Kementerian Agama (Kemenag) menegaskan, Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas sama sekali tidak membandingkan suara azan dengan gonggongan anjing. Pemberitaan yang mengatakan Yaqut membandingkan dua hal tersebut adalah sangat tidak tepat.
Pelaksana Tugas (Plt) Kepala Biro Humas, Data, dan Informasi Thobib Al Asyhar mengatakan, Yaqut menjelaskan toleransi dalam kehidupan bermasyarakat dapat ditunjukkan dengan menjaga kebisingan pengeras suara. Sesuai Surat Edaran (SE) Nomor 05 Tahun 2022 tentang Pedoman Penggunaan Pengeras Suara di Masjid dan Musala.
"Dalam penjelasan itu, Gus Menteri memberi contoh sederhana, tidak dalam konteks membandingkan satu dengan lainnya, makanya beliau menyebut kata misal,” kata Thobib dalam keterangan, Kamis (24/2).
Menurut Thobib, Yaqut bukan mengutarakan kedua hal tersebut sebagai analogi perbandingan. Namun, sebagai contoh untuk menjelaskan suara yang terlalu keras apalagi muncul secara bersamaan, justru bisa menimbulkan kebisingan dan dapat mengganggu masyarakat sekitar.
Thobib menyampaikan, Yaqut tidak melarang masjid hingga musala menggunakan pengeras suara saat azan. Sebab, itu memang bagian dari syiar agama Islam.
Edaran yang Menag terbitkan, lanjut Thobib, hanya mengatur terkait volume suara agar maksimal 100 dB (desibel). Selain itu juga mengatur tentang waktu penggunaan disesuaikan di setiap waktu sebelum azan.
“Karena itu perlu ada pedoman penggunaan pengeras suara, perlu ada toleransi agar keharmonisan dalam bermasyarakat dapat terjaga. Jadi dengan adanya pedoman penggunaan pengeras suara ini, umat muslim yang mayoritas justru menunjukkan toleransi kepada yang lain,” ujar Thobib.
Sebelumnya, Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pelita Umat menyoroti video di media sosial yang tampak seperti Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas. Potongan video itu berisi pengaturan terkait penggunaan pengeras suara di masjid dan pernyataan yang memberikan contoh terkait anjing menggonggong di waktu bersamaan.
Ketua LBH Pelita Umat, Chandra Purna Irawan mengatakan, Menteri Agama sebaiknya berbicara dengan memilih kata yang tepat. Kata yang sekiranya tidak menimbulkan konflik dan ketertiban di masyarakat.
“Agar tidak menimbulkan gejolak dan menjaga ketertiban di tengah masyarakat,” kata Chandra dalam keterangan, Kamis (24/2).
Chandra melihat pernyataan itu tampak atau seolah-olah membandingkan antara azan dengan gonggongan anjing. Sehingga, tampak seperti menghina dan mencela keyakinan beragama.
Manurut Chandra, bagi umat Islam, azan merupakan bentuk pengagungan kebesaran Allah SWT dan ajakan saalat yang begitu mulia. Chandra menyebut, apabila perbandingan tersebut disampaikan ke diri sendiri atau internal terbatas tidak akan menimbulkan masalah.
“Tapi, ketika diucapkan di depan publik, maka berpotensi masuk dalam rumusan Pasal 156a KUHP yakni terkait adanya dugaan penistaan, pelecehan suatu keyakinan ajaran agama,” ujar Chandra.