Badan Metereologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) memperkirakan suhu panas yang melanda sejumlah daerah akhir-akhir ini masih akan berlanjut. Potensi suhu panas masih terus terjadi hingga satu minggu ke depan.
“Posisi semu matahari masih akan berlanjut ke selatan dan kondisi atmosfer yang masih cukup kering, sehingga potensi awan yang bisa menghalangi terik matahari juga sangat kecil pertumbuhannya,” kata Deputi Bidang Metereologi BMKG, Mulyono R. Prabowo, dalam siaran pers Senin (21/10) siang, seperti ditulis setkab.go.id.
Sejak 19 Oktober lalu, sejumlah stasiun pengamatan BMKG mencatat suhu udara maksimum bisa mencapai 37 derajat Celsius. Bahkan, pada 20 Oktober terdapat tiga stasiun pengamatan BMKG di Sulawesi yang mencatat suhu maksimum tertinggi, yaitu Stasiun Meteorologi Hasanuddin (Makassar) 38.8 derajat Celsius, diikuti Stasiun Klimatologi Maros 38.3 derajat Celsius, dan Stasiun Meteorologi Sangia Ni Bandera 37.8 derajat Celsius.
“Suhu tersebut merupakan catatan suhu tertinggi dalam satu tahun terakhir. Pada periode Oktober di tahun 2018 tercatat suhu maksimum mencapai 37 derajat Celsius,” jelas Mulyono.
Ia menjelaskan, stasiun-stasiun meteorologi di Pulau Jawa hingga Nusa Tenggara mencatatkan suhu udara maksimum terukur berkisar antara 35 - 36.5 derajat Celsius pada periode 19 - 20 Oktober 2019.
Berdasarkan persebaran suhu panas yang dominan di selatan khatulistiwa, menurut Mulyono, hal ini erat kaitannya dengan gerak semu matahari. Mulyono menjelaskan, pada September, matahari berada di sekitar wilayah khatulistiwa dan akan terus bergerak ke belahan bumi selatan hingga Desember.
Pada Oktober ini, posisi semu matahari akan berada di sekitar wilayah Indonesia bagian selatan, seperti Sulawesi Selatan, Jawa, Bali, dan Nusa Tenggara.
“Kondisi ini menyebabkan radiasi matahari yang diterima oleh permukaan bumi di wilayah tersebut relatif menjadi lebih banyak, sehingga akan meningkatkan suhu udara pada siang hari,” terang Mulyono.
Selain itu, kata Mulyono, pantauan dalam dua hari terakhir, atmosfer di wilayah Indonesia bagian selatan relatif kering. Ini amat menghambat pertumbuhan awan yang bisa berfungsi menghalangi panas terik matahari
“Minimnya tutupan awan ini akan mendukung pemanasan permukaan yang kemudian berdampak pada meningkatnya suhu udara,” ungkap Mulyono.
Ia menyebutkan, gerak semu matahari merupakan suatu siklus yang biasa dan terjadi setiap tahun, sehingga potensi suhu udara panas seperti ini juga dapat berulang pada periode yang sama setiap tahunnya.
BMKG mengimbau masyarakat yang terdampak suhu udara panas ini untuk minum air putih yang cukup untuk menghindari dehidrasi, mengenakan pakaian yang melindungi kulit dari sinar matahari jika beraktivitas di luar ruangan.
Warga juga diminta mewaspadai aktivitas yang dapat memicu kebakaran hutan dan lahan khususnya di wilayah-wilayah yang memiliki potensi tinggi karhutla.
Selain itu, BMKG juga mengimbau masyarakat untuk mewaspadai adanya angin kencang yang berpotensi terjadi di Pulau Jawa, Bali, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, Sulawesi Selatan, dan Kalimantan Selatan.