Dekan Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullh Jakarta, A. Tholabi Kharlie mengatakan, aturan yang memperbolehkan status nikah siri di kartu keluarga (KK), dapat menyuburkan praktik nikah sirih di Tanah Air. Meski demikian, Tholabi berpendapat, aturan tersebut sebagai bentuk perlindungan warga negara, khususnya bagi anak yang lahir dari pasangan nikah siri.
Pernikahan siri dapat ditulis di kartu keluarga (KK) menimbulkan polemik di tengah masyarakat. Ini dipicu dari keberadaan Peraturan Menteri Dalam Negeri No 9 Tahun 2016 tentang Percepatan Peningkatan Cakupan Kepemilkan Akta Kelahiran.
"Hanya saja, semangat untuk memberikan perlindungan dan pengakuan terhadap hak warga negara ini justru berpotensi menabrak norma dan keberadaan lembaga lainnya. Di sini letak krusialnya," kata Tholabi dalam keterangannya, Senin (11/10).
Tholabi menerangkan, penulisan status perkawinan dengan sebutan "nikah belum tercatat" atau "kawin belum tercatat" di KK memberi dampak yang tidak sederhana.
"Meski Dukcapil menggarisbawahi bahwa penyebutan tersebut bukan dalam rangka melegitimasi pernikahan siri, namun dampaknya cukup besar," ingat Tholabi.
Tholabi menuturkan, potensi yang muncul dari aturan tersebut, secara logis akan menyuburkan praktik nikah siri di tengah-tengah masyarakat. Padahal, sambung Tholabi, prinsip dasar perkawinan adalah asas pencatatan sebagaimana tertuang dalam Pasal 2 ayat (2) UU No 1 Tahun 1974 yakni tiap-tiap perkawinan dicatat menurut undang-undang.
"Di poin ini, penulisan "kawin belum tercatat" dalam kartu keluarga pelaku nikah siri menjadi kontraproduktif," ujar Tholabi.
Hal lainnya, Tholabi berpendapat, ketentuan yang dirilis Kementerian Dalam Negeri justru merepotkan bagi mereka pelaku nikah siri saat melakukan pencatatan perkawinan melalui Kantor Urusan Agama (KUA).
"Karena dalam adminsitrasi yang dikenal adalah kawin, tidak kawin, cerai hidup dan cerai mati. Tidak ada nomenklatur nikah belum tercatat. Ini akan merepotkan pelaku nikah siri dan juga petugas KUA," kata Tholabi.
Belum lagi aspek perlindungan terhadap perempuan. Menurutnya, keberadaan nomenkaltur "nikah belum tercatat" justru akan berdampak ketidakpastian hukum terhadap perempuan.
"Misalnya, saat suami melakukan tindakan kekerasan terhadap istri, potensial tidak bisa dijerat UU No 24 Tahun 2004 tentang Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) namun hanya bisa dijerat tindak pidana umum," ungkap Tholabi.
Untuk menghindari polemik persoalan "nikah belum tercatat", Tholabi meminta agar pemerintah melakukan koordinasi antar kementerian/lembaga agar substansi yang dikehendaki dari keberadaan Permendagri No 9 Tahun 2016 dapat diwadahi dengan cara yang tepat.
"Spirit baik yang terdapat dalam Permendagri No 9 Tahun 2016 ini mestinya dapat diharmonikan dengan berbagai peraturan perundang-undangan lainnya, termasuk dengan lembaga dan penentu kebijakan yang terkait dengan aturan ini. Jangan sampai spirit baik justru menabrak aturan lainnya dan menjadikan disharmoni antarlembaga," pungkas Tholabi.