Tantangan BRIN dan bagaimana negara maju urus lembaga riset
Usai dilantik Presiden Joko Widodo menjadi Kepala Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) pada Rabu (28/4), Laksana Tri Handoko mengungkapkan, ia diberi tugas mengonsolidasikan beberapa lembaga penelitian dan pengembangan pemerintah dalam waktu singkat.
Mandat tersebut diberikan kepada BRIN agar bisa menciptakan ekosistem riset dan inovasi yang baik. Harapannya, BRIN tak hanya menjadi motor riset dan inovasi, melainkan juga dapat menjadi fasilitator riset bagi lembaga ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek) lainnya, seperti perguruan tinggi dan swasta.
Dalam konferensi pers di Istana Negara, Jakarta, Rabu (28/4), Laksana mengungkapkan, BRIN juga menargetkan memberi dampak ekonomi dari berbagai aktivitas riset dan inovasi dari aneka litbang. Melalui cara itu, mantan Kepala Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) ini percaya bisa memicu investasi di sektor iptek.
Konsep dasar BRIN yang diungkapkan Laksana memang bukan kaleng-kaleng. Namun, organisasi yang dipimpinnya itu bakal menemui jalan terjal dalam mencapai tujuan tadi.
Sebab, menurut mantan Menteri Koordinator bidang Kemaritiman (2014-2015) Dwisuryo Indroyono Soesilo, pemerintah sudah tak menaruh prioritas pada perkembangan iptek selama satu dasawarsa terakhir.
“Pembangunan iptek tahun 2000 sampai 2020 itu, di mata saya enggak prioritas. Kita arahnya mau ke mana?” ujar Indroyono, yang pernah pula menjabat sebagai Kepala Badan Riset Kelautan dan Perikanan Departemen Kelautan dan Perikanan saat dihubungi Alinea.id, Rabu (14/7).
“Kalau kita enggak gunakan riset dan inovasi, enggak bisa loncat (jadi negara) maju.”
Pekerjaan rumah BRIN
Sementara itu, Rektor Institut Teknologi Indonesia (ITI) Marzan Aziz Iskandar menilai, kehadiran BRIN yang akan mengintegrasikan empat lembaga riset nasional, yakni LIPI, Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan), serta Badan Tenaga Nuklir Nasional (BATAN), belum akan melahirkan produk inovasi dan invensi yang besar. Mantan Kepala BPPT ini merasa, produk inovasi dan invensi bisa lahir dalam lembaga kecil.
“(Misalnya) perusahaan startup. Itu kan diinisiasi beberapa orang saja,” kata Marzan saat dihubungi, Rabu (14/7).
“Yang penting, ekosistemnya disiapkan, ada wahana di mana intensitas komunikasi yang terarah antara pebisnis, periset, pemerintah, maupun media massa.”
Menurutnya, intensitas komunikasi yang dibangun antara pemangku kepentingan dengan periset dan pelaku industri belum terjalin utuh. Maka, ia memandang, perbaikan komunikasi perlu dilakukan untuk menata kembali sistem riset dan inovasi dalam negeri.
Pola komunikasi bisa dimulai dengan cara mengeluarkan kebijakan yang baik untuk iklim iptek, riset, dan inovasi. Setelah itu, Marzan menuturkan, periset perlu menyesuaikan program penelitian dengan kebutuhan pasar. Dengan begitu, produk riset dan inovasi dapat dikomersialisasikan untuk meraup untung.
“Kalau semacam ini belum terjadi, kita akan mengalami kesulitan karena belum sinkron antara apa yang dibutuhkan pasar, dipahami industri, dengan apa yang dikerjakan lembaga risetnya,” ucap Marzan.
Pengamat kebijakan publik Trubus Rahardiansyah merasa ragu BRIN dapat menghasilkan produk inovasi dan invensi yang mendunia. Sebab, ada sosok yang ia nilai tak punya kapasitas dalam bidang iptek, seperti Ketua Dewan Pengarah BRIN, yakni Megawati Soekarnoputri, yang berlatar politikus. Dosen Universitas Trisakti tersebut khawatir arah riset dan inovasi nasional dipolitisasi.
“Dampaknya, kelembagaan BRIN itu orang-orangnya banyak yang tidak apik,” kata Trubus saat dihubungi, Rabu (14/7).
“Akhirnya tidak memikirkan bagaimana membuat output terkait inovasi atau mengaplikasikan kemampuan sumber daya manusia.”
Senada, Dewan Penasihat Kaukus Indonesia untuk Kebebasan Akademik (KIKA) Herlambang Perdana Wiratraman mengatakan, BRIN akan mengalami cengkeraman kepentingan politik dalam menjalankan agenda riset dan inovasi, jika Ketua Dewan Pengarah BRIN berlatar politikus.
Anggota Akademi Ilmuwan Muda Indonesia (ALMI) tersebut merasa, jalan terjal bakal dihadapi peneliti dan perekayasa BRIN dalam mengakselerasi program riset dan inovasi.
“Apalagi di masa pemerintahan Jokowi, saya melihat kecenderungan sains tak digunakan sungguh-sungguh,” ujarnya saat dihubungi, Kamis (15/7).
“Sekalinya melibatkan ilmuwan, tetapi saya merasa peran mereka hanya seperti badut yang sekadar mencari perekayasa jawaban untuk kepentingan politik kekuasaan.”
Walau demikian, Herlambang tak menolak keberadaan tokoh politik dalam struktur badan riset. Hanya saja, peran mereka harus dibatasi dan tak boleh mengintervensi pelaksanaan riset dan inovasi yang akan dilakukan peneliti. Bila diintervensi, maka dampak besar bakal muncul.
“Dampak itu bisa money politic, ekonomi, hukum, sosial, dan budaya. Contoh dampak yang paling parah, bagaimana bisa kasus Covid-19 Indonesia pada titik yang paling parah?” ujarnya.
“Memang enggak ada ilmuwan yang memprediksi sebelumnya kalau Indonesia akan kolaps? Jadi, dampaknya negara gagal menuntaskan tanggung jawab pelayanan atau hak kesehatan.”
Becermin dari negara maju
Di sisi lain, Indroyono menilai, riset dan inovasi sebuah negara bisa berkembang bila pihak swasta mendominasi. Setidaknya, hal itu bisa tergambar dari proporsi anggaran riset dan inovasi yang digelontorkan.
Pada 2019, pemerintah mengeluarkan dana riset hanya menyentuh 0,25% dari produk domestik bruto (PDB). Dari alokasi itu, sebanyak 84% pos anggaran belanja riset berasal dari pemerintah. Situasi ini berbeda dengan negara maju, yang perbandingan anggaran belanja riset dan inovasinya lebih dominan pihak swasta.
“Negara maju, seperti Amerika, China, Jerman, dan Jepang itu 70% risetnya dilakukan swasta, 30% pemerintah,” tutur Indroyono.
Adapun anggaran riset Amerika Serikat pada 2019 mencapai 3,1% dari total PDB atau setara dengan US$612.714 miliar. Kata Indroyono, dananya berasal dari lembaga pendanaan pemerintah, industri, dan yayasan filantropi.
“Di sini kita lihat (lembaga donor dari) NSF (National Science Foundation), Fulbright, NASA (National Aeronautics and Space Administration), Rockefeller Foundation, NOAA (National Oceanic and Atmospheric Administration), serta Bill & Melinda Gates Foundation,” kata dia.
Lalu, anggaran riset China pada 2019 mencapai 2,2% total PDB, setara dengan US$514.796 miliar. Pada 2019, Jepang memiliki anggaran riset 3,2% dari total PDB atau setara US$172.614 miliar.
Di tahun yang sama, Jerman memiliki anggaran riset 3,2% dari total PDB, setara US$131.932 miliar. Sedangkan Korea Selatan punya anggaran riset 4,6% dari total PDB, setara US$100.055 miliar. Dari jumlah itu, proporsi anggaran yang disumbangkan swasta sebesar 80% dan pemerintah 20%.
Lebih lanjut, Indroyono mengatakan, pemerintah perlu membangkitkan industri yang mengandalkan riset dan inovasi. Menurut dia, hal itu bisa terwujud jika iklim usaha dalam negeri memiliki daya saing.
Demi menciptakan daya saing usaha berbasis riset dan inovasi, ia mengatakan, perlu ada kebijakan yang menggairahkan pelaku usaha. Misalnya, memberi insentif pajak atau tata kelola yang ramping dan tak berbelit.
“Jadi, iklim iptek, riset, dan inovasi itu dibuat pemerintah, tapi implementasinya bisa dilaksanakan pemerintah dan private sector atau industri,” tuturnya.
Terkait dengan upaya itu, Indroyono menuturkan, pemerintah juga perlu merancang rencana induk riset dan inovasi dalam negeri. Tujuannya, menjelaskan arah pembangunan iptek. Untuk memuluskan pembuatan rencana induk, perlu pula ada satu sosok yang dekat dengan kepala negara.
“Lembaga riset dan inovasi seluruh dunia itu selalu dekat dengan pimpinan negaranya,” ujar Indroyono.
Berbeda dengan pendapat Trubus dan Herlambang, Indroyono justru menilai, keberadaan sosok politikus di BRIN sudah baik. Namun, perlu ada tokoh yang punya kapasitas dalam riset dan inovasi.
“Dewan pengarah BRIN kan bagus tuh, ada tokoh yang dekat dengan presiden, termasuk ex-officio,” ujarnya.
“Kalau saya (usul), Menkeu atau Bappenas (masuk dalam dewan pengarah) juga deh karena yang satu menentukan yang dan satunya menentukan kebijakan perencanaan iptek riset dan inovasi nasional.”
Selain itu, posisi badan riset dan inovasi di bawah komando langsung presiden dinilai menjadi ideal dalam mengakselerasi program. Di Amerika Serikat, Indroyono menjelaskan, regulator badan riset bernama Office of Science and Technology Policy (OSTP). Badan ini langsung ada di bawah presiden dan berkantor di Gedung Putih.
Sedangkan pelaksananya dijalankan badan riset yang terdiri dari National Institutes of Health (NIH), NASA, NOAA, perguruan tinggi, hingga pelaku industri. Sementara di China, badan riset dikendalikan Kementerian Sains dan Teknologi yang bertanggung jawab langsung kepada presiden.
Hebatnya, kementerian ini langsung membuat rencana induk High Tech Research and Development Program of China yang berisi 863 program dan dijalankan selama tiga kali rencana pembangunan lima tahun (repelita). Bahkan, rencana induk itu sempat diperpanjang menjadi 10 kali repelita. Artinya, rencana induk riset China memiliki masa 65 tahun.
Dengan rentang yang panjang, China menggodok beberapa program riset dan inovasi berbasis teknologi tinggi di sektor informasi, pertanian, biologi, farmasi, nanoteknologi, manufaktur, hingga transportasi penerbangan.
“Apa hasilnya? Hak paten China itu sampai 1,4 juta atau 43% paten di dunia,” ujarnya.
Di Jepang, regulator riset dan inovasi dijalankan Ministry of Education, Culture, Sports, Science and Technology (MEXT), yang bertanggung jawab langsung kepada perdana menteri. Tugas lembaga ini adalah merancang kebijakan, menganggarkan dana riset, serta mempromosikan produk sanis, teknologi, dan inovasi.
Kementerian tersebut memiliki badan yang bernama Japan Science and Technology Agency (JST), yang bertugas menyelenggarakan dan mengordinasikan program riset dan inovasi.
“Apakah ini BRIN (versi Jepang)? Yes. Dia yang connect antara lembaga riset, perguruan tinggi, dan industri,” tutur Indroyono.
Aktivitas riset Negeri Sakura itu juga dibantu Council for Science, Technology and Inovation (CSTI) yang melekat pada kantor kabinet. Tugas badan ini adalah mendukung segala program, kebijakan, hingga evaluasi jalannya riset di Jepang.
Pelaksana riset dan inovasi di Jerman adalah Federal Ministry of Education and Research yang bertanggung jawab kepada presiden. Fokus kebijakannya pada pengembangan inovasi teknologi tinggi, lingkungan hidup, perubahan iklim, kesehatan, digitalisasi, energi, dan ekonomi.
Sementara itu, pelaksana riset dan inovasi di Korea Selatan adalah Korean Institute of Science Technology (KIST) dan Ministry of Science and Technology. Sejak 1961, Korea Selatan melibatkan pelaku industri untuk mengembangkan iptek, serta memacu riset dan inovasi.
“Korea memacu research and development dengan mendorong konglomerat, seperti LG, Hyundai, dan Samsung. Mereka didorong untuk bangun industri petrokimia, pabrik mobil, dan industri elektronika dilindungi pemerintah,” tutur Indroyono.