Supaya tak ambruk di negeri rawan gempa bumi
Beberapa hari usai gempa bumi dahsyat magnitudo 7,8 di Turki dan Suriah yang menimbulkan puluhan ribu orang meninggal dunia, Kota Jayapura di Papua pada Kamis (9/2) pun diguncang gempa magnitudo 5,4. Gempa tersebut menyebabkan puluhan bangunan rusak, empat orang meninggal, dan lebih dari 2.000 orang mengungsi.
Terletak pada wilayah cincin api Pasifik, Indonesia ada di pertemuan empat lempeng tektonik dunia (Lempeng Indo-Australia, Eurasia, Laut Filipina, dan Pasifik) dan beberapa lempeng kecil, yang mengakibatkan negeri ini rawan gempa bumi.
Bahkan, Indonesia masuk di nomor pertama dalam daftar negara di dunia yang terkena gempa paling mematikan—di atas magnitudo 5—selama 25 tahun terakhir, seperti dicatat United States Geological Survey (USGS) dan Emergency Events Database (EM-DAT). Dari sisi jumlah gempa mematikan, tidak ada negara lain yang menandingi Indonesia.
Gempa dahsyat yang pernah mengguncang Indonesia selama periode tersebut, antara lain gempa dan tsunami Aceh magnitudo 9,1 pada 2004 yang menewaskan lebih dari 200.000 orang, gempa di Nias magnitudo 8,6 pada 2005 menewaskan sekitar 1.300 orang, gempa magnitudo 6,3 di Yogyakarta pada 2006 menewaskan lebih dari 5.700 orang.
Lalu, gempa magnitudo 7,6 di Padang pada 2009 menewaskan 1.117 orang, dan gempa magnitudo 7,5 di Palu menewaskan lebih dari 4.300 orang. November 2022, Cianjur pun dihantam gempa magnitudo 5,6 yang menyebabkan 600-an orang tewas.
Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) mencatat, ada 13 sumber gempa di Indonesia dari segmen megathrust.
Selain itu, Peta Sumber dan Bahaya Gempa Indonesia Tahun 2017 yang disusun Pusat Studi Gempa Nasional (PuSGeN), Pusat Litbang Perumahan dan Permukiman Badan Penelitian dan Pengembangan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR), serta beberapa lembaga riset lain menyimpulkan, ada 295 sesar aktif yang menjadi sumber gempa di Indonesia. Sesar alias patahan itu terdapat di Sumatera, Jawa, Bali, Nusa Tenggara, Sulawesi, dan Papua.
Intensitas gempa
Frekuensi gempa bumi di Indonesia setiap tahun mencapai ribuan. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, frekuensi gempa pada 2021 naik menjadi 10.519 dari sebelumnya 8.368 pada 2020. Sejak 2013, BMKG melaporkan kenaikan jumlah gempa tahunan.
“Tren peningkatan jumlah gempa tahunan bisa terjadi karena di tahun-tahun tersebut ada gempa-gempa signifikan, yang gempa susulannya banyak,” ujar Kepala Pusat Gempa Bumi dan Tsunami BMKG Daryono kepada Alinea.id, Senin (13/2).
Menurut Daryono, bisa dikatakan seluruh pulau besar di Indonesia punya sesar aktif. “Masing-masing sesar itu memiliki fase-fase perkembangan tektonik sendiri,” katanya.
Koordinator Mitigasi Gempa Bumi dan Tsunami Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Supartoyo berpesan, masyarakat mencari tahu potensi gempa dengan cara mengetahui bahaya yang bersifat goncangan, sesar, dan kejadian ikutan gempa.
Supartoyo menjelaskan, sangat mungkin ada sumber gempa baru. Ia mencontohkan gempa di Kepulauan Selayar, Sulawesi Selatan pada 2021, yang sumbernya berbeda dari dugaan sebelumnya.
“Ternyata ada sesar mendatar lainnya yang membentang di wilayah Kepulauan Selayar,” tuturnya, Senin (13/2).
“Ini kan istilahnya data terbaru karena selama ini, gempa bumi yang ada di sana bisa dikatakan tidur sudah cukup lama dan belum terdeteksi.”
Contoh lainnya, gempa di Jayapura belum lama ini. Menurut dia, bencana gempa di sana belum diketahui dengan baik mekanisme dan sesarnya.
“Dalam kasus seperti ini, fenomena tersebut biasa disebut black swan earthquake atau gempa bumi yang masih penuh misteri, tapi berdampak signifikan,” kata dia.
“Fenomena ini sangat berpotensi akan menambah sesar aktif baru.”
Ia menambahkan, di Indonesia bagian timur, diketahui ada lempeng-lempeng dalam ukuran kecil. “Dan ini tampaknya masih mungkin bertambah berdasarkan data geologi, geofisika, penelitian bawah laut, maupun geodesi,” tuturnya.
Di wilayah Indonesia timur, sebut Supartoyo, ada pula sumber pembangkit tsunami, yang tak cuma berasal dari sesar aktif. Namun, juga dari longsoran. “Jadi gempa bumi bisa memicu longsoran yang bisa mengakibatkan terjadinya tsunami. Ini tipikal kejadian tsunami yang ada di Kepulauan Maluku,” ucapnya.
BPS melaporkan, pada 2021 Provinsi Jawa Timur menjadi wilayah tertinggi yang desa atau kelurahannya terjadi bencana gempa, yakni 2.449. Diikuti Sumatera Utara (964) dan Jawa Barat (601). Sementara itu, berdasarkan data Badan Geologi Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi Kementerian ESDM, tren gempa bumi yang merusak—mengakibatkan korban jiwa, kerusakan bangunan, dan lingkungan—cenderung meningkat dari tahun ke tahun.
Tahun 2018, jumlah gempa bumi yang merusak sebanyak 14. Lalu naik jadi 16 pada 2019, turun jadi 14 pada 2020, kembali naik jadi 26 pada 2021, dan turun sedikit jadi 24 pada 2022.
Potensi kerusakan dan bangunan tahan gempa
Alasan mengapa gempa bumi yang merusak jumlahnya naik, kata Supartoyo, karena kejadian yang tak terlaporkan. “Jadi, kalau sebelumnya, informasi kerusakan ringan hanya satu atau dua rumah, mungkin tidak terlaporkan,” ujarnya.
Lalu, beberapa tahun terakhir jaringan pemantau gempa bumi di bawah BMKG dan Badan Geologi sudah semakin baik, sehingga informasi kejadian gempa lebih baik pula. Gempa yang merusak itu, menurut Supartoyo, sebagian besar bersumber dari sesar aktif darat maupun laut.
Selain itu, bangunan di lokasi gempa konstruksinya tak tahan bencana. Ia mencontohkan gempa di Garut, Jawa Barat pada awal Februari 2023 yang hanya magnitudo 4,3, tetapi mengakibatkan 500-an rumah rusak.
“Kalau bangunan-bangunan yang ada di sekitar lokasi sesar Garut selatan itu dibangun menggunakan konstruksi tahan gempa, saya kira kerusakannya bisa diminimalisir, atau bahkan tak terjadi kerusakan,” ucapnya.
Dengan potensi gempa bumi yang merusak itu, dibutuhkan bangunan yang lebih tahan terhadap guncangan.
Menurut laporan Peta Deagregasi Bahaya Gempa Indonesia untuk Perencanaan dan Evaluasi Infrastruktur Tahan Gempa (2022) yang disusun PuSGeN, Ditjen Bina Teknik Permukiman dan Perumahan Dirjen Cipta Karya Kementerian PUPR bersama lembaga lain, perencanaan infrastruktur tahan gempa perlu mengacu pada standar yang berlaku, yakni Standar Nasional Indonesia (SNI) 1726: 2019 tentang Tata Cara Perencanaan Ketahanan Gempa untuk Struktur Bangunan Gedung dan Non-Gedung, serta SNI 2833: 2016 tentang Perencanaan Jembatan terhadap Gempa.
Prosedur terkait preskriptif (petunjuk) dengan peta risiko gempa sesuai SNI 1726: 2019, menurut laporan penelitian itu, masih punya keterbatasan lingkup penerapan. Maka, untuk beberapa kasus, perlu analisis evaluasi dan rehabilitasi seismik bangunan eksisting (rumah sakit, sekolah, kantor, gedung, dan hunian bertingkat), perencanaan bangunan gedung dengan sistem struktur non-preskriptif, struktur jembatan dan gedung yang sangat tak beraturan, struktur jembatan dan gedung yang terisolasi, serta struktur jembatan dan gedung dengan peredam tambahan.
Di dalam modul Perencanaan dan Pelaksanaan Rumah Tinggal Tahan Gempa (2011) yang disusun Pusat Penelitian dan Pengembangan Permukiman Balitbang Kementerian PUPR, salah satu syarat untuk membangun rumah tahan gempa harus di atas tanah padat dan kekerasannya merata. Kedalaman fondasi dibuat lebih dalam dari 45 sentimeter, menerus sekeliling bangunan.
Kementerian PUPR sudah memperkenalkan rumah tahan gempa—rumah instan sederhana sehat (Risha)—pada akhir 2004. Dilansir dari situs web Badan Penelitian dan Pengembangan Kementerian PUPR, teknologi Risha adalah perwujudan rumah dengan desain modular, yakni konsep yang membagi sistem menjadi bagian-bagian kecil (modul), dengan ukuran yang efisien dan bisa dirakit jadi beberapa besar produk yang berbeda-beda.
Struktur utamanya menggunakan beton bertulang. Hasil pengujian menunjukkan, Risha punya keandalan terhadap gempa. Indikator pengujian meliputi uji tekan, geser, lentur, dan bangunan penuh pada Risha dua lantai.
Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mengakui, konsep Risha sebagai salah satu model rumah yang diimplementasikan sebelum atau sesudah bencana. BNPB pun mengadakan penelitian rumah tahan gempa, yang dilakukan universitas, individu, atau lembaga.
“Contohnya (korban gempa) Cianjur, yang dikasih insentif oleh Presiden, rusak berat Rp60 juta. Dengan Rp60 juta itu, kita punya skema desain rumah yang selesai dengan biaya tersebut, tapi tahan gempa, dengan ukuran minimal 6 kali 6,” kata Plt. Kepala Pusat Data, Informasi, dan Komunikasi Kebencanaan BNPB Abdul Muhari, Senin (13/2).
Jika dibangun setelah gempa, Abdul mengatakan, BNPB punya tiga desain yang diusulkan ke PUPR, yakni rubako, domus, dan rumah kita. Namun, untuk rumah tahan gempa, diusulkan penguatan struktur bangunan. Abdul menuturkan, ada metode menguatkan bangunan dengan biaya murah, berbahan utama kawat yang biasa dipakai membikin kandang ayam dan semen.
“Kita sedang coba membangun komunikasi, sudah sambil berjalan dengan Kementerian Desa (Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi/PDTT), bagaimana setiap desa bisa mengalokasikan minimal 10 rumah,” ujarnya.
“Biayanya maksimal cuma Rp3 juta-Rp5 juta.”
Bantuan itu, sebut Abdul, khusus untuk penduduk miskin. Saat ini, katanya, sudah ada Peraturan Menteri Desa PDTT Nomor 8 Tahun 2022, di mana dana desa bisa digunakan untuk mitigasi dan penangnaan bencana alam.
Beleid tersebut, menurut Abdul, sangat membantu untuk diterapkannya gagasan membangun rumah bagi penduduk miskin di daerah rawan gempa. Jika gagasan sebagian kecil dana desa dipakai untuk menguatkan 10 rumah penduduk miskin per tahun terealisasi, maka harapannya dapat memantik penduduk yang mampu menguatkan fondasi rumahnya secara mandiri.
“Misalkan rusunawa yang dibangun pemerintah, itu wajib pemerintah melakukan penguatan,” kata dia.
“Tapi, kalau rumah pribadi itu harus kita yang pribadi yang memperkuat rumah kita.”