Di Priok, luka lama itu masih membekas...
Sebuah orasi pendek mengawali rapat kerja North Jakarta (NJ) Mania di aula Kantor Wali Kota Jakarta Utara, Minggu (26/1) siang. Ketua Umum NJ Mania didapuk memberikan pengarahan. Terlihat, hanya belasan anggota NJ Mania yang hadir.
Dalam pidato singkatnya, Farid menyinggung situasi teranyar Persitara Jakarta Utara yang kini terpuruk di divisi 3. Meski memprihatinkan, ia meminta rekan-rekannya di NJ Mania tetap setia mendukung klub sepakbola kesayangan mereka itu.
Pidato singkat itu berakhir dengan sangat "kaku". Di tengah-tengah pemaparan, Farid tiba-tiba mengepalkan tangan dan berteriak. "NJ Mania!" pekiknya diikuti koor para peserta rapat.
Farid--yang lahir dan besar di Jakarta Utara--sudah dua periode menjadi Ketum NJ Mania. Meskipun lahir di daerah yang "keras", menurut Farid, warga Jakarta Utara, termasuk di antaranya para suporter Persitara, bukan perusuh atau tukang bikin onar.
"Melekat pada kami identitas masyarakat Jakarta Utara alias orang pesisiran. Kami selalu berusaha memposisikan diri sebagai orang Jakarta Utara yang welcome dengan siapa pun," kata dia saat berbincang dengan Alinea.id usai rapat.
Prinsip itulah yang menginspirasi Farid bersama sejumlah rekan di NJ Mania untuk menggelar aksi unjuk rasa di depan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (KemenkumHAM), Kuningan, Jakarta, pekan lalu. Farid menolak pernyataan MenkumHAM Yasonna Laoly yang menyebut kawasan Tanjung Priok sebagai tempat lahirnya para kriminal.
"Saya dan rekan-rekan NJ Mania enggak bisa tinggal diam di-framing begitu. Kalau diam, nanti orang akan menganggap pernyataan itu benar," ujar pria berusia 37 tahun itu.
Saat memberikan pengarahan di Lapas Narkotika Kelas IIA Jatinegara, Jakarta Timur, Yasonna membandingkan anak-anak yang lahir di kawasan Menteng dan Tanjung Priok. Menurut dia, anak-anak di Menteng cenderung lebih "jinak" karena lahir di kawasan yang adem.
"Itu sebabnya kejahatan lebih banyak terjadi di daerah-daerah miskin, slum areas (daerah kumuh). Bukan di Menteng. Anak-anak Menteng tidak. Tapi, coba pergi ke Tanjung Priok. Di situ ada kriminal, lahir dari kemiskinan," ujar politikus PDI-Perjuangan tersebut.
Pernyataan itu kadung menyinggung Farid dan rekan-rekannya. Terlebih, warga Tanjung Priok masih menyimpan sentimen negatif terhadap pemerintah. "Peristiwa makam Mbah Priok dulu tahun 2010. Ya, saya pikir pemerintah tidak boleh semena-mena," imbuh Farid.
Direpresi sejak 1984
Peristiwa yang disinggung Farid dikenal dengan nama kerusuhan Koja. Kerusuhan bermula dari sengketa antara ahli waris Mbah Priok dengan Pelindo II. Ahli waris mengklaim makam Mbah Priok di lahan seluas 5,4 hektare milik mereka. Namun, putusan PN Jakarta Utara memenangkan Pelindo II.
Eksekusi makam Mbah Priok yang ada di dalam area Terminal Peti Kemas Tanjung Priok, Koja, oleh Pemprov DKI Jakarta pada 14 April 2010 ditolak warga. Bentrok antara warga dan Satpol PP pun tak terelakan. Tiga orang tewas akibat peristiwa tersebut.
Sentimen serupa juga mendorong Nobon, 41 tahun, melangkahkan kakinya ke Gedung KemenkumHAM, pekan lalu. Pengurus Oi Jakarta Utara itu merasa ia dan rekan-rekannya dirugikan oleh pernyataan Yasonna.
Oi merupakan pelesetan populer dari Yayasan Orang Indonesia, sebuah yayasan yang didirikan legenda musik Iwan Fals pada 1999. Tujuannya untuk mewadahi aktivitas para penggemar musik Iwan Fals di seluruh Indonesia.
"Ini menyangkut kampung halaman saya dan tidak ada kaitannya dengan urusan politik. Sejauh ini, Bang Iwan (Fals) pun tidak menegur saya. Biasanya, kalau ada yang terlibat (aksi berbau politik), Bang Iwan langsung negur," ujarnya.
Nobon mengaku jadi salah satu saksi mata pecahnya kerusuhan Koja. Ia bahkan turut bertahan bersama warga lainnya di area kompleks makam Mbah Priok saat Satpol PP dibantu aparat hendak mengeksekusi lahan sengketa.
"Gua di dalam saat kejadian. Situasinya parah. Sejarah konflik di Tanjung Priok itu pemerintah yang buat sehingga begitu. Sebab-musababnya pemerintah juga. Jadi, kalau kata orang Priok mah, 'Lu jual, gua beli'," ujarnya.
Tak hanya itu, Nobon mengatakan, pernyataan Yasonna bisa berdampak terhadap masa depan anak-anak yang lahir dan besar di Tanjung Priok jika tidak diklarifikasi. Terlebih, stigma sebagai perusuh masih kerap dilekatkan kepada warga yang tinggal di Priok.
"Kalau tidak ada klarifikasi, (bahaya). Kasihan buat generasi selanjutnya. Ini sudah pernah kami rasain pasca-Peristiwa Tanjung Priok 1984. Setiap orang mau masuk kerja, pas dilihat domisilinya di Priok, ditolak sama perusahaan," tutur dia.
Aji, pengurus sebuah karang taruna di Sungai Bambu, Tanjung Priok, mengutarakan pengalaman serupa. Menurut dia, mayoritas warga di pelosok paling utara Jakarta itu kerap terbebani stereotip dari masa lalu.
"Itu berasa saat melamar kerja. Pada sangsi nih perusahaan, 'Wah, anak Priok'. Kalau kumis alias kumuh dan miskin, mungkin benar. Tapi, enggak bisa dibilang lahirnya daerah kriminal," kata dia kepada Alinea.id.
Selain kerusuhan Koja, konflik berdarah juga sempat meletus di Tanjung Priok pada 1984 melibatkan personel TNI dan warga sipil. Ditengarai, ratusan orang tewas dalam tragedi kemanusiaan yang kini dikenal dengan nama Peristiwa Tanjung Priok itu.
Tragedi bermula pada 8 September 1984. Ketika itu, seorang babinsa berpangkat sersan satu merusak pamflet yang isinya mengkritik pemerintahan Soeharto di Musala As-Sa'adah, Koja, Tanjung Priok. Babinsa itu disebut memasuki musala tanpa melepas sepatu dan mengguyurkan air comberan ke dinding musala.
Dua hari berselang, dua babinsa terlibat cek-cok dengan warga. Warga yang tak terima dan membakar motor salah satu babinsa. Empat warga ditahan karena peristiwa itu. Utusan warga mencoba berdamai dengan mendatangi kodim setempat, namun tak dihiraukan.
Keesokan harinya, konflik membesar setelah ribuan warga--sebagian di antaranya bersenjata tajam--mendatangi Mapolres Jakarta Utara memprotes penahanan empat rekan mereka. Di tengah jalan, warga dihadang pasukan militer. Tanpa peringatan, warga yang memaksa merangsek ke arah mapolres dihujani peluru tajam.
Oleh Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, peristiwa tersebut dikategorikan sebagai salah satu kasus dugaan pelanggaran HAM berat yang harus dirampungkan negara. Menurut KomnasHAM, aktor-aktor intelektual dalam kasus tersebut tidak pernah serius diseret ke meja hijau dan hak-hak korban belum dipulihkan.
Tanjung Priok masih "membara"
Kriminolog Universitas Indonesia (UI) Iqrak Sulhin menilai, sentimen historis memang kerap menjadi pemicu sebuah komunitas bereaksi keras terhadap pernyataan atau kebijakan pemerintah. Menurut dia, letupan-letupan konflik bisa meletus di kawasan yang memang punya hubungan yang buruk dengan rezim.
"Dari sisi kriminologi itu ada pandangan kritis. Pandangan kritis itu mengatakan, wilayah yang selama ini banyak kejahatannya itu harus dilihat sebagai wilayah yang criminalgenic. Mungkin selama ini termarjinalisasi atau luput dari perhatian pemerintah atau mungkin wilayah itu menjadi subjek represif dari negara," ujarnya.
Namun demikian, Iqrak mengatakan, Yasonna tak sepenuhnya salah. Jika mengacu pada data statistik Polda Metro Jaya dalam beberapa tahun terakhir, kawasan Jakarta Utara, khususnya Tanjung Priok, memang digolongkan daerah rawan kejahatan.
Pada 2019 misalnya, Polda Metro Jaya mencatat ada 30 orang yang ditetapkan jadi tersangka dalam berbagai kasus premanisme berasal dari Tanjung Priok. Angka itu tertinggi di seantero Jakarta. Urutan kedua dipegang Jakarta Barat dengan 26 tersangka.
Setahun sebelumnya, Polda Metro Jaya mencatat ada 55 tersangka kasus premanisme yang ditahan di wilayah Jakarta Utara. Sebanyak 33 di antaranya berasal dari Tanjung Priok. Para tersangka umumnya terlibat kejahatan kelas teri, semisal pencurian dan kekerasan.
"Jadi berdasarkan data Polda Metro Jaya 2018-2019 memang wilayah Utara, termasuk Tanjung Priok, itu wilayah dengan premanisme yang relatif tinggi dibandingkan dengan wilayah lain," jelas Iqrak.
Secara teoritis, guru besar Fakultas Psikologi UI Hamdi Muluk menuturkan, daerah pelabuhan dan terminal memang kerap menjadi kawasan lahirnya praktik-praktik premanisme dan kriminalitas.
"Kalau (Tanjung Priok) dikatakan tingkat kriminalitasnya tinggi, ya, wajar. Bisa dipahami secara ilmiah memang," ujar Hamdi kepada Alinea.id di Jakarta, Jumat (24/1).
Namun demikian, Hamdi mengatakan, pernyataan ilmiah semacam itu tak etis terlontar dari mulut seorang menteri. Apalagi, Yasonna tidak melengkapi pernyataannya dengan kajian yang jelas.
"Cuma itu tadi. Yang ngomong bukan ilmuwan, peneliti, atau ahli kriminologi sehingga ditafsirkan bentuk penghinaan. Terlebih, warga Tanjung Priok juga menangkapnya itu seperti menghina. Itu murni kemarahan," jelas dia.
Pengamat politik Jerry Massie meminta pemerintah berhati-hati dalam mengeluarkan pernyataan. Menurut Jerry, sentimen antipemerintah masih cukup kuat di beberapa kelompok masyarakat di kawasan pelabuhan terpadat di Indonesia itu.
"Rangkaian peristiwa di Priok, seperti Peristiwa Tanjung Priok pada 1984, peristiwa makam Mbah Priok pada 2010, itu mengendap di ingatan mereka. Konflik ini belum selesai. Residunya masih ada," kata dia.