Penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) bakal memeriksa sembilan orang untuk kasus dugaan suap pengurusan dana alokasi khusus (DAK) Kota Dumai dalam APBN-P 2017 dan APBN 2018. Semuanya berstatus saksi untuk Wali Kota nonaktif Dumai, Zulkifli Adnan Singkah (ZAS).
Para saksi, yakni Kabid Perizinan dan Non-Perizinan DPMPTSP Kota Dumai, Said Effendi; Kabag Pembangunan Setda Kota Dumai, Muklis Susantri; Kepala Bappeda Kota Dumai 2014-2017, Marjoko Santoso; dan PNS, Humanda Dwipa Putra.
Lalu wiraswasta, Bahirudin, Akhmad Khusnul Ilmi, Eli Yati, Hendri Sandra, dan Ghulam Fatoni. "Pemeriksaan dilakukan di Kantor Polda Riau, Jalan Patimura Nomor 13, Pekanbaru," kata Plt. Juru bicara Bidang Penindakan KPK, Ali Fikri, Rabu (3/2).
Kasus berawal pada Maret 2017, saat Zulkifli bertemu Kasi Pengembangan Pendanaan Kawasan Perumahan dan Pemukiman Ditjen Perimbangan Keuangan Kemenkeu, Yaya Purnomo, di hotel bilangan Jakarta. Dalam kasus DAK APBN-P 2017 dan APBN 2018, Yaya sudah divonis bersalah.
Pada pertemuan tersebut, Zulkifli diduga meminta bantuan untuk mengawal proses pengusulan DAK. Yaya menyanggupi dengan biaya (fee) 2%. Selanjutnya Mei 2017, Pemkot Dumai mengajukan pengurusan DAK kurang bayar TA 2016 sebesar Rp22 miliar.
Dalam APBN-P 2017, Kota Dumai mendapat tambahan Rp22,3 miliar sebagai penyelesaian DAK fisik 2016 yang dianggarkan untuk pendidikan dan infrastruktur jalan. Pemkot Dumai lalu mengajukan usulan DAK TA 2018 kepada Kemenkeu.
Beberapa bidang yang diajukan antara lain rumah sakit (RS) rujukan, jalan, perumahan dan pemukiman, air minum, sanitasi, serta pendidikan. Zulkifli selanjutnya kembali bertemu Yaya dan membahas pengajuan DAK itu.
Yaya menyanggupinya, terutama untuk pembangunan RSUD dengan alokasi Rp20 miliar dan pembangunan jalan Rp19 miliar.
Demi memenuhi fee permintaan Yaya, Zulkifli diduga memerintahkan mengumpulkan uang dari swasta yang menjadi rekanan proyek. Penyerahan uang setara Rp550 juta untuk Yaya dkk dilakukan pada November 2017 dan Januari 2018.
Zulkifli juga diterka menerima gratifikasi berupa uang Rp50 juta dan fasilitas kamar hotel di Jakarta. Pemberian itu diduga dari pengusaha yang mengerjakan proyek di Kota Dumai. Praktik lancung itu disinyalir terjadi antara November 2017-Januari 2018.
Pemberian tersebut tidak pernah dilaporkan kepada Direktorat Gratifikasi KPK sebagaimana diatur dalam Pasal 12 C Undang-Undang (UU) Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor).
Dalam perkara pertama, Zulkifli disangkakan melanggar Pasal 5 ayat (1) huruf a atau huruf b atau Pasal 13 UU Tipikor. Sementara terkait gratifikasi, dia diterka melanggar Pasal 12B UU Tipikor.