Direktur Eksekutif Kemitraan, Laode M. Syarif, menilai, rencana penambahan kewenangan untuk kepolisian dalam Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja (RUU Cipker) berbahaya.
"Saya pikir Kepolisian menjalankan fungsinya saja sekarang ini dalam menjaga ketertiban, keamanan, dan menegakkan hukum. Itu saja sudah pontang-panting, apalagi ditambah dengan kewenangan-kewenangan yang sangat bersifat karet. Itu berbahaya," ujarnya dalam webinar, Minggu (12/7).
Dalam draf Pasal 82 beleid sapu jagat (omnibus law) itu, Polri diberi kewenangan mencegah dan menanggulangi tumbuhnya penyakit masyarakat. Juga mengawasi "aliran" yang dapat menimbulkan perpecahan atau mengancam persatuan dan kesatuan bangsa serta melakukan pemeriksaan khusus sebagai tindakan dalam rangka pencegahan.
"Apa definisi penyakit masyarakat? Ini pasal karet yang betul-betul sangat berbahaya. Apa itu penyakit masyarakat? Kalau misalnya seseorang protes, bisa dianggap penyakit masyarakat? Kalau misalnya seseorang mengekspresikan kebebasannya sebagi individu tetapi orang sekitarnya tidak senang dan dilaporkan, (apa) ini bisa dianggap penyakit masyarakat?" tuturnya.
Mantan Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) itu juga mempertanyakan definisi "aliran" dalam draf RUU Cipker. Pangkalnya, studi hukum, ekonomi, hingga sosial politik di perguruan tunggu membahas paham sosialis, liberal dan kapitalis.
"Ini menimbulkan perpecahan. Saya pikir, ini memberikan tambahan kepada kepolisian untuk mengartikan pasal-pasal karet yang sangat berbahaya," jelasnya.
Dia pun mengkritik Pasal 15 ayat (2) huruf f draf RUU Cipker–yang memberikan wewenang Polri terkait izin usaha di bidang jasa pengamanan. Misalnya, izin berusaha untuk badan usaha pelatihan satpam. Sebelumnya, kepolisian hanya mengawasi bidang tersebut.
"Itu terlalu jauh dari tugas dan fungsi kepolisian. Katanya mau memperingkas izin usaha, sekarang Kepolisian malah memberikan izin usahanya," kritik Laode.
Penambahan kewenangan Polri terkait izin berusaha ini, menurutnya, meningkatkan kerentanan korupsi. Bahkan, berbahaya dan berpotensi bertentangan dengan konstitusi. "Omnibus law ini memang layak ditolak," tegasnya.
Menurut Laode, kehadiran RUU Cipker terkesan dipaksakan lantaran proses pembahasannya tidak transparan. Dari segi ketatanegaraan, bakal memusatkan kekuasaan kepada presiden, sehingga segala regulasi yang akan dikeluarkan dalam bentuk peraturan presiden (PP) dan fungsi legislasi DPR nyaris hilang.