close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Mantan terpidana kasus korupsi Bantuan Langsung Bank Indonesia (BLBI) Syafruddin Arsyad Temenggung (SAT). /Antara Foto
icon caption
Mantan terpidana kasus korupsi Bantuan Langsung Bank Indonesia (BLBI) Syafruddin Arsyad Temenggung (SAT). /Antara Foto
Nasional
Senin, 30 September 2019 06:04

Syafruddin Temenggung masih bisa kembali ke balik jeruji

MA telah menyatakan hakim Syamsul Rakan Chaniago melanggar etik karena bertemu dengan pengacara Syafruddin.
swipe

Pakar hukum pidana dari Universitas Trisakri Abdul Fickar Hadjar mengatakan, pelanggaran kode etik hakim Syamsul Rakan Chaniago bisa menjadi 'bahan bakar' baru bagi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk mengembalikan mantan terpidana kasus korupsi Bantuan Langsung Bank Indonesia (BLBI) Syafruddin Arsyad Temenggung (SAT) ke balik jeruji. 

"Bukti putusan etika MA (Mahkamah Agung) ini bisa menjadi novum atau bukti baru untuk mengajukan PK (peninjauan kembali) perkaranya Syafruddin (Arsyad) Temenggung (ke MA)," kata Fickar saat dihubungi Alinea.id di Jakarta, Minggu (29/9).

MA sebelumnya telah menyatakan hakim ad hoc tindak pidana korupsi Syamsul Rakan Chaniago terbukti melanggar kode etik dan perilaku hakim. Syamsul dihukum tidak boleh menangani perkara selama 6 bulan.

Syamsul ialah salah satu anggota majelis hakim kasasi yang menangani kasus dugaan korupsi perkara korupsi penghapusan piutang BLBI terhadap Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI) dengan terdakwa mantan Kepala Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) Syafruddin Arsyad Temenggung.

Pada 9 Juli 2019 lalu, majelis kasasi yang terdiri atas hakim Salman Luthan selaku ketua, serta Syamsul Rakan Chaniago dan Mohamad Asikin selaku anggota, memutuskan SAT tidak melakukan tindak pidana sehingga harus dilepaskan dari tahanan.

Pada 28 Juni, Syamsul bertemu dengan pengacara SAT, Ahmad Yani di Plaza Indonesia pukul 17.38-18.30 WIB. Padahal, saat itu Syamsul berstatus sebagai hakim anggota pada majelis hakim SAT. Selain itu, nama Syamsul juga masih tercantum di kantor firma hukum. 

Fickar mengatakan, apa pun alasannya, Syamsul tidak sepatutnya bertemu dengan kuasa hukum SAT, Ahmad Yani. Menurut dia, pertemuan itu menunjukkan bahwa standar moral Syamsul sebagai hakim MA sangat rendah. 

"Bahkan tidak paham (apa itu) conflict of interest. Bahkan, mencari pembenaran pertemuan dengan pengacara terpidana PK (peninjuan kembali) sebagai pertemuan dengan kawan lama dan junior. Sikap ini terkesan norak dan sudah hilang rasa malunya," kata Fickar.

Pelanggaran etik tak cukup

Dosen hukum pidana Universitas Brawijaya Fachrizal Afandi sepakat PK bisa menjadi salah satu cara untuk menjerat kembali Syafruddin ke dalam pusaran kasus BLBI. Namun, menurut dia, putusan etik tidak bisa dijadikan syarat PK. 

Karena itu, ia menyarankan agar KPK tidak hanya berpegangan pada bukti pelanggaran etik sebelum mengajukan PK. "Perkara BLBI kan banyak aspek. Itu tugas KPK menyidik dan mencari buktinya," ujar dia. 

Hal senada diutarakan pakar hukum pidana Universitas Indonesia Indriyanto Seno Adji. Menurut dia, novum untuk melayangkan PK harus memenuhi unsur delik perbuatan melanggar undang-undang (UU) atau actus reus. 

"Putusan etik itu tidak ada kaitannya dengan unsur proses hukum atas putusan kasasi yang telah melepaskan Syafruddin Temenggung. Putusan (etik) itu sama sekali tidak terkait dengan unsur delik dari actus reus," ucap dia.

Sebelumnya, juru bicara KPK Febri Diyansah mengatakan pihaknya tengah menyusun strategi baru dalam perkara korupsi yang melibatkan SAT. "Kami pastikan KPK serius dan berkomitmen mengusut kasus dengan kerugian negara Rp4,58 triliun ini," kata dia. 

img
Achmad Al Fiqri
Reporter
img
Marselinus Gual
Reporter
img
Christian D Simbolon
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan