Ketua Panitia Khusus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (Pansus BLBI) DPD RI, Bustami Zainudin, meminta pemerintah memberikan sanksi kepada obligor atau debitur BLBI. Pangkalnya, tidak kooperatif membayar kewajibannya.
Menurutnya, sanksi diperlukan agar menimbulkan efek jera bagi pengemplang uang negara. Bentuk hukuman yang bisa dilakukan berupa penyitaan aset, pemblokiran rekening, hingga melarang anak dan keturunannya berusaha di Indonesia.
"Kami kira, keturunan atau anak cucu para pengemplang BLBI ini harus di-blacklist dan mereka tidak boleh lagi berusaha atau berbisnis di Indonesia. Kita sepakat bahwa sanksi berat agar efek jera bagi pengemplang BLBI," ucapnya dalam keterangannya, Rabu (12/7).
Selain menjatuhkan sanksi, sambung Bustami, pemerintah pun perlu meningkatkan kewenangan yang diberikan kepada Tim Satuan Tugas (Satgas) BLBI. Sebab, masa kerjanya akan berakhir pada Desember 2023.
Ia berpendapat, hal tersebut diperlukan agar Satgas BLBI dapat melakukan langkah-langkah yang diperlukan sesuai perundang-undangan. Dengan demikian, dapat menuntaskan pengembalian utang perbankan atau utang BLBI.
"Untuk melakukan penagihan terhadap pihak perbankan atas penunggakan kewajibannya, diperlukan peningkatan kewenangan yang diberikan kepada Satgas BLBI ini," katanya.
Apalagi, bagi Bustami, penanganan hak tagih negara atas dana BLBI oleh satgas belum optimal. Padahal, piutang negara oleh obligor BLBI mencapai Rp30,47 triliun per 31 Desember 2022 serta piutang negara oleh debitur Rp38,90 triliun dan 4,54 miliar dolar AS.
Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) sekaligus Ketua Satgas BLBI, Mahfud MD, sebelumnya mengingatkan, Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2022 tentang Pengurusan Piutang Negara oleh Panitia Urusan Piutang Negara segera diterapkan secara bertahap. Artinya, debitur atau obligor yang mangkir dari kewajibannya dan tak kooperatif terancam dijatuhi sanksi, mulai dari pencabutan paspor, penutupan akses ke perbankan, pembekuan rekening bank, hingga pembatasan bisnis.
"Itu sudah ada PP-nya, PP Nomor 28 Tahun 2022. Itu nanti akan dikenakan secara bertahap sampai sekurang-kurangnya menjadi jelas siapa yang punya utang berapa dan kapan harus membayar dengan apa," tuturnya, Selasa (11/7).