Tim Advokasi Penegakan Hak Asasi Manusia (TAP-HAM), menemukan adanya ancaman terhadap korban dan keluarga korban kerangkeng manusia milik Bupati nonaktif Langkat Terbit Rencana Perangin Angin (TRP).
Temuan ini merupakan hasil investigasi yang dilakukan KontraS, KontraS Sumatera Utara, dan Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia (PBHI) atas perkara tersebut.
Pendamping hukum dari KontraS, Andrie Yunus mengungkapkan, kerangkeng tersebut memiliki struktur pengurus dengan peran yang berbeda-beda. Di antaranya ada kepala lapas (kalapas) yang bertugas mengatur seluruh kegiatan penghuni kerangkeng atau disebut anak kereng.
Kemudian, ada kepala kamar atau penghuni yang dituakan dan ditunjuk oleh Kalapas. Lalu ada juga bebas kereng yang berperan membantu tugas kalapas, serta anak kandang yang bertanggung jawab melakukan penjemputan calon penghuni kerangkeng dan mencari penghuni yang melarikan diri.
"Strukturnya dibuat seperti struktur komando, dan masing-masing menjalankan peran melalui struktur tersebut," ujar Andrie dalam keterangan pers, Senin (21/11).
Berdasarkan informasi yang diperoleh, ujar Andrie, korban ditangkap petugas kerangkeng setelah mendapatkan laporan dari pihak keluarga.
Laporan tersebut merupakan pengaduan yang meminta anggota keluarganya dilakukan pembinaan, mengingat kerangkeng manusia milik Bupati nonaktif Langkat ini sempat diklaim sebagai tempat rehabilitasi.
Namun, Andrie menyebut pihaknya menemukan bahwa orang tua yang ikut serta mengantarkan anggota keluarganya untuk dimasukkan ke dalam kerangkeng, dipaksa untuk menandatangani suatu perjanjian secara sepihak. Diungkapkan Andrie, perjanjian tersebut menyatakan anggota keluarga yang diserahkan wajib menjalani rehabilitasi selama 1,5 tahun.
"Jika kemudian penghuni ada yang mengalami sakit atau meninggal, pengurus kerangkeng tidak dapat dibebankan pertanggungjawaban baik hukum ataupun yang lainnya. Surat pernyataan tersebut ditandatangani keluarga di atas materai," papar dia.
Lebih lanjut, Andrie mengungkapkan, kerangkeng manusia yang ada di Langkat bukan merupakan tempat rehabilitasi, melainkan penjara. Pihaknya menemukan tempat tersebut tidak memiliki izin, bahkan tidak ada program rehabilitasi yang dapat dirincikan oleh petugas di lokasi itu.
"Jadi selama 10 tahun berdiri, kerangkeng yang diklaim TRP sebagai tempat rehab nyatanya tidak ada proses perizinan administrasi yang diurus, baik izin lokasi, izin mendirikan bangunan, bahkan hingga izin operasional," ungkap Andrie.
Selain itu, hasil investigasi yang dilakukan juga menemukan bahwa tidak semua korban yang masuk ke dalam kerangkeng merupakan pecandu narkotika. Di samping itu, ada juga anak-anak yang turut menjadi korban dalam kejahatan kerangkeng manusia tersebut.
Manager PBHI Gina Sabrina mengatakan, adanya ancaman yang diterima korban maupun keluarga korban dalam perkara ini merupakan bentuk pelanggaran hak asasi manusia, khususnya hak atas rasa aman.
"Orang tua dipaksa menandatangani perjanjian, bahwasanya melepaskan tanggung jawab atas kondisi penghuni kerangkeng jika sakit atau meninggal dunia, tentu ini melanggar hak atas rasa aman," ujar Gina.
Oleh karenanya, imbuh Gina, pihaknya menilai kasus kerangkeng manusia telah membuka tabir praktik perendahan terhadap harkat dan martabat manusia. Menurut dia, perkara ini sarat pelanggaran hukum dan HAM sehingga perlu diusut secara adil, transparan, dan akuntabel.