Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) menilai keputusan pemerintah dan DPR RI untuk menunda pembahasan RUU Cipta Kerja klaster ketenagakerjaan, tak menghilangkan ancaman dalam rancangan regulasi tersebut. Sekretaris Jenderal KPA Dewi Kartika mengatakan, permasalahan RUU Omnibus Law tersebut bukanlah klaster per klaster.
“Dengan menunda pembahasan RUU Cipta Kerja hanya untuk klaster ketenagakerjaan dan tetap melanjutkan pembahasan RUU Cipta Kerja klaster lainnya, maka pembahasan RUU ini tetap menjadi ancaman besar bagi petani, buruh tani, buruh kebun, masyarakat adat, nelayan, dan masyarakat miskin di desa maupun kota,” ucap Dewi dalam keterangan tertulis yang diterima Alinea.id di Jakarta, Senin (26/4).
Menurut Dewi, RUU Cipta Kerja tidak selaras dengan janji pemerintahan Joko Widodo yang akan melaksanakan reforma agraria, memenuhi hak petani atau tanahnya, dan menyelesaikan konflik agraria struktural. Sebab, RUU Cipta Kerja malah menempatkan tanah dan hutan sebagai komoditas belaka.
RUU Cipta Kerja dinilai mengubrak-abrik hal-hal prinsipil yang bersifat melindungi keselamatan masyarakat, karena memuluskan proses perampasan tanah. Sementara proses pengadaan tanah untuk kawasan nonpertanian dipangkas dengan mengubah UU 41/2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan.
“Ia bermaksud mempersingkat proses perolehan ijin untuk mengkonversi tanah pertanian ke fungsi-fungsi non pertanian yang diajukan investor. Bapak Presiden, alhasil jika RUU ini disahkan, akan dengan mudah menghilangkan tanah-tanah pertanian keluarga,” ujar Dewi.
Di sisi lain, RUU Cipta Kerja berbahaya karena secara sembunyi-sembunyi ingin mengubah Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA). Bahkan, perusahaan raksasa di sektor perkebunan bisa mengantongi hak atas tanah berupa hak guna usaha (HGU) langsung 90 tahun, semenjak permohonan awal.
“Rancangan HGU 90 tahun ini adalah kemunduran besar bangsa kita, karena UUPA telah mengatur dan membatasi badan usaha melalui HGU paling lama 25 tahun, dan hanya boleh diperpanjang jika memenuhi syarat UUPA,” ucap Dewi.
Menurutnya, kebijakan tersebut jauh lebih berbahaya daripada UU Agraria era kolonial yang hanya memberi HGU 75 tahun kepada perkebunan Belanda. Pemerintah juga dinilai terbukti mengabaikan keputusan MK terhadap UU Penanaman Modal, yang telah membatalkan HGU 90 tahun.
Selain itu, RUU Cipta Kerja ini berbahaya karena memperkuat UU Nomor 2 Tahun 2012 terkait pengadaan tanah dengan cara memperluas definisi kepentingan umum dalam pengadaan tanah. Ini bukan hanya untuk pembangunan infrastruktur, tetapi juga untuk memperluas cakupan kepentingan investor tambang, pariwisata, hingga kawasan ekonomi khusus (KEK).
"Tak dapat dipungkiri, RUU Cipta Kerja bersifat rakus tanah dengan semakin mempermudah terjadinya penggusuran dan pembebasan lahan secara sepihak atas nama pembangunan,” ujar Dewi.
Dia juga menegaskan, pandemi Covid-19 telah menyebabkan krisis multi dimensi. Sehingga, RUU Cipta Kerja ini berpotensi menempatkan keselamatan petani, buruh tani, masyarakat adat, hingga rakyat kecil pada ujung tanduk krisis berlapis.
“Kami meminta Bapak Presiden menghentikan segera pembahasan RUU Cipta Kerja, karena dapat menimbulkan situasi kontraproduktif dan keresahan di kalangan petani; menarik Surpres (surat presiden) karena ini bukan semata masalah menunda klaster ketenagakerjaan,” ucapnya.
Pemerintah dan DPR sepakat menunda pembahasan klaster ketenagakerjaan dalam RUU Cipta Kerja pada Jumat (24/4). Penundaan dilakukan setelah terjadi penolakan besar dari masyarakat.
Sejumlah pihak menilai RUU Cipta Kerja terlalu berpihak pada investor dan justru meminggirkan kepentingan masyarakat. Pasal-pasal di dalam RUU Cipta Kerja yang terdiri atas 79 undang-undang dan 11 klaster dianggap bermasalah.