Suara getir pramudi dan biang kerok kecelakaan berulang bus TransJakarta
Usai memarkir bus Royaltrans, armada yang dikelola langsung PT Transportasi Jakarta (TransJakarta) di pul bus TransJakarta, Cawang, Jakarta Timur, Damar—bukan nama sebenarnya—langsung bergegas ke parkir sepeda motor untuk pulang ke rumah. Siang itu, ia merasa sangat mengantuk dan letih setelah dari pagi buta menyetir bus Royaltrans jurusan Cibubur-Kuningan.
Menurut Damar, istrinya kerap khawatir dengan pekerjaannya itu. Apalagi belakangan banyak terjadi insiden kecelakaan yang melibatkan bus TransJakarta.
“Padahal setiap tahun ada (kecelakaan bus TransJakarta),” kata Damar saat berbincang dengan Alinea.id di kediamannya, Cakung, Jakarta Timur, Selasa (14/12).
“Sekarang zamannya media sosial. Enggak bisa diumpetin ketika ada kasus (kecelakaan).”
Keluhan dari pramudi
Damar tak menampik kasus kecelakaan bus TransJakarta semakin marak terjadi akhir-akhir ini. Beberapa waktu lalu, dalam rapat kerja bersama Komisi B DPRD DKI Jakarta, Direktur Utama PT TransJakarta Mochammad Yana Aditya menyebut, ada 502 kecelakaan yang melibatkan bus TransJakarta dari Januari hingga Oktober 2021.
Pramudi yang sudah bekerja selama enam tahun di PT TransJakarta itu menduga, rentetan kecelakaan diakibatkan kinerja direksi yang tak maksimal. Salah satunya pengawasan yang kendur dari Direktur Operasional PT TransJakarta. Menurut dia, direksi operasional yang sebelumnya punya tingkat disiplin kerja yang tinggi.
“Ia menghubungi petugas layanan halte mapun sopir ketika mengetahui operasional berjalan tidak sesuai standar,” kata Damar.
“Sekarang (pengawasan) enggak efektif.”
Sebelumnya, Direktur Operasional PT TransJakarta dipegang Daud Joseph. Pada 2019, ia diganti Prasetya Budi. Selain itu, sekarang tak pernah ada kegiatan apel sebelum bekerja untuk petugas operasional.
“Sekarang, (instruksi) paling via grup (WhatsApp). Enggak seketat dulu,” ujarnya.
Kontrol perawatan terhadap armada, ujar Damar, juga kurang maksimal. Ia kerap mendapat bus yang tak nyaman untuk dikendarainya. Dengan kondisi itu, pramudi dituntut berkonsentrasi tinggi saat membawa bus.
“Saya sering bawa unit (bus) yang enggak bisa anteng, ban enggak bisa diam, padahal kecepatan 40 atau 50 (kilometer per jam),” ujar dia.
Pemberian upah tambahan alias bonus yang bisa didapat pramudi berdasarkan penghitungan jarak pun dinilai Damar rawan menimbulkan kecelakaan. Penghitungan tersebut menuntut kecepatan berkendara pramudi.
Damar menyebut, sistem itu biasanya berlaku bagi pramudi operator mitra PT TransJakarta. Sedangkan untuk sopir di bawah PT TransJakarta dihitung berdasarkan waktu lama beroperasi.
Meski tak menyebut nominalnya, Damar mengaku gaji pokok pramudi kurang. Akibatnya, sebagian sopir mencari pekerjaan sampingan, seperti ojek online.
Dengan begitu, tingkat kelelahan pramudi semakin tinggi. Apalagi sebagian sopir sering kali mengalami kelebihan waktu kerja delapan jam sehari. Belum lagi fasilitas istirahat untuk pramudi yang disediakan manajemen jauh dari layak.
“Dari semua pul, mungkin mes (fasilitas istirahat) yang layak itu baru di Kampung Rambutan (Jakarta Timur),” tutur Damar.
Fasilitas istirahat bagi pramudi yang tak layak, bisa tergambar di halte Ragunan, Jakarta Selatan. Di sini, hanya disediakan dua buah bangku panjang dan beberapa kursi untuk pramudi melepas lelah. Para pramudi lebih memilih istirahat di warung makan sekitar halte.
Misalnya salah seorang pramudi bus operator mitra TransJakarta, yakni Mayasari Bakti, Muryadi—nama samaran—yang memilih menunggu aplusan koleganya di warung makan dekat halte Ragunan.
“Siapa yang mau istirahat di situ (tempat istirahat halte). Kondisinya panas, kipas angin enggak ada,” katanya saat berbincang dengan Alinea.id, Rabu (15/12).
Muryadi mengeluh pula terkait mekanisme upah yang dianggapnya memberatkan pramudi operator mitra TransJakarta. Upah yang diterimanya hanya cukup untuk makan sehari-hari dan membayar sekolah dua anaknya.
Ia mengatakan, mekanisme besaran upah Mayasari Bakti dihitung berdasarkan capaian kilometer yang ditempuh.
“Targetnya minimal 1.600 kilometer (sebulan). Kalau lebih dari target, per kilometer dihitung Rp2.600. Kalau enggak sampai target, ya (gaji sesuai) UMP (upah minimum provinsi),” ucapnya.
Sudah tujuh tahun Muryadi mengabdi sebagai pengemudi bus Mayasari Bakti. Ia merasa, belakangan sulit menembus target lantaran semakin banyak armada TransJakarta yang beroperasi.
“(Saya) sehari itu target 100 kilometer. Tapi kan ada program split. Maksudnya, kalau sudah lewat jam ramai, itu mobil ‘diendapkan’ atau balik ke pul,” ujar dia.
“Nanti kalau sudah menjelang sore atau orang pulang kerja, baru keluar lagi. Jadi, otomatis target kilometer susah (tembus).”
Karena hal itu, Muryadi terkadang memacu busnya dengan kecepatan tinggi demi menembus target jarak. Didasari kondisi ini, ia berharap PT TransJakarta dapat mengubah regulasi sistem upah pramudi.
“Karena yang sering kecelakaan ngebut itu pasti ngejar target. Mau operator apa pun, itu pasti ngejar target per kilometer,” tuturnya.
Kendati begitu, ia menyebut, PT TransJakarta selalu memberikan pelatihan keselamatan berkendara seminggu sekali. Dalam pelatihan tersebut, para pramudi kerap diingatkan agar tak ugal-ugalan di jalan.
“Masalahnya itu target dihitung per kilometer aja sih. Kalau kita (pramudi operator mitra) disamakan dengan TransJakarta, mungkin beda cerita,” ujarnya.
“Kalau dihitung per jam, kita enggak perlu ngebut.”
Perlu perombakan manajemen
Di sisi lain, Kepala Divisi Sekretaris Koorporasi dan Humas PT TransJakarta, Angelina Betris menerangkan, saat ini pihaknya tengah fokus bekerja untuk mencari penyebab maraknya kecelakaan bus TransJakarta. Hal itu dilakukan dengan mengevaluasi sistem keselamatan operasional armada yang dikelola PT TransJakarta dan mitra, bersama Komite Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT).
“Tentu tidak ada orang yang mau terjadi kecelakaan. Untuk itu, kami menggandeng KNKT,” kata Betris saat dihubungi, Minggu (12/12).
Bersama KNKT, sambung Betris, PT TransJakarta akan melakukan evaluasi peningkatan aspek keselamatan. Termasuk meninjau sistem manajemen. Bersamaan dengan itu, pihaknya juga akan meningkatkan pengawasan.
“Jadi, gimana caranya supaya pengawasan dan sistem keselamatan kita lebih baik lagi. Bukan berarti tidak dilakukan sama sekali (pengawasan),” ucap dia.
Ketua KNKT, Soerjanto Tjahjono menambahkan, bersama PT TransJakarta, pihaknya masih melakukan investigasi meliputi organisasi manajemen, kelayakan armada, proses rekrutmen dan sistem kerja pramudi, serta fasilitas istirahat sopir. Investigasi menyasar ke kantor operator mitra dan PT TransJakarta.
“Akhir minggu ini kita akan kumpulkan (hasilnya). Minggu depan, kita sampaikan kepada publik yang akan direkomendasikan,” ujar dia, Selasa (15/12).
Sementara itu, Ketua Serikat Pekerja Transportasi Jakarta (SPTJ) Jan Oratmangun mengatakan, penyebab rentetan kecelakaan bus TransJakarta adalah kebijakan yang semata-mata berorientasi mencari untung.
Menurut Jan, sebagai Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) yang memiliki kewajiban melayani publik, kebijakan PT TransJakarta tak memberi aspek kenyamanan dan keamanan bagi pengguna. Ia menyoroti pengurangan jumlah petugas layanan bus. Padahal, kata dia, fungsi petugas layanan bus sangat penting untuk menjamin kenyamanan dan keamanan operasional.
“Ketika sopir ugal-ugalan atau melenceng dari SOP (standar operasional prosedur), petugas ini bisa report ke pihak terkait untuk ditindak,” tutur Jan, Senin (13/12).
“Di sisi lain, tidak ada petugas layanan bus itu bisa mengurangi kualitas layanan TransJakarta. Misalnya, ada lansia yang enggak dapat tempat duduk atau terjadi pelecehan, itu yang urus siapa? Enggak mungkin sopir.”
Tak hanya petugas layanan bus. PT TransJakarta juga mengurangi jumlah petugas pengendali operasional, dari tiga orang pada satu koridor menjadi hanya seorang. Padahal, lanjut Jan, petugas itu punya peran sentral mengatur sirkulasi dan kecepatan pramudi dalam satu koridor.
“Bahkan, petugas pengendali operasional dapat memberikan sanksi pada pramudi yang ugal-ugalan,” kata dia.
Analis kebijakan transportasi sekaligus Ketua Forum Warga Kota Jakarta (Fakta) Azas Tigor Nainggolan berpendapat, Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan perlu turun tangan untuk mencari orang yang memiliki kapasitas menjadi direksi PT TransJakarta.
“Kalau gubernur mendiamkan, ya berarti ingin menghancurkan TransJakarta,” ucap Tigor saat dihubungi, Selasa (14/12).
Di mata Tigor, direksi PT TransJakarta harus bertanggung jawab atas segala kecelakaan bus TransJakarta. Ia meminta seluruh direksi diganti.
Senada dengan Tigor, pengamat kebijakan publik dari Universitas Trisakti, Jakarta, Trubus Rahardiansyah pun sepakat jajaran direksi PT TransJakarta dirombak.
“Ini persoalannya ada di kebijakan direksi. Nah, itu harus diganti, orang-orangnya (penggantinya) supaya membenahi tata kelola,” kata Trubus, Rabu (15/12).
Di samping itu, Trubus menyarankan agar manajemen PT TransJakarta dapat mengawasi ketat para operator mitranya. Evaluasi, monitoring jam kerja, serta upah pramudi, katanya, perlu dilakukan pula.
Bila tak dilakukan, Trubus mengatakan, tujuan TransJakarta untuk mengajak warga beralih ke moda transportasi umum akan semakin sulit. Sebab, warga bakal memilih kendaraan pribadi.
“Adanya TransJakarta itu kan (tujuannya) untuk mengurangi (penggunaan) mobil pribadi,” tutur Trubus.