Tangan-tangan lalai di balik abadinya banjir Jakarta
Tak seperti warga korban penggusuran pada umumnya, Anwar justru semringah saat mengisahkan rumah lamanya yang digusur pemerintah, belum lama ini. Alih-alih merugi, pria berusia 40 tahun itu mengaku 'menang banyak'.
"Bagi kami, ini bukan ganti rugi, tapi ganti untung. Kami merasa ini anugerah," ujar Anwar saat berbincang dengan Alinea.id di rumah barunya di RW 03 Kampung Pasir Purut, Desa Gadog, Kecamatan Megamendung, Kabupaten Bogor, Rabu (8/1) sore.
Rumah Anwar berukuran 8x12 meter persegi. Di sebelah kanan rumah bergaya minimalis itu, sebuah mobil terparkir. Jika dilihat dari jauh, deretan rumah Anwar dan tetangganya tak ubahnya seperti komplek perumahan modern di perbukitan.
Sebelum menghuni rumah itu, Anwar tinggal di tebing di dekat hulu Sungai Ciliwung. Lokasinya tak jauh dari rumah baru Anwar. Beberapa tahun lalu, rumah tersebut digusur karena masuk area pembangunan Bendungan Ciawi dan Sukamahi.
Anwar mengaku mendapat Rp600 juta dari pemerintah sebagai uang ganti rugi pembebasan lahan. Sebanyak Rp250 juta telah ia gunakan untuk membeli lahan dan membangun rumah barunya.
"Sisanya masih ada. Saya gunakan untuk modal usaha dan disimpan untuk kebutuhan pendidikan anak nanti," kata pria yang berprofesi sebagai pedagang itu.
Setidaknya ada enam desa di Megamendung dan Cisarua yang terkena imbas proyek Bendungan Ciawi dan Sukamahi. Khusus untuk Desa Gadog, menurut Ketua RT 01/RW 07 Kampung Pasir Purut, Ato, kini tinggal 15 kepala keluarga (KK) yang belum mendapat ganti rugi.
Bukan karena tak mau pindah, Ato menuturkan, ganti rugi untuk mereka hanya terkendala persoalan administrasi, yakni pemeriksaan berkas. "Itu harus antre. Enggak bisa serempak. Jika berkas lengkap, baru dana dicairkan," jelas Ato kepada Alinea.id.
Proyek Bendungan Ciawi-Sukamahi digagas Presiden Joko Widodo (Jokowi) dalam rapat bersama kepala daerah se-Jawa Barat di Bendung Katulampa, Bogor, 20 Januari 2014. Namun, kontrak pembangunan kedua bendungan baru ditandatangani pada akhir 2016.
Untuk pembebasan lahan di kedua bendungan, Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) telah menggelontorkan dana hingga Rp1,5 triliun. Saat ini, hanya kurang dari 10% lahan bendungan yang masih dikuasai warga setempat.
Pekerjaan Bendungan Cipayung-Ciawi dan Sukamahi-Ciawi kembali disorot setelah banjir besar melanda Jakarta, awal tahun 2020. Menurut catatan Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) DKI Jakarta, sebanyak 31.232 orang terpaksa mengungsi dan 21 orang meninggal karena air bah.
Saat mengunjungi Kampung Pulo, Jakarta Timur, dua pekan lalu, Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan menyinggung peran pemerintah pusat dalam menangani banjir. Menurut dia, ibu kota tidak akan mengalami banjir separah itu jika air dari kawasan hulu bisa dikendalikan.
"Pengendalian air di kawasan hulu dengan membangun dam, waduk, embung, sehingga ada kolam-kolam retensi untuk mengontrol dan mengendalikan volume air yang bergerak ke arah hilir," kata Anies.
Bendungan Ciawi dan Sukamahi didesain untuk mengalirkan 30% aliran air dari hulu. Kedua bendungan itu diperkirakan mampu menampung hingga 8 juta meter kubik limpahan air sungai-sungai yang mengalir dari Gunung Gede dan Gunung Pangrango, Bogor.
Dimulai sejak 2016, Kepala Balai Besar Wilayah Sungai Ciliwung-Cisadane (BBWSCC) Bambang Hidayah mengatakan, pembangunan fisik kedua bendungan belum mencapai 50%. Diakui dia, pada mulanya pembangunan terkendala oleh pembebasan lahan.
"Awalnya terkendala soal lahan, sekarang faktor alam. Mudah-mudahan tidak banyak turun hujan," ujar Bambang saat dihubungi Alinea.id, Rabu (8/1) sore.
Namun demikian, menurut Bambang, kini sudah lebih dari 90% lahan bendungan dibebaskan. Ia optimistis progres pembangunan bisa dikebut hingga bisa tuntas pada akhir 2020. "Progres konstruksi bendungan Cipayung-Ciawi lebih cepat dari rencana sebesar 38,9%," kata dia.
Selain mengendalikan air di hulu, pemerintah pusat dan BBWSCC juga menggarap sejumlah proyek penangkal banjir di hilir. Salah satunya ialah proyek normalisasi Sungai Ciliwung sejak 2012. Namun, proyek tersebut terhenti pada 2017.
Menurut Bambang, proyek itu mangkrak karena lahan warga di bantaran sungai belum dibebaskan oleh Pemprov DKI. "Kendalanya memang terkait pembebasan lahan. Ini proses cukup lama, tapi kami segera membahas dengan Pak Anies," ujar Bambang.
Saling lempar bola
Normalisasi sungai tertera dalam Peraturan Daerah (Perda) Nomor 6 Tahun 1999 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta. Perda itu mengamanatkan pengembangan prasarana pengendalian banjir dan drainase. Salah satunya dilakukan dengan normalisasi aliran 13 sungai.
Aturan kegiatan normalisasi kemudian kembali ditegaskan di dalam Perda Nomor 1 Tahun 2012 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah 2030 dan Perda Nomor 1 Tahun 2014 tentang Rencana Detail Tata Ruang dan Peraturan Zonasi.
Menteri PUPR Basuki Hadimuljono menyebut mandeknya proyek normalisasi sebagai salah satu penyebab parahnya banjir di Jakarta, pada awal 2020. Menurut Basuki, dari 33 kilometer, baru 16 kilometer yang berhasil dinormalisasi.
Namun, Anies membantahnya. Menurut dia, banjir tetap terjadi di wilayah yang sudah dinormalisasi, semisal di Kampung Pulo, Kelurahan Kampung Melayu, Jatinegara, Jakarta Timur. "Sudah normalisasi, tapi tetap banjir," kata dia.
Sejak masa kampanye Pilgub DKI 2017, Anies memang ogah melanjutkan program normalisasi dan menggusur warga. Untuk mengatasi banjir, mantan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) ini mewacanakan program naturalisasi sungai.
Program tersebut sudah ditetapkan dalam Peraturan Gubernur DKI Nomor 31 Tahun 2019 tentang Pembangunan dan Revitalisasi Prasarana Sumber Daya Air secara Terpadu dengan Konsep Naturalisasi.
Naturalisasi adalah cara mengelola prasarana sumber daya air melalui konsep pengembangan ruang terbuka hijau dengan memperhatikan kapasitas tampungan, fungsi pengendalian banjir, dan konservasi. Namun, hingga kini program naturalisasi belum juga terealisasi.
Alinea.id menyusuri beberapa titik pemukiman warga yang berdekatan dengan bantaran Sungai Ciliwung, Kamis (10/1) lalu. Lokasi yang didatangi ialah wilayah yang belum dinormalisasi oleh pemerintah pusat dan Pemprov DKI. Salah satunya di sekitar Jembatan Kalibata, Jakarta Selatan.
Saat banjir melanda pada 1 Januari 2020, rumah-rumah warga di sekitar wilayah ini terendam air hingga 1 meter. Salah satunya adalah rumah kontrakan yang dihuni Wiwi yang lokasinya tak jauh dari jembatan.
"Biasanya hanya 25 centimeter. Kali ini lebih dari satu meter. Air naik pelan-pelan kemudian meninggi. Kami mengungsi ke rumah sebelah, semua isi rumah tak sempat diselamatkan," kata ibu dua anak itu.
Warga lainnya, Febri, 41 tahun, mengaku bernasib serupa. Seperti Wiwi, rumah Febri di Kelurahan Rawajati, Jakarta Selatan, juga sempat terendam.
"Daerah ini belum dinormalisasi. Saya tidak tahu apakah nanti ada kelanjutan normalisasi atau tidak," kata dia saat dijumpai Alinea.id pada hari yang sama.
Terletak di bantaran Sungai Ciliwung, Febri mengatakan, hampir tiap tahun rumahnya langganan banjir. Karena itu,Febri berharap pemerintah tak sekadar saling menyalahkan dan segera mencari solusi yang tepat dalam menangani banjir. "Kalau kami sih mana-mana saja. Intinya rumah kami selamat dari banjir setiap tahun," katanya.
Selain naturalisasi yang hingga kini belum jalan, Pemrov DKI sebenarnya punya sejumlah program untuk menangkal banjir. Salah satunya ialah memasifkan drainase vertikal dan lubang biopori. Namun, program tersebut belum maksimal.
Tak ada solusi tunggal
Pakar geospasial Institut Teknologi Bandung (ITB) Bintang Rahmat Wananda mengatakan, tak ada solusi tunggal dalam mengatasi banjir. Karena itu, menurut dia, Anies harus terbuka terhadap semua jenis solusi, termasuk normalisasi.
"Enggak kayak sekarang, konsep baru ada, konsep lama disalahin. Itu kan enggak benar. Padahal, basis setiap konsep itu melalui perhitungan para ahli yang matang. Enggak sepenuhnya salah juga. Kekurangan konsep lama ditambahin konsep baru," ujar Bintang saat dihubungi Alinea.id di Jakarta, Kamis (9/1).
Menurut Bintang, normalisasi dan naturalisasi sama-sama membutuhkan lahan yang luas. Untuk naturalisasi, Pemprov DKI bahkan membutuhkan lahan seluas dataran banjir. Artinya, mau tidak mau, Anies pun harus menggusur rumah warga.
"Naturalisasi itu mengembalikan sungai ke kondisi sejatinya kan. Cita-citanya bagus, tapi applicable enggak? Mau bebasin lahan di sekitar sungai aja setengah mati. Ini mau bebasin lahan sedataran banjir. Yang benar aja. Terus dia (Anies) kan enggak mau mindahin orang. Gimana mau naturalisasi kalau enggak mau mindahin orang?"
Sebaiknya, lanjut Bintang, Anies mengawinkan konsep naturalisasi dan normalisasi. Pasalnya, tidak semua wilayah di bantaran sungai bisa dinaturalisasi. Menurut dia, naturalisasi paling tidak hanya bisa dilakukan di Pasar Minggu dan sejumlah titik di TB Simatupang yang memiliki lembah lebar.
"Poinnya, kenapa kita enggak bikin adaptive water management. Jadi, kita memang terbuka pada konsep baru, tapi tidak menyangkal konsep lama. Kenapa konsep lama enggak disesuaikan dengan konsep sekarang," ujar Bintang.
Diakui Bintang, sulit untuk benar-benar membebaskan Jakarta dari banjir. Apalagi, penyebab banjir di DKI beragam, mulai dari banjir kiriman, kurangnya drainase, menumpuknya sampah, dan curah hujan yang ekstrem akibat perubahan iklim.
Karena itu, ia menyarankan agar Pemprov DKI mulai menggunakan pendekatan penataan ruang berbasis risiko. "Misalnya ada yang mau bangun rumah di kawasan zona banjir. Nah, itu harusnya pemerintah bilang, IMB (izin mendirikan bangunan) kamu harus rumah dua lantai," jelas dia.
Lebih jauh, Bintang meminta agar Anies mengesampingkan kepentingan politis dalam penanganan banjir. Jika diperlukan, Anies harus berani menggusur rumah-rumah warga demi menjalankan program naturalisasi.
"Sudah dua tahun (diwacanakan program naturalisasi). Dari dulu konsepnya seperti itu. Terus mana programnya? Dia enggak mau naturalisasi, enggak mau normalisasi. Maunya apa? Akhirnya enggak ada yang dilakukan untuk Jakarta dalam masalah banjir ini," cetus dia.
Pakar hidrologi Universitas Indonesia (UI) Firdaus Ali sepakat Jakarta bakal sulit mengelak dari bencana banjir. Namun demikian, menurut dia, Pemprov DKI kerap lalai dalam mengantisipasi bencana tahunan itu.
Dalam kasus banjir awal tahun misalnya, Firdaus menyoroti tak berfungsinya mesin pompa air di sejumlah titik di Jakarta. Padahal, dampak banjir bagi warga semestinya bisa diminimalisir jika sarana dan prasarana pengendali banjir bekerja dengan baik.
"Tanggul-tanggul harus diperiksa. Pompa itu seharusnya dicek. Bila ada kelemahan, harusnya diperbaiki. Ini jelas kelalaian. Kebangetan itu. Pemda DKI Jakarta tak siap atasi banjir,” kata Firdaus kepada Alinea.id, Kamis (9/1).
Sebelumnya, Anies berkilah banjir besar yang melanda DKI pada awal tahun utamanya disebabkan oleh curah hujan ekstrem. Di kawasan Halim Perdanakusuma misalnya, intensitas curah hujan mencapai 377 milimeter per hari. Normalnya, curah hujan berada di bawah 100 milimeter per hari.
Namun demikian, menurut Firdaus, Anies tidak boleh bersembunyi di balik alasan perubahan iklim. Apalagi, Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) sudah mewanti-wanti Jabodetabek bakal didera cuaca ekstrem beberapa pekan sebelum banjir.
"Apalagi dengan peralatan BMKG yang makin canggih, kita dapat prediksi dan olah data untuk memberi peringatan kepada publik. Dibandingkan 10-15 tahun lalu masih banyak RTH (ruang terbuka hijau) di Jakarta. Kini juga sudah berkurang," ujar Firdaus.
Ke depan, Firdaus berharap, pemerintah mulai membiasakan memberikan peringatan dini banjir untuk warga. Anies misalnya, bisa bekerja sama dengan stasiun televisi untuk mengumumkan potensi banjir di berbagai wilayah sebelum air bah benar-benar menerjang pemukiman warga.
"Itu tak harus berbayar, tapi tugas sosial kan? Tapi, kita tidak melihat pemda bekerja sama dengan televisi. Banjir di ibu kota bukanlah barang baru, tetapi kita selalu panik kalau terjadi banjir. Ketika musim hujan berlalu, kita lupa lagi untuk bersiaga," kata dia. (Ron)