Sopir taksi bunuh diri tercekik cicilan, DPR bongkar 'dosa' OJK
Komisi XI DPR mendesak Otoritas Jasa Keuangan (OJK) untuk mengevaluasi implementasi kebijakan pemerintah ihwal relaksasi keringanan kredit. Desakan itu muncul menyusul adanya kasus bunuh diri sopir taksi daring diduga akibat tidak sanggup membayar kredit kendaraan bermotor (KKB).
Anggota Komisi Xi Vera Febyanti menduga kasus bunuh diri sopir taksi daring disebabkan lantaran minimnya sosialisasi akan kebijakan OJK tentang relaksasi keringan kredit dalam rangka penangan Covid-19.
"Sebetulnya ini karena sosialisasinya. Padahal, Perppunya sudah ada, relaksasi yang diberikan OJK sudah keluar, namun OJK agak sedikit terlambat sosialisasi hingga ke lapisan akar rumput atau masyarakat paling bawah. Sehingga pada saat itu timbul kekhawatiran di kalangan masyarakat," kata Vera saat dihubungi Alinea.id, Rabu (8/4).
Menurut Vera, kebijakan yang dikeluarkan pemerintah dan OJk mengenai hal ini belum sampai kepada masyarakat secara menyeluruh. Imbasnya, banyak masyarakat yang tidak mengetahui informasi tersebut.
Kesalahan berikutnya, kata dia, adalah ketika kebijakan keringanan kredit dilakukan secara mandiri. Artinya keringanan harus diajukan oleh masyarakat dan jika tidak kendaraan masih bisa ditarik oleh debt collector.
"Dan juga kan memang kredit kendaraan bermotor ini OJK malah meng-incorrect, meminta deadline kepada seluruh pengemudi daring untuk mendata sopir-sopir daring yang memiliki tanggungan KKB. Nah, ada juga yang sampai sekarang masih rancu, karena mereka itu sewa pinjam," kata politikus Partai Demokrat itu.
Atas dasar itu, Vera menegaskan Komisi XI telah mendorong OJK untuk menggunakan skema jemput bola. OJK harus aktif mendata kepada setiap perusahaan yang melakukan kredit atau pun leasing agar kebijakan ini bisa berjalan dengan efektif.
Selain itu, Vera mengatakan, sebaiknya OJK lebih tegas dalam memberlakukan sanksi pada perusahaan yang masih mengirimkan debt collector untuk debitur. Jangan sampai para debt collector tersebut melakukan penekanan atau aktivitas menagih hutang.
"Mereka (debt collector) wajib menghentikan aksi penagihan. Ini kan ada penangguhan selama 12 bulan dari pemerintah dalam rangka penanganan Covid-19," tuturnya.
Lebih jauh, Komisi XI, kata Vera, segera mengagendakan pertemuan dengan perbankan dan multifinance guna membahas masalah ini. Kasus bunuh diri sopir daring, lanjut dia, harus mendapat perhatian untuk dijadikan pelajaran agar tidak terulang kembali.
Vera juga mengingatkan kepada perusahaan ojek daring agar senantiasa membantu pemerintah dalam mensosialisasikan kebijakan relaksasi keringan kredit kepada setiap armadanya.
Perlu edukasi
Hal senada diungkapkan oleh Anggota Komisi XI lainnya, Puteri Anetta Komarudin. Ia meminta OJK lebih gencar melakukan edukasi terkait kebijakan keringanan kredit yang diberikan dan menyiapkan langkah lanjutan yang terukur, dengan berbagai kemungkinan yang akan terjadi.
Keringanan atau relaksasi kredit perbankan ini, lanjut dia, merupakan salah satu kebijakan countercyclical dampak penyebaran Covid-19 yang ditetapkan melalui POJK No. 11 tahun 2020.
Kebijakan ini ditujukan kepada UMKM dan para pekerja informal dengan nilai kredit di bawah Rp10 miliar yang terdampak secara langsung dan tidak langsung oleh penyebaran wabah Covid-19.
Terkait kebijakan ini, Puteri menerangkan, masih banyak informasi yang simpang siur di lapangan.
“Pertama, tentunya apresiasi atas stimulus berupa keringanan kredit yang diberikan OJK kepada UMKM dan para
pekerja informal. Namun, kita semua perlu teliti apakah kebijakan ini tepat sasaran. Berdasarkan aspirasi dari daerah pemilihan saya, banyak masyarakat yang masih berpikir bahwa keringanan ini berlaku untuk semua debitur," jelas dia
Menurut Puteri, apabila masyarakat kurang tepat dalam menafsirkan aturan ini, risikonya akan mengganggu kinerja keuangan bagi industri perbankan.
Oleh sebab itu, ia mendorong OJK untuk meningkatkan edukasi terkait kebijakan kredit tersebut kepada masyarakat.
Wakil Sekretaris Jenderal DPP Partai Golkar ini juga menyoroti pemberlakuan keringanan kredit ini bagi industri fintech. Ia berharap ke depannya OJK juga akan mengatur relaksasi bagi industri fintech, utamanya nasabah dari fintech lending berizin yang juga terdampak secara ekonomi dari wabah Covid-19.
Sedangkan dari sisi perbankan, Puteri menjelaskan ada konsekuensi yang perlu diwaspadai oleh OJK dari pemberlakuan kebijakan tersebut.
Dikatakan Puteri, kebijakan ini juga berpotensi akan memberatkan kondisi likuiditas bank, khususnya bank beraset kecil dan Bank Perkreditan Rakyat (BPR).
"Apabila kondisi ini disertai dengan kecenderungan penarikan dana oleh nasabah, maka dapat menekan likuiditas bank tersebut. Sejauh ini, bagaimana dampak penerapan relaksasi ini terhadap kinerja keuangan bank-bank tersebut? Rasanya dampak dan mitigasi dampak juga penting untuk menjadi perhatian,” urai Puteri.
Ke depan, Puteri berharap OJK siap dengan berbagai skenario yang mungkin saja terjadi di tengah wabah pandemi Covid-19 yang penuh ketidakpastian ini.
“Saya sangat berharap OJK sudah mempersiapkan skenario-skenario yang mungkin terjadi sebagai dampak dari
penerapan kebijakan-kebijakan emergency Covid-19 ini. Dengan begitu, langkah atau kebijakan lanjutan sudah dapat langsung siap diimplementasikan, jika sewaktu-waktu diperlukan,” tutupnya.