Sudah almarhum, KPK tetapkan Fuad Amin sebagai tersangka
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkan almarhum Fuad Amin sebagai tersangka suap fasilitas lapas mewah Sukamiskin Bandung bersama Tubagus Chaeri Wardana.
Fuad Amin sudah meninggal dunia tepat sebulan silam (16/9). Mantan Bupati Bangkalan, Madura, Jawa Timur, itu merupakan terpidana korupsi yang telah divonis 13 tahun penjara.
Terpidana korupsi itu menghembuskan nafas terakhir di RSUD dr. Soetomo Surabaya akibat sakit jantung komplikasi yang dideritanya. Seluruh hartanya senilai Rp250 miliar dirampas untuk negara.
Kini, Fuad Amin ditetapkan sebagai tersangka dugaan suap terkait pemberian fasilitas atau perizinan keluar Lapas Klas I Sukamiskin. KPK juga menetapkan dua mantan Kepala Lembaga Pemasyarakatan Klas I Sukamiskin Bandung sebagai tersangka.
Dua mantan Kepala Lapas Sukamiskin itu ialah, Wahid Hussein dan Deddy Handoko. Selain itu, KPK juga menetapkan tiga orang lainnya yakni Direktur Utama PT Glori Karsa Abadi (GKA) Rahadian Azhar, dan dua warga binaan bernama Tubagus Chaeri Wardana serta Fuad Amin.
Wakil Ketua KPK Basaria Pandjaitan menyebut, penetapan tersangka itu merupakan pengembangan perkara dari hasil operasi tangkap tangan (OTT) pada 20 hingga 21 Juli 2018. Dalam perkara itu, KPK telah menetapkan empat orang tersangka. Keempatnya, juga telah dinyatakan bersalah oleh majelis hakim Pengadilan Negeri Tipikor Jawa Barat.
"Setelah munculnya sejumlah fakta baru tentang dugaan keterlibatan pihak lain, KPK membuka penyelidikan baru hingga ditemukan bukti permulaan yang cukup dan meningkatkan perkara ke penyidikan dengan menetapkan lima orang tersangka," kata Basaria, saat konfrensi pers di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta Selatan, Rabu (16/10).
Lika-liku suap Lapas mewah Sukamiskin
Basaria Pandjaitan menerangkan, peran Tubagus Chaeri Wardana saat menjalani hukuman pidana tujuh tahun terkait perkara suap di Lapas Sukamiskin.
Tubagus alias Wawan, merupakan tersangka korupsi pengadaan alat kesehatan kedokteran umum Puskesmas Kota Tangerang Selatan tahun anggaran 2012, korupsi pengadaan sarana dan prasarana kesehatan di lingkungan Pemprov Banten tahun 2011-2013, dan tindak pidana pencucian uang.
Selain itu, suami dari Wali Kota Tangsel Airin Rachmi Diany tersebut juga merupakan terpidana penyuapan dalam penanganan sengketa Pilkada Kabupaten Lebak Tahun 2013 di Mahkamah Konstitusi.
Saat itu, adik mantan Gubernur Banten Ratu Atut Chosiyah itu memiliki pendamping yang bertugas mengurus segala keperluan seperti izin berobat ke luar lapas, membantu komunikasi dan negosiasi dengan pihak lapas, bahkan berkomunikasi dengan pihak swasta di luar lapas.
"Selama ditempatkan di Lapas Sukamiskin periode 26 September 2016 hingga 14 Maret 2018, TCW (Tubagus Chaeri Wardana) diduga telah memberi mobil Toyota Kijang Innova putih Reborn G Luxury dengan nomor polisi D 101 CAT kepada DHA (Deddy Handoko)," kata Basaria.
Tak hanya Deddy, Tubagus juga memberikan uang kepada Wahid Husein sebesar Rp75 juta pada 14 Maret 2018 hingha 21 Juli 2018. Uang itu diberikan saat Wahid menjabat sebagai Kepala Lapas Sukamiskin.
"Pemberian tersebut diduga memiliki maksud untuk mendapatkan kemudahan izin keluar Lapas dari DHA (Deddy Handoko) dan WH (Wahid Husein) saat menjadi Kalapas Sukamiskin. Izin yang berusaha didapatkan adalah izin berobat ke luar lapas maupun izin luar biasa," terang Basaria.
Tak hanya menerima uang dari Tubagus, Wahid Husein juga diduga telah meminta satu unit mobil Jeep warga binaan. Bahkan, mobil tersebut telah diurus proses balik nama menjadi milik Wahid.
"WH (Wahid Husein) tidak melaporkan penerimaan gratifikasi berupa dua unit mobil dalam jangka waktu 30 hari kerja kepada KPK sebagaimana ketentuan Pasal 12 C UU Tindak Pidana Korupsi," tutur Basaria.
Basaria menyebut, Wahid juga menerima satu unit mobil dari Direktur Utama PT Glori Karsa Abadi (GKA) Rahadian Azhar. PT GKA merupakan mitra koperasi dan mitra kerja sama pembinaan warga binaan Lapas Sukamiskin.
Permintaan mobil itu terjadi pada Maret 2018. Wawan meminta Rahadian untuk mencarikan mobil pengganti yang lebih besar. Selain itu, Wawan juga meminta Rahadian untuk membeli mobil Toyota Innova Hitam miliknya seharga Rp200 juta.
"Atas permintaan tersebut, RAZ (Rahadian Azhar) menyanggupi untuk membeli mobil Mitsubishi Pajero Sport Hitam senilai sekitar Rp500 juta. Dia juga menyanggupi membeli Toyota Innova milik WH (Wahid Husein)," ucapnya.
Penyerahan mobil Mitsubishi Pajero Sport warna hitam terjadi pada 28 Juni 2018 dari Rahadian ke Wahid Husein.
Terkait dengan Fuad Amin yang telah meninggal dunia saat penyidikan berjalan, kata Basaria, keeenangan penuntutan akan dihapus. Hal itu mengacu pada Pasal 77 KUHP.
"Meskipun Pasal 77 KUHP tersebut mengatur di tahapan penuntutan, namun karena tahapan lebih lanjut dari penyidikan adalah penuntutan, sedangkan kewenangan penuntutan hapus karena terdakwa meninggal. Maka secara logis proses penyidikan untuk tersangka FA (Fuad Amin) tidak dapat diteruskan hingga tahapan lebih lanjut," terang Basaria.
Selain ketentuan itu, KPK juga mengacu Pasal 33 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi tidak dapat diterapkan karena kasus ini adalah perkara suap. Sehingga menurutnya, Fuad Amin tak membuktikan ada atau tidaknya unsur kerugian keuangan negara.
"Sehingga dalam penyidikan ini, KPK akan fokus menangani perkara yang melibatkan empat tersangka lainnya," tutup Basaria.
KPK menyangkakan Wahid dan Deddy melanggar Pasal 12 huruf a atau Pasal 12 huruf b atau Pasal 11 dan Pasal 12 B Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 64 ayat (1) KUHP.
Sedangkan tersangka Tubagus dan Fuad Amin disangkakan melanggar Pasal 5 ayat 1 huruf a atau 5 ayat 1 huruf b atau Pasal 13 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Juncto Pasal 64 ayat (1) KUHP.
Sementara Rahadian Azhar, disangkakan melanggar disangkakan melanggar Pasal 5 ayat 1 huruf a atau 5 ayat 1 huruf b atau Pasal 13 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.