Eks Direktur Utama PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk, Emirsyah Satar, divonis delapan tahun penjara dan denda Rp1 miliar subsider tiga bulan kurungan. Hukuman lebih ringan dari tututan jaksa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), 12 tahun penjara dan denda Rp10 miliar subsider delapan bulan kurungan.
"Terdakwa Emirsyah Satar telah terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana korupsi dan tindak pidana pencucian uang (TPPU) yang dilakukan secara bersama-sama dan berlanjut," kata Ketua Majelis Hakim Pengadilan Tipikor, Rosmina, saat membacakan amar putusan, Jumat (8/5).
Emirsyah juga dikenai pidana tambahan berupa uang pengganti senilai S$2.117.315,27 subsider dua tahun kurungan penjara. Jika di rupiahkan, uang pengganti setara Rp22,4 miliar. Mesti dibayarkan satu bulan setelah putusan pengadilan memperoleh kekuatan hukum tetap.
Dalam pertimbangan hukuman memberatkan, Rosmina menilai, perbuatan terdakwa bertentangan dengan program pemerintah dalam memberantas korupsi.
"Sebagai pemimpin, (Emirsyah) seharusnya menjadi panutan bagi Garuda Indonesia, namun terdakwa melakukan tindakan yang mencurangi perusahaan, di mana banyak karyawan menggantungkan kehidupan kepada perusahaan," paparnya.
Sedangkan pertimbangan yang meringankan, sopan selama persidangan, belum pernah dihukum, dan menyesali perbuatannya. "Terdakwa telah membawa PT Garuda ke jenjang yang diakui dunia sebagai perusahaan penerbangan yang bergengsi," lanjut dia.
Emirsyah terbukti menerima suap Rp46 miliar terkait pengadaan pesawat Airbus SAS dan Rolls-Royce P.L.C. Juga terbukti secara sah dan meyakinkan menerima suap dari Soetikno €1,2 juta dan US$180.000 atau setara Rp20 miliar serta TPPU.
Terkait TPPU, Emirsyah melakukan pencucian uang melalui tujuh cara. Mulai dari mentransfer uang hingga membayar utang kredit.
Dirinya dinilai melanggar Pasal 12 huruf b Undang-Undang (UU) Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP juncto Pasal 65 ayat (1) KUHP.
Pun dinilai melanggar Pasal 3 UU Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan TPPU juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP juncto Pasal 65 ayat (1) KUHP.
Menanggapi putusan itu, Emirsyah masih mempertimbangkan untuk mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi (PT) Jakarta.