close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Ilutrasi wartawan liputan/ Foto Pixabay
icon caption
Ilutrasi wartawan liputan/ Foto Pixabay
Nasional
Kamis, 27 Februari 2020 20:29

Surat Edaran MA bisa pidanakan jurnalis

AJI pertanyakan substansi Surat Edaran Mahkamah Agung.
swipe

Ketua Aliansi Jurnalis Independen Jakarta (AJI), Asnil Bambani, merespons Surat Edaran Direktur Jenderal Badan Peradilan Umum Mahkamah Agung (MA) Republik Indonesia Nomor 2 tahun 2020 Tentang Tata Tertib Menghadiri Persidangan yang ditandatangani pada 7 Februari 2020.

Menurutnya, secara substansi patut dipertanyakan karena bisa memidanakan jurnalis. Sebab, dalam surat edaran tersebut pada Bagian II tentang Tata Tertib Persidangan angka 9, menyebut pelanggaran tata tertib yang diperintahkan hakim ketua majelis bersifat suatu tindakan pidana.

"Sementara di KUHAP itu mengatur bahwasanya sidang terbuka untuk umum, kecuali dua hal, pertama kesusilaan, kedua soal anak-anak," kata Asnil di Jakarta, Kamis (27/2).

Meski begitu, kata dia, AJI Jakarta memahami dalam persidangan perlu diatur, tetapi bukan dilarang. Hal itu dikemukakan lantaran dalam surat edaran disebutkan bahwa memfoto dan merekam persidangan boleh dilakukan setelah izin kepada ketua pengadilan negeri setempat.

"Tetapi tidak melarang. Kan beda kalau diatur artinya kalau teman-teman mau foto silakan ambil dulu supaya tidak mengganggu, wawancara, atau minta kejelasan saksi," ucap dia.

Berikutnya, MA dinilai harus menghargai kebhinnekaan di Indonesia, pasalnya dalam surat edaran Bagian I tentang Tata Tertib Umum pada angka 12, menyatakan semua yang ada di ruang persidangan harus berpakain sopan dan mengenakan sepatu.

Menurutnya, aturan itu tidak mengindahkan kebudayaan daerah lain. Ia menyontohkan orang Papua yang semisal sedang di sidang, tapi ingin mengenakan pakaian tradisionalnya, seperti koteka.

"Pakai koteka, datang ke situ, ya mesti dihargai, kita hidup di negara bhinneka, keberagaman, itu harus diakui. Artinya MA sendiri enggak sadar itu, keberagaman itu. Artinya jangan sampai kemudian hal-hal yang administrasi itu menutupi substansi," jelas Asnil.

Ia menyarankan sebaiknya pidana tidak boleh ada di surat edaran itu karena surat yang ditandatangani pada 7 Februari 2020 itu bukan di bawah undang-undang.

"Ancaman pidana tadi, sebenarnya surat edaran Mahkamah Agung ini kan bukan di bawah undang-undang. Artinya jangan sampai pidana itu diatur oleh di situ, cukuplah di KUHAP kan sudah mengatur," kata dia.

Sementara Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) menilai larangan memfoto, merekam, dan meliput persidangan tanpa izin ketua pengadilan akan memperparah mafia peradilan yang selama ini banyak ditemukan.

"Larangan memfoto, merekam, dan meliput persidangan tanpa izin ketua pengadilan negeri akan memperparah mafia peradilan yang selama ini dalam banyak laporan sangat banyak ditemukan," kata Ketua Bidang Advokasi YLBHI Muhammad Isnur.

Sebelumnya, Kepala Biro Hukum dan Humas MA, Abdullah, mengatakan aturan soal larangan pengambil foto dan rekaman saat sidang berlaku untuk seluruh pengunjung persidangan, termasuk wartawan.

"Semuanya, itu (berlaku) semuanya. Semuanya ditertibkan supaya patuh pada rambu-rambu yang sama, siapapun tidak boleh mengganggu," kata Abdullah.

Menurut dia, larangan tersebut dikeluarkan karena memfoto atau merekam dianggap dapat mengganggu konsentrasi hakim yang sedang bertugas. Berdasarkan itu, dia meminta jurnalis yang ingin meliput persidangan untuk meminta izin terlebih dahulu kepada ketua pengadilan negeri selaku kuasa tertinggi.

img
Akbar Ridwan
Reporter
img
Fathor Rasi
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan