Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengungkapkan modus penghindaran pajak bagi wajib pajak badan dengan alasan kerugian. Jumlah perusahaan yang terlibat terus mengalami peningkatan dalam kurun lima tahun terakhir.
Modus tersebut tercium melalui eksistensi bisnis yang terus dilakukan oleh wajib pajak badan tersebut. Meskipun mengaku rugi, wajib pajak badan tersebut dapat terus mengembangkan usahanya di Indonesia.
"Kita melihat mereka tetap beroperasi dan bahkan mereka mengembangkan usahanya di Indonesia. Ini disebabkan berbagai praktik yang terjadi secara internasional, juga terjadi di Indonesia," kata Sri Mulyani saat rapat kerja dengan Komisi XI DPR, Senin (28/6).
Dia menjelaskan, dari 2012 hingga 2016, total wajib pajak yang melaporkan kerugian mencapai 5.199 wajib pajak. Sementara pada 2015 hingga 2019 angkanya meningkat menjadi 9.496 wajib pajak.
Peningkatan laporan kerugian wajib pajak badan tersebut berkontribusi pula terhadap tergerusnya penerimaan negara dari pajak. Praktik ini pun acapkali terjadi di dunia internasional.
Pasalnya, berdasarkan catatan Organizatian for Economic Co-operation and Development (OECD), perdagangan dunia merupakan transaksi afiliasi oleh perusahaan multinasional. Porsinya mencapai 60% hingga 80% total perdagangan.
Di Indonesia sendiri, transaksi perdagangan yang terafiliasi dengan SPT wajib pajak dari perusahaan multinasional tercatat sebanyak 37% hingga 42% dari PDB. Dari sini praktik penghindaran pajak dimungkinkan.
Bahkan, praktik penghindaran pajak ini tercatat berpotensi merugikan global berkisar US$100 miliar hingga US$240 miliar atau setara dengan 4% hingga 10% dari penerimaan PPh Badan global.
"Penerimaan PPh badan global ini terjadi (penghindaran pajak), oleh karena itu perlu instrumen untuk menangkal penghindaran pajak secara global yaitu dalam bentuk tadi minimum tax dan general antiavoidance rule (GAAR)," ucapnya.