close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Ilustrasi suap-menyuap di ruang pengadilan. Alinea.id/MT Fadillah
icon caption
Ilustrasi suap-menyuap di ruang pengadilan. Alinea.id/MT Fadillah
Nasional
Selasa, 04 Oktober 2022 13:00

Realita korup ruang sidang: "Semakin tinggi pengadilannya, semakin tinggi biayanya..."

Hampir semua aspek dan tahapan persidangan potensial jadi lahan basah untuk suap-menyuap.
swipe

Santoso—bukan nama sebenarnya—mengaku tak kaget saat mendengar kabar mengenai penangkapan hakim Mahkamah Agung (MA) Sudrajad Dimyati. Sebagai mantan asisten advokat yang punya pengalaman panjang keluar-masuk ruang sidang, Santoso paham betapa korupnya sistem peradilan di Indonesia. 

“Kasus Yosep (Parera) itu kan perdata niaga, perdata bisnis. Itu lihat saja angkanya yang mau dikasih sudah Rp1 miliar (lebih). (Gugatan) pailitan pasti valuasinya gede banget,” kata Santoso saat berbincang dengan Alinea.id, Jumat (30/9).

Yosep Parera merupakan pengacara yang dibekuk Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam operasi senyap, Rabu (21/9). Bersama sembilan orang lainnya, Yosep ditetapkan sebagai tersangka kasus dugaan suap pengurusan perkara di MA.

KPK menetapkan Yosep, Eko Suparno selaku pengacara, dan debitur Koperasi Simpan Pinjam Intidana, Ivan Dwi Kusuma Sujanto serta Heryanto Tanaka, sebagai tersangka pemberi suap. Dalam kasus tersebut, duit sogokan yang telah diserahkan kepada Sudrajad sekitar SGD202 ribu atau setara Rp2,2 miliar. 

Menurut Santoso, jumlah duit sogokan sebesar itu masih belum final. Ia menerka bakal ada tambahan duit suap jika perkara yang dikawal Yosep dan kawan-kawan berakhir "manis" di ruang sidang. Santoso menyebut bonus itu sebagai success fee. 

"Belum lagi nyogok kurator (dari pengadilan). Kalau pailit itu kan kurator yang mengatur. Kita setor juga ke kurator berapa. Setor pertama sama success fee-nya kurator dapat berapa persen dari penjualan lelangnya," jelas Santoso.

Santoso menjelaskan hampir semua aspek dan tahapan persidangan bisa jadi ladang permainan. Firma hukum, kata dia, bahkan sudah punya hitung-hitungan biaya untuk menggarap setiap jenis kasus. Sebelum masuk persidangan, biaya itu biasanya didiskusikan lebih dahulu dengan para klien. 

Santoso menyebutnya "jalur main". Menurut dia, ada sejumlah opsi jalur main yang bisa dipilih klien sesuai dengan kemampuan finansial mereka. "Klien pilih yang mana, kita rekomendasikan yang mana. Kalau di start (permulaan) pilih yang ini, itu sudah ada cost-cost-nya," terang dia. 

Santoso mengaku belum pernah menjahit “jalur main”. Hal mendetail seperti itu, kata dia, lazimnya dikerjakan langsung oleh para partner atau rekanan di firma hukum. Di kantor pengacara, rekanan tak ubahnya seperti seorang direktur dalam sebuah perusahaan.

Tak hanya untuk hakim dan panitera, Santoso merinci biaya yang disiapkan firma hukum biasanya sudah termasuk sogokan untuk polisi dan jaksa. Di kejaksaan, pengaturan perkara bisa dilakukan sejak penyusunan dakwaan.  

"Dakwaan saja bisa diatur mau maksimal atau enggak dari pasalnya. Itu kita harus nyogok jaksa juga. Kalau, misalnya, kita enggak ada ini, didakwanya dikit. Ada persentase nilai-nilainya. Tergantung kasus pula," kata dia.

Masih terkait wewenang jaksa, menurut Santoso, hal lain yang dapat diatur adalah proses pembuktian dan penyusunan tuntutan. Proses pembuktian, kata dia, tidak terlalu mendesak untuk direkayasa jika sejak awal pengacara telah berkoordinasi dengan tim jaksa. 

“Lalu atur tuntutan. Tuntutannya mau dimaksimalkan atau enggak berdasarkan pembuktian-pembuktian ini. Ada berapa (uangnya)? Kalau oke, akan maksimal atau minimal tuntutannya,” kata Santoso.

Untuk mengatur hakim, Santoso menjelaskan, tim kuasa hukum pelapor biasanya "masuk" melalui kalangan panitera. Menurutnya, permainan dapat dilakukan sejak awal apabila terdakwa mengajukan eksepsi setelah pembacaan surat dakwaan. 

Dalam tahap itu, praktik lancung terletak pada keputusan hakim untuk menerima atau menolak eksepsi yang diajukan terdakwa. "Setelah itu, tahapan dalam persidangan bakal berjalan sebagaimana biasanya," kata dia. 

Pada kasus pidana, menurut Santoso, pengacara akan berusaha memegang kendali atas jaksa dan panitera. Itu mesti dilakukan untuk mencegah salah satu pihak berkongsi dengan pihak lawan di pengadilan. 

"Jaksa akan berantem sama hakim (kalau hanya pegang salah satu). Tetapi, kalau kita pegang jaksa sama paniteranya, nah, (proses sidang lancar) dah tuh nanti," ujarnya.

Setelah proses persidangan tuntas, Santoso mengatakan, pengacara masih harus menyiapkan duit untuk mengambil salinan putusan. Besarannya sekitar Rp300-Rp500 ribu. Tanpa pelicin, salinan putusan tidak akan cepat dirilis. 

Pilihan jalur mengatur perkara, lanjut Santoso, menentukan hasil akhir persidangan. Berbasis pengalamannya menangani beragam perkara, Santoso mengklaim, kasus-kasus yang digarap secara normal bakal dipersulit oleh semua pihak yang terlibat di persidangan. 

Tanpa merinci, ia mencontohkan salah satu perkara yang pernah ia garap. “Saya enggak nyogok-nyogok, makanya kalah. Waktu itu kasus agraria. Klien saya ditipu intinya,” ucap Santoso. 

Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Akil Mochtar bersaksi dalam sidang lanjutan kasus tindak pidana pencucian uang (TPPU) terkait suap pilkada dengan terdakwa Muchtar Effendi di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Kamis (23/1/2020). /Foto Antara

Di semua tingkatan

Cerita tak jauh berbeda disampaikan Parji, juga bukan nama sebenarnya. Selama empat tahun jadi pengacara, Parji mengaku kerap "dihadang" oknum-oknum yang terlibat dalam perkara-perkara yang ia garap. Mereka terang-terangan minta disogok. 

Praktik suap-menyuap, menurut Parji, bakal terlaksana sesuai kemauan dan kemampuan finansial klien. Ia membenarkan hampir di setiap tahapan persidangan duit sogokan bisa dialirkan dari klien ke berbagai pihak yang terlibat dalam perkara. 

"Kalau memang klien enggak minta, apa adanya, ya. Kita pun enggak mungkin enggak jalankan apa yang dimintakan sama klien. Tapi, semua kembali ke jati diri masing-masing advokat," kata Parji kepada Alinea.id, Sabtu (1/10).

Proses pengaturan perkara, kata Parji, sebenarnya sudah bisa dilakukan di kepolisian sebelum berkas penyidikan dinyatakan lengkap atau P21. Sebelum tahap itu, ada proses hukum yang namanya P16 dan P16A atau surat penunjukan jaksa penuntut umum (JPU).

"Nah, itu dari kepolisian kita sudah minta, ‘Pak, nanti tolong jaksanya ini saja’. Jadi, di P16 nanti dipilih JPU-nya siapa. Berkas dilengkapi, dilimpahkan kan P21. Nah, nanti sudah dipilih tuh jaksanya. Jaksanya si A, si B. Nah, jaksa si A, si B ini nanti kita koordinasikan,” jelas dia. 

Hanya saja, lanjut Parji, advokat yang berani bermain seperti itu biasanya mereka yang sudah kenal sama jaksanya. Para advokat yang baru mengenal ruang persidangan biasanya tak akan berani menjalankan taktik kotor semacam itu. 

“Siapa tahu (JPU) itu polisi yang nyamar atau KPK yang nyamar. Yang jelas enggak mungkin kalau orang itu enggak kenal, orang itu mau melakukan seperti itu,” kata dia. 

Di kejaksaan, duit sogokan utamanya disodorkan kepada para jaksa untuk menentukan berat ringannya tuntutan. Ia mencontohkan jenis ragam hukuman yang bisa ditentukan jaksa bagi seorang bandar sabu yang kedapatan mengantongi 1 kilogram sabu, yakni bui selama 20 tahun, seumur hidup, dan hukuman mati. 

Jaksa, kata Parji, akan memilih salah satu jenis hukuman sesuai dengan harga yang dibayar klien. "Enggak mungkin seorang hakim melakukan ultra petita. Jadi, case per case tergantung dari kekuatan finansial sama kembali ke pokok permasalahan daripada klien itu sendiri," kata dia. 

Menurut Parji, tidak ada harga yang dipatok. Besar-kecilnya duit sogokan yang harus disiapkan biasanya ditentukan sejalan dengan kategori kasus yang melibatkan klien, kemampuan finansial, dan status sosial klien di tengah masyarakat. 

Dia mencontohkan, dalam kasus narkoba dengan barang bukti satu gram sabu, tersangka bisa bebas dengan biaya antara Rp50-Rp200 juta. “Kalau sampai peradilan, itu pasti cost-nya lebih besar karena ada banyak pintu yang kita masuki," kata dia. 

Sama seperti yang diungkap Santoso, Parji menjelaskan, pengaturan perkara juga bisa dilakukan di ruang sidang via panitera atau langsung kepada hakim. "Tetapi, semua kembali lagi pada relasi (antara advokat dan hakim)," imbuh dia. 

Dalam kasus perdata, Parji menjelaskan, praktik-praktik lancung seperti itu juga ada. Namun, uang yang diberikan bukan untuk penjamin, melainkan supaya proses sidang berjalan lancar.

“Sepengalaman saya, ya, banyak juga kita sudah kasih ternyata kita sendiri yang kalah,” ucap Parji tanpa menyebut nominal.

Menurut Parji, pemberian uang sogokan tidak menjamin 100% perkara yang disidangkan bakal menang. Pasalnya, dalam proses peradilan ada empat tingkat. Selain pengadilan negeri (PN), masih ada banding di pengadilan tinggi (PT), kasasi di MA, sampai peninjauan kembali (PK).

“Itu kan masih proses yang panjang. Kalau kita katakan bermain di PN, tapi di PT tidak main, nanti di MA tidak main, ya, sama saja bohong,” ujar Parji. 

Biaya berperkara, kata Parji, akan kian membengkak jika suatu perkara tak tuntas di satu tingkat pengadilan. Itulah kenapa klien bakal tetap "merugi" meskipun perkaranya menang di tingkat akhir. 

“Misalnya, di satu pengadilan kita menghabiskan uang Rp500 juta. Tiga peradilan bisa-bisa Rp3 miliar. Kan semakin tinggi tingkat peradilannya, semakin tinggi kita kalau mau kasih,” kata Parji.

Ihwal salinan putusan, Parji membenarkan harus ada biaya yang dikeluarkan pengacara untuk mengaksesnya. Parji sendiri tak paham kenapa harus ada duit yang dikeluarkan untuk mengambil salinan putusan itu; 

"Seharusnya mungkin ada biaya resmi kayak fotokopi, materainya kan dilegalisir salinan putusan. Okelah kalau biaya resminya memang ada. Tapi, yang enggak resmi itu kan yang kita enggak tahu besar kecilnya,” ucapnya.

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkan Hakim Agung Sudrajad Dimyati sebagai tersangka dalam kasus suap pengaturan perkara di MA. /Foto YouTube KPK

Penguatan pengawasan

Peneliti Transparency International Indonesia (TI) Alvin Nicola mengatakan apa yang diungkap kedua sumber Alinea.id mencerminkan realita sistem peradilan di Indonesia saat ini. Alvin membenarkan hampir semua tahapan persidangan berpotensi dijadikan lahan basah untuk suap-menyuap. 

“Dari sejumlah riset yang kami lakukan, itu memang melihat potensi korupsinya itu hampir ada di semua proses,” katanya saat dihubungi Alinea.id di Jakarta, Sabtu (1/10).

Salah satu temuan TI, kata Alvin, berbasis pengalaman masyarakat yang pernah berinteraksi aparat pengadilan. Bermula dari staf pengadilan, penerima suap juga bisa berasal dari kalangan panitera, sekretaris, dan anggota majelis hakim.

Staf pengadilan, menurut Alvin, terlibat karena mereka yang pertama kali bertemu dengan pencari keadilan. Pada periode 2012-2022, TI mencatat setidaknya ada 30 aparatur pengadilan yang terjerat kasus korupsi, mulai dari staf, panitera, sekretaris, hingga hakim. 

"Ada advokat (juga) yang sebenarnya di luar konteks pengadilan, tapi juga berinteraksi. Nah, ini juga jadi salah satu pintu masuk yang kami kira, tren beberapa tahun terakhir makin banyak," jelas Alvin. 

Alvin menyebut kondisi pengadilan bisa lebih runyam lagi. Karena lemahnya pengawasan dan terpencilnya suatu daerah, praktik-praktik transaksional bisa mudah terjadi antara pihak yang terlibat dalam perkara di ruang sidang. 

Sesuai bunyi Peraturan Mahkamah Agung (Perma) Nomor 8/2016, menurut Alvin, ketua pengadilan dimandatkan untuk mengawasi celah-celah korupsi di persidangan. Namun, Perma itu tak berguna lantaran ketua pengadilannya juga korup.

“Tapi, dari catatan kita justru yang paling banyak jadi koruptor ketua pengadilan itu sendiri. Jadi, bagaimana mungkin membersihkan pengadilan? Mereka yang mengawasi, mereka yang melakukan korupsi," tutur Alvin. 

Infografik Alinea.id/MT Fadillah

Sebagai solusi mencegah praktik lancung di lembaga peradilan, Alvin mengusulkan sejumlah saran. Salah satunya ialah memperkuat sistem e-court bikinan MA. Tak hanya menampilkan catatan persidangan, e-court semestinya juga menampilkan informasi pemilihan anggota majelis hakim, rekam jejak mereka, dan informasi penting lainnya terkait proses perkara. 

Solusi lainnya, lanjut dia, ialah penguatan kewenangan lembaga-lembaga pengawas aparat penegak hukum, semisal Komisi Yudisial (KY) dan Komisi Kejaksaan. Sebagai lembaga pengawas profesi hakim, misalnya, KY hanya berwenang menangani dugaan pelanggaran terkait kode etik dan pedoman perilaku hakim (KEPPH).

"Dan, pengangkatan hakim agung. Dalam artian, mereka (KY) memilih, lalu kemudian menyampaikan nama-nama ke DPR. Jadi, konteksnya kalau bicara hakim agung itu, (kewenangan KY) hanya bersifat administratif, ujar dia. 

Juru bicara KY, Miko Ginting mengatakan operasi tangkap tangan terhadap Sudrajad semestinya dijadikan momentum untuk memperkuat KY sebagai lembaga pengawas peradilan. Penguatan KY, kata dia, sesuai dengan keinginan Presiden Joko Widodo (Jokowi).

"Dari waktu ke waktu, sebagaimana diketahui, kewenangan KY semakin dipersempit, terutama dalam tugas pengawasan maupun rekrutmen,” ucap Miko kepada Alinea.id, Jumat (30/9).

Tak lama setelah hakim Sudrajad ditangkap, Jokowi mengaku bertemu Menko Polhukam Mahfud MD. Ia menginstruksikan agar Mahfud menggelar upaya mereformasi sistem hukum untuk mencegah kasus suap-menyuap di ruang sidang terus terjadi. 

“Concern Presiden tentu beralasan. Tetapi, ini akan terbentur dengan pembagian dan pemisahan kekuasaan. Dengan memberikan dukungan penguatan kepada KY, maka KY dapat menjalankan perhatian Presiden dan masyarakat sesuai tugas dan kewenangannya yang memang diberikan untuk itu," kata Miko.

img
Akbar Ridwan
Reporter
img
Christian D Simbolon
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan