Pemerintah provinsi DKI Jakarta tengah menyiapkan strategi untuk menguasai pengelolaan air bersih dan minum di Ibu Kota. Salah satu yang bakal ditempuh Pemprov DKI yakni dengan memperkuat Badan Usaha Milik Daerah (BUMD), yakni PAM Jaya.
Gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan, menjelaskan strategi penguasaan air di Jakarta sebetulnya telah disiapkan sejak lama. Salah satunya dengan menata ulang kinerja tim tata kelola air Pemprov DKI. Ini dilakukan sebagai upaya persiapan transisi pengelolaan air, bila amar kasasi penghentian swastanisasi air tak berubah.
“Sebetulnya sudah hampir final sekarang. Tujuan kita satu menyiapkan infrastruktur untuk distribusi air dan lain-lain. Kita akan jalankan terus intinya, kita akan ambil kebijakan yang paling menguntungkan untuk warga Jakarta,” kata Anies kepada Alinea.id di Jakarta pada Selasa (29/1).
Menurut mantan Menteri Pendidikan itu, distribusi air bersih dan minum yang dikelola Palyja dan Aetra selama 20 tahun terakhir tak menampakkan adanya kemajuan signifikan. Namun demikian, Anies mengimbau kepada timnya agar berhati-hati dalam bernegosiasi untuk mengakuisisi pengelolaan air dengan dua perusahaan tersebut.
“Saya katakan dalam melaksanakan ini, itu harus mengikuti semua ketentuan yang ada agar warga tidak dirugikan. Sebab, di situ ada ikatan kerja sama. Jangan sampai ketika kerja sama itu dihentikan sampai membayar pajak, harus menanggung ongkos,” ungkapnya.
Gayung bersambut. Niat Pemprov DKI mengambil alih pengelolaan air bersih dan minum di Jakarta disambut oleh anggota DPRD DKI Jakarta, Bestari Barus. Dia mengatakan, penguatan PAM Jaya harus diselaraskan dengan proses kontrak atau memutus langsung kontrak kerja sama dengan Palyja dan Aetra.
“Karena selama ini juga kerja dua perusahaan itu tidak menunjukan profesionalitasnya. Bayangkan sejak puluhan tahun baru dapat membuat jaringan kurang lebih 50% dari kebutuhan,” kata Bestari.
Menurut politikus Partai NasDem itu, upaya pemutusan kontrak terhadap Palyja dan Aetra penting dilakukan untuk menjaga martabat bangsa dalam menjalankan pasal 33 UUD 1945. Dalam aturan tersebut, dijelaskan bahwa bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.
“Itu yang kita harapkan karena urusan air ini vital sekali,” kata Bestari.
Namun demikian, upaya Pemprov DKI mengambil alih pengelolaan air di Jakarta tak melulu jalannya bakal mulus. Pada 30 November 2018, Mahkamah Agung mengabulkan permohonan peninjauan kembali yang diajukan oleh Kementerian Keuangan terkait pengelolaan air di Jakarta.
Peninjauan kembali diajukan Kementerian Keuangan menindaklanjuti putusan kasasi Mahkamah Agung yang sebelumnya mengabulkan kasasi Koalisi Masyarakat Menolak Swastanisasi Air Jakarta pada 10 April 2017.
Dalam amar putusan kasasi, MA menilai kerja sama PAM Jaya dengan PT Palyja dan PT Aetra Air sejak 6 Juni 1997 telah melanggar aturan. Hakim kasasi saat itu pun memerintahkan para tergugat menghentikan kebijakan swastanisasi air minum di Ibu Kota, dan mengembalikan pengelolaannya secara penuh kepada PAM Jaya.
Berdasarkan kasasi itu, Kementerian Keuangan mengajukan PK melalui Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada 22 Maret 2018 lantaran turut menjadi salah satu pihak yang digugat oleh koalisi penolak privatisasi air, selain Gubernur DKI Jakarta, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah DKI, dan PAM Jaya, Palyja dan PT Aetra Air Jakarta (Aetra).
Berdasarkan situs resmi Mahkamah Agung, PK yang diajukan Kemenkeu akan disidang oleh tiga hakim Mahkamah Agung. Mereka antara lain Hamdi, Maria Anna Samiyati, Soltoni Mohdally, dengan panitera pengganti Rudi Rafli.