Suap benur Edhy dan mudarat sespri pejabat
Dibalut blazer hitam, Anggia Putri Tesalonika Kloer hadir dalam persidangan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor), Jakarta Pusat, Rabu (17/3). Di persidangan itu, ia ditanyai soal mobil Honda HRV dan sebuah unit apartemen yang diberikan eks mantan Menteri Kelautan dan Perikanan (KKP) Edhy Prabowo.
"Saya disewakan apartemen sebagai akomodasi saya karena keluarga tidak di Jakarta dan saya dari Manado. Jadi, saya disewakan apartemen di Cawang," ujar Anggia seperti dikutip dari Antara.
Anggia adalah salah satu sekretaris pribadi (sespri) Edhy. Ia juga adik kandung anggota DPRD Manado, Mona Kloer. Mona tercatat menduduki posisi strategis di Partai Gerindra, yakni sebagai Ketua DPC Gerindra Manado. Edhy Prabowo juga berasal dari Gerindra.
Di depan hakim, Anggia mengaku tidak mengetahui harga mobil dan biaya apartemen yang dipakainya itu. Menurutnya, mobil dan apartemen diurus oleh sekretaris pribadi Edhy lainnya, Amiril Mukminin. Apartemen itu disewa untuk satu tahun, yaitu dari Juli 2020 hingga Juli 2021.
Selain Anggia, sespri perempuan Edhy lainnya, Fidya Yusri dan Putri Elok mendapat fasilitas serupa. Fidya disewakan sebuah unit apartemen di Menteng Park, Jakarta Pusat. Dalam kasus suap ekspor benur yang menjerat Edhy, ketiganya masih berstatus sebagai saksi.
Koordinator Indonesian Corruption Watch (ICW) Adnan Topan Husodo mengatakan keterlibatan asisten pribadi dan sespri dalam kasus suap dan korupsi bukan hal baru. Menurut dia, korupsi merupakan kejahatan terorganisir yang biasanya melibatkan banyak tangan.
"Melibatkan berbagai pihak dan orang dekat pelaku utama. Istilahnya, orang-orang kepercayaan," kata Adnan saat dihubungi Alinea.id di Jakarta, Selasa (23/2).
Sebelum para sespri Edhy, sejumlah sespri dan aspri pejabat dan politikus juga pernah diperiksa KPK terkait kasus korupsi. Pada 2020, Miftahul Ulum, sekretaris pribadi eks Menteri Pemuda dan Olaharga (Menpora) Imam Nahrawi, bahkan telah dijatuhi hukuman karena terbukti terlibat dalam kasus korupsi.
Miftahul terlibat dalam kasus suap dan gratifikasi dana hibah dari Kemenpora ke Komite Olahraga Nasional Indonesia (KONI) pada 2018. Miftahul berperan sebagai perantara uang yang diterima dari berbagai sumber untuk Imam Nahrawi.
Pada 2013, nama Alinda Agustine mencuat ke publik terkait kasus dugaan pemerasan pada pengadaan alat kesehatan di Pemerintah Provonsi Banten. Alinda merupakan sespri eks Gubernur Banten Ratu Atut Choisiyah. Setelah Atut ditetapkan menjadi tersangka, KPK mencekal Alinda ke luar negeri.
Nama lainnya adalah Ahmad Zaky, sespri eks Presiden Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Luthfi Hasan Ishaq. Zaky ditengarai mengetahui rincian kasus suap pengurusan kuota impor daging sapi di Kementerian Pertanian (Kementan) pada 2013 yang menjerat Luthfi.
Di persidangan, terungkap ada sejumlah aset Luthfi yang disamarkan atas nama Zaky, semisal rumah di kawasan Batu Ampar, Condet, Jakarta Timur dan satu unit mobil Toyota Fortuner bernomor B 544 FRS. Dalam dakwaan, Zaky disebut jaksa ditugaskan menjadi perantara guna mendapatkan proyek dan pengurusan izin di Kementan.
Menurut Adnan, para sespri biasanya dilibatkan dalam kasus suap dan korupsi sebagai kaki tangan dari pelaku utama. "Entah itu menjadi perantara, melakukan transaksi, (dan) menyimpan hasil kejahatannya," jelas Adnan.
Lebih jauh, Adnan mengatakan, keterlibatan sespri dalam pusaran korupsi masuk dalam kategori tindak pidana pencucian uang (TPPU). Sayangnya, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) belum memaksimalkan penerapan Pasal 5 UU No 8 tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan TPPU.
Bunyi pasal itu, "Setiap orang yang menerima atau menguasai penempatan, pentransferan, pembayaran, hibah, sumbangan, penitipan, penukaran, atau menggunakan harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah)."
"Ini (penerapan pasal TPPU) perlu didorong," ujar Adnan.
Sespri jadi target sextortion
Tak hanya jadi kaki tangan dalam perbuatan rasuah, menurut Adnan, sespri juga kerap jadi sasaran sextortion. Itu setidaknya dilaporkan lembaga Transparency International (TI) dalam kajian yang dirilis pada 2020.
"Ada kekerasan struktural yang diwujudkan dalam bentuk pelayanan khusus oleh perempuan kepada pejabat publik yang korup itu. Imbal baliknya dalam bentuk akses terhadap sumber daya ekonomi, harta, dan kemewahan," jelas dia.
Kajian yang dimaksud Adnan ialah Survei Global Corruption Barometer Asia 2020. Dalam laporan itu, sextortion berarti pemerkosaan atau penyalahgunaan kekuasaan untuk mendapatkan keuntungan atau keuntungan seksual.
Manager Riset Transparency International Indonesia (TII) Wawan Suyatmiko membenarkan adanya kasus-kasus sespri yang jadi target sextortion pejabat dan politikus. Ia mencontohkan setidaknya dua kasus yang terungkap ke publik.
"Yang pernah terungkap itu kan yang pernah terjadi di BPJS (Badan Penyelenggara Jaminan Sosial) Ketenegakerjaan. Kasus kedua pernah menimpa salah satu (sespri) anggota DPR RI," kata Wawan kepada Alinea.id, Rabu (24/3).
Kasus berkategori sextortion yang disebut Wawan ialah yang diungkap Rizky Amelia, staf eks anggota Dewan Pengawas BPJS Syafri Adnan Baharuddin. Pada Desember 2018, ia mengaku dilecehkan dan diperkosa oleh Syafri selama bekerja sebagai stafnya. Namun, Rizky mengubah pernyataannya pada 2019. Kasus itu pun meredup.
Pada 2016, Dita Aditia Ismawati melaporkan anggota DPR RI Masinton Pasaribu ke Bareskrim Polri. Dita, yang notabene asisten pribadi Masinton, mengaku dibogem oleh Masinton saat berada di mobil politikus PDI-P tersebut. Sebagaimana kasus Rizky, kasus Dita pun berakhir lewat "jalur damai".
Sextortion dan kasus-kasus sespri atau aspri yang jadi kaki tangan korupsi, lanjut Wawan, bisa terjadi lantaran ada hubungan simbiosis mutualisme antara pejabat dengan anak buahnya.
Dalam kasus korupsi, misalnya, pejabat membutuhkan sosok sespri untuk menghilangkan jejak. Di sisi lain, sespri bersedia menjadi kaki tangan korupsi karena iming-iming keuntungan material. Lazimnya, para sespri juga mengetahui persis perilaku korup bosnya.
"Iya, seringkali juga proses korupsi itu terjadinya dengan sespri. Rata-rata begitu, semisal karena HP-nya dipegang sespri. Meskipun sespri dalam tanda petik berani mengambil resiko untuk tidak mengatakan siapa penerima hasil dari uang hasil korupsi. Gitu, ya," jelas Wawan.
Wawan mengatakan keberadaan sespri dan aspri pejabat perlu diatur. Menurut dia, pejabat kerap mengangkat sespri tanpa ukuran kompetensi yang jelas. Walhasil, sespri hanya kerap dimanfaatkan untuk sextortion dan jadi kaki tangan dalam perbuatan-perbuatan lancung.
"Kalau kami melihat ini (sespri) sebuah posisi yang gelap, tapi nyata. Jadi, ini ruang gelap yang benar-benar gelap. Kita enggak tahu kenapa orang itu ditunjuk sebagai sespri dan kenapa harus seperti ini. Syarat menjadi sespri itu seolah-olah tidak terjelaskan dengan gamblang," terang dia.
Menurut Wawan, hingga kini belum ada regulasi khusus mengatur pengangkatan sespri dan aspri. Karena biasanya digaji dari kocek pribadi pejabat, diakui Wawan, kinerja dan perilaku sespri pun sulit untuk diawasi.
"Itu enggak ada (pengawasannya). Karena memang enggak ada aturan dan enggak bisa diatur kan. Tapi, paling tidak (staf ahli atau staf khusus pejabat) yang menggunakan anggaran negara itu yang harus diatur secara ketat," kata Wawan.
Jerat sespri korup
Saat menjalani tugasnya sebagai menteri, Edhy mengaku dibantu lima staf khusus. Selain stafsus, Edhy juga mengangkat empat sespri untuk membantu kesibukan-kesibukannya yang lain di luar tugas sebagai menteri.
Tidak jelas apakah Edhy mengeluarkan kocek sendiri untuk menggaji para sespri itu. Namun demikian, Edhy mengaku sudah berkonsultasi dengan Sekretariat Jenderal KKP sebelum mengangkat empat sespri itu. "Sespri ini saya ajukan dan memang boleh," kata Edhy di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Rabu (17/3).
Dalam Perpres No.68/2019 tentang Wakil Menteri, Staf Ahli, dan Staf Khusus Menteri, disebutkan bahwa menteri bisa dibantu wakil menteri dan lima staf ahli. Menurut perpres itu, staf ahli adalah jabatan pimpinan tinggi madya atau jabatan struktural eselon I.b.
Sebagaimana staf ahli, kuota staf khusus juga dibatasi hanya lima orang dalam perpres itu. Stafsus bisa direkrut dari kalangan swasta atau non-ASN. Namun, calon stafsus harus diusulkan kepada Presiden lewat Kementerian Sekretaris Negara dahulu sebelum diangkat. Perpres tidak mengulas soal aspri dan sespri.
Meski keberadaanya lazim, tidak semua menteri menggunakan sespri dan aspri dari kalangan swasta. Kementerian Dalam Negeri yang dipimin Tito Karnavian, misalnya. Menurut Kepala Pusat Penerangan (Kapuspen) Kemendagri Benny Irawan, tidak ada aspri atau sespri non-ASN di kementeriannya.
"Setahu saya tidak ada yang pribadi-pribadi di Kemendagri. Semuanya (jabatan) kedinasan," kata Benny saat dihubungi Alinea.id di Jakarta, Sabtu (27/3).
Meski begitu, Benny mengakui ada pegawai dari kalangan non-ASN yang direkrut untuk membantu tugas-tugas kementerian. Para pegawai kontrak itu digaji dengan APBN. "Intinya adalah dasar penugasan dan pelaksanaan tugasnya (pegawai non-ASN) adalah aturan-aturan dinas," ujar dia.
Terlepas dari statusnya sebagai pegawai swasta di kementerian, pakar hukum pidana Abdul Fickar Hadjar mengatakan semua pihak yang terlibat dalam kasus korupsi mesti dijerat. Jika ditemukan alat bukti yang cukup, KPK juga harus menjerat para sespri Edhy.
"Siapapun yang membantu, secara yuridis, tetap bisa dikategorikan sebagai pelaku, apakah itu pelaku pembantu ataukah pelaku penyerta. Tiga stafsus (Edhy) itu bagian dari jaringan korupsinya sehingga juga harus dihukum sesuai dengan perannya," jelas Fickar.