjawaban Dana Cadangan Program Jaminan Kesehatan Nasional.

Sebagai catatan, meski bersifat dana suntikan, tapi akan ada komitmen kerja yang harus dipenuhi BPJS Kesehatan kepada Kementerian Keuangan, di antaranya mengoptimalkan kolektibilitas iuran dari peserta BPJS Kesehatan yang kerap menunggak, bahkan tak aktif.

Terutama dari peserta informal, atau disebut pekerja bukan penerima upah (mandiri) yang 54% masih menunggak. Kementerian Keuangan juga akan mendorong pelibatan peran pemerintah daerah. Sebab, Kementerian Keuangan masih menemukan pemerintah daerah yang punya utang, terkait kewajibannya membayar terhadap fasilitas kesehatan di daerahnya.

Presiden minta pembenahan

Presiden Joko Widodo pun meminta BPJS Kesehatan untuk mengembangkan sistem manajemen yang lebih baik, agar rumah sakit memiliki kepastian pembayaran yang jelas. Jokowi mengajak seluruh pihak, dengan kemampuan yang dimiliki secara efektif dan efisien, untuk memastikan masyarakat mendapatkan akses pelayanan kesehatan secara penuh.

Presiden mengatakan, pemerintah sudah menggunakan dana cadangan dari APBN 2018 untuk menutup defisit Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) sebesar Rp4,9 triliun. Namun, dana itu dinilai belum akan cukup menambal masalah keuangan BPJS Kesehatan yang defisit.

Selanjutnya, presiden mengatakan, defisit JKN tak terjadi seketika, tapi merupakan imbas dari beberapa waktu sebelumnya. Oleh karena itu, presiden berharap BPJS Kesehatan segera melakukan pembenahan pengelolaan, sehingga defisit keuangan program JKN tak kembali terulang.

Warga mendaftar menjadi peserta Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan di Kantor Cabang BPJS Kesehatan Jakarta Selatan, Jumat (21/9). (Antara Foto).

"Seharusnya permasalahan ini bisa diselesaikan Direktur Utama BPJS Kesehatan dan Menteri Kesehatan. Masa urusan rumah sakit sampai ke presiden," kata Presiden Joko Widodo, seperti dilansir dari Antara.

Di sisi lain, Direktur Utama BPJS Kesehatan Fahmi Idris mengatakan, defisit yang dialami pihaknya bukan tiba-tiba terjadi, melainkan direncanakan. Menurut Fahmi, setiap tahun pihaknya menyiapkan rencana kerja, pendapatan, dan pengeluaran.

"Pada 2018, memang direncanakan defisit Rp12,1 triliun ditambah utang 2017 Rp4,4 triliun," kata Fahmi dalam rapat dengar pendapat di Komisi IX DPR di Jakarta, beberapa waktu lalu.

Lebih lanjut, Fahmi menuturkan, penyebab defisit adalah iuran yang masuk dari peserta dengan biaya yang harus dikeluarkan untuk membiayai layanan kesehatan lebih sedikit. Selain itu, jumlah penduduk yang menderita penyakit tak menular dan katastropik juga meningkat.

Meski demikian, defisit anggaran BPJS Kesehatan sesungguhnya tak bisa hanya dilihat dari satu sisi. Walau jajaran direksi BPJS Kesehatan punya peranan besar dalam kinerja yang buruk, tapi implementasi ini melibatkan banyak pihak.

Tiga masalah keuangan

Menurut Kepala Bidang Advokasi BPJS Watch Timboel Siregar, keputusan presiden menegur direksi dan jajaran manajemen BPJS Kesehatan sudah tepat. Timboel mengatakan, sebelumnya tak ada teguran, apalagi sanksi bagi mereka, meski BPJS Kesehatan mengalami defisit sejak 2014.

“Dengan adanya terguran, seharusnya bisa dibenahi segera manajemen BPJS Kesehatan,” kata Timboel saat dihubungi, Selasa (23/10).

Meski begitu, Timboel menambahkan, permasalahan BPJS Kesehatan tak bisa hanya dilempar kepada direksi perusahaan. Sebab, praktik BPJS Kesehatan terkait dengan banyak pihak, seperti Kementerian Kesehatan, rumah sakit, pemerintah daerah, Kementerian Ketenagakerjaan, dan sebagainya.

Timboel menyebut, kebijakan untuk menutupi defisit BPJS memakai cukai rokok tidak tepat. Sebab, hal itu hanya bersifat sementara dan tak bisa menjadi solusi jangka panjang.

BPJS Watch mencatat, setidaknya ada tiga masalah besar terkait keuangan BPJS Kesehatan, yakni iuran yang belum naik sejak 2016, banyaknya pemerintah daerah yang menunggak iuran, dan rumah sakit yang terbukti fraud (curang).

“Semuanya berkontribusi pada kinerja BPJS Kesehatan, termasuk defisit anggarannya. Seharusnya, Presiden Jokowi menegur seluruhnya,” kata dia.

Pemerintah melalui Kementerian Keuangan akan mengeluarkan dana cadangan APBN untuk menutupi defisit yang dialami BPJS Kesehatan sebesar Rp4,9 triliun. (Antara Foto).

Lebih lanjut, Timboel mengatakan, pangkal utama defisit BPJS Kesehatan tahun ini merupakan buntut dari keterlambatan para pemangku kepentingan merespons masalah-masalah tersebut.

Pemerintah, menurut Timboel, terlambat menaikkan iuran BPJS Kesehatan. Saat ini, besaran iuran yang digunakan masih sebesar Rp23.000 per orang.

Padahal, dalam Peraturan Presiden Nomor 19 dan 28 tahun 2016 tentang perubahan kedua atas Peraturan Presiden Nomor 12 tahun 2013 tentang Jaminan Kesehatan, disebutkan maksimal dalam kurun dua tahun iuran program jaminan kesehatan dievaluasi.

Penyesuaian iuran bagi penerima bantuan iuran (PBI) yang tertuang dalam Perpres tersebut sudah melalui perhitungan aktuaris, termasuk rekomendasi dari Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN).

Aktuaris merupakan ahli matematika dalam perusahaan asuransi yang menghitung-hitung risiko, premi, cadangan, dan dividen. Pertimbangan untuk opsi penyesuaian iuran adalah opsi secara umum untuk keberlanjutan program.

Idealnya, penyesuaian iuran harus menyesuaikan dengan hitungan aktuaria—pegawai asuransi yang bertugas melaksanakan perhitungan keuangan perusahaan. Dalam hal ini, minimal Rp36.000 untuk peserta kelas III, sesuai hitungan terakhir (angka tahun 2016) oleh para ahli dan rekomendasi DJSN.

Minimal perhitungan jumlah iuran sebesar Rp36.000 untuk kelas III, merupakan dasar minimal (bottom line) penyesuaian iuran yang ideal. Namun, hal ini tak menjadi opsi pemerintah.

“Persoalan iuran ini juga harusnya bisa mengatasi masalah dan mengendalikan defisit BPJS Kesehatan,” ujar Timboel.

Perkara rumah sakit yang curang, ungkap Timboel, berupa mark up pelayanan kesehatan atau klaim rangkap. Menurut Timboel, ke depan pemerintah perlu mengambil keputusan untuk menaikkan iuran BPJS Kesehatan.

Selain itu, jumlah peserta BPJS Kesehatan juga perlu ditingkatkan untuk menggenjot pendapatan. Saat ini, jangkauan BPJS Kesehatan baru mencapai 203 juta jiwa.

Indonesia menargetkan, mencapai universal health coverage/UHC (cakupan kesehatan universal) sebesar 250 juta pada 2019. Penambahan jumlah peserta BPJS Kesehatan bukan hanya bertujuan memberikan pelayanan kesehatan bagi masyarakat.

“Secara perhitungan ekonomi, bisa menambah jumlah iuran yang masuk,” kata dia.

img
Laila Ramdhini
Reporter
img
Fandy Hutari
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan