Cita-cita Raden Ajeng Kartini yang berupa kesetaraan nilai atau martabat perempuan di samping laki-laki, yang digaungkan pada paruh kedua abad ke-19 itu, harus diakui telah mencapai target.
Fokus Kartini saat itu adalah pendidikan. Realitas yang dilihatnya adalah diskriminasi yang menyeruak, hanya anak laki-lakilah yang diberi akses ke dunia pendidikan.
Kartini pun menjeritkan suara hatinya itu lewat surat-surat yang dikirimkannya kepada sahabatnya, putri dari JH Abendanon di Belanda dan publik saat ini bisa membacanya dalam buku klasik Habis Gelap Terbitlah Terang.
Martabat manusia paling dasar diukur dari ketercerahannya dalam menjalani hidup. Namun, ukuran umum paling mudah ditemukan parameternya apakah seseorang itu sudah tercerahkan atau belum bisa dilihat seberapa memadai dia mengenyam pendidikan.
Tentu saja perlu disebutkan di sini bahwa martabat yang berhubungan dengan tingkat pendidikan adalah martabat sosial. Di poin inilah Kartini menaruh perhatian. Itu sebabnya dia ingin perempuan berpendidikan, terpelajar sejajar dengan laki-laki.
Lebih dari seabad setelah Kartini menorehkan keprihatinannya ihwal tertutupnya akses perempuan ke dunia pendidikan, kini dalam kasus-kasus tertentu perempuan bahkan sanggup melampaui tingkat pendidikan yang dicapai kaum laki-laki.
Badan Pusat Statistik mencatat bahwa antara 2010-2015 jumlah perempuan yang mengantongi ijazah di beberapa level meningkat baik di perdesaan maupun perkotaan. Bahkan untuk pendidikan setingkat sarjana di pedesaan, kaum perempuan melewati pencapaian pria.
Dari populasi masyarakat Indonesia, masih menurut BPS, perempuan di kawasan perdesaan yang mencapai pendidikan tingkat sarjana sebanyak 3,37% sementara untuk laki-laki mencapai 3,14%.
Jika gambaran dunia pendidikan yang dicapai perempuan cukup menggembirakan, semua itu tak lepas dari pembangunan sektor kesehatan yang juga dinikmati oleh perempuan.
Secara nasional, kualitas kesehatan perempuan berada di atas mutu kesehatan laki-laki. Seperti dikemukakan Menteri Kesehatan Nila Moeloek belum lama ini, tingkat harapan hidup rata-rata orang Indonesia saat ini mencapai 71,48 tahun. Jika dipilah antara perempuan dan laki-laki, angkanya menjadi 73 tahun untuk wanita dan 69 tahun untuk laki-laki.
Di sini kelihatan bahwa dengan akses setara antara perempuan dan laki-laki dalam memperoleh layanan kesehatan, perempuan lebih sanggup mengelola raganya dengan gaya hidup yang lebih sehat sehingga tingkat harapan hidupnya melampaui pria.
Untuk pencapaian atau prestasi berbasis gender, tampaknya sudah tidak ada diskrepansi yang signifikan antara yang dicapai oleh pria dan wanita.
Di ranah politik, pencapaian pria dan wanita hanya dibedakan soal kuantitas. Sejak merdeka, Indonesia sudah memberikan posisi kursi kepresidenan kepada enam pria dan satu wanita.
Jumlah politikus tentu masih lebih banyak prianya daripada wanitanya. Ini cuma soal tradisi pembagian kerja yang alamiah. Yang substansial dalam menyoal apa yang pernah digaungkan Kartini adalah bahwa semua sektor profesi yang bisa dimasuki oleh pria, wanita pun sanggup memasukinya.
Ketua umum partai politik di Pemilu 2019 pun bukan lagi diduduki Megawati Soekarno Putri seorang tapi juga Grace Natalie dari Partai Solidaritas Indonesia (PSI).
Dengan tercapainya kesetaraan martabat berbasis gender, apakah ini berarti sudah hilang relevansi cita-cita Kartini di zaman sekarang? Jawabnya tentu belum. Bahkan relevansinya di dunia politik masih tetap tinggi. Kalangan masyarakat yang berbudaya patriarki merupakan tantangan bagi perempuan untuk mengatasinya.
Masyarakat yang memegang teguh tradisi bahwa kekuasaan laki-laki harus di atas kaum wanita masih dianut dengan teguh di sejumlah komunitas di Tanah Air. Dalam perebutan kuasa politik, perempuan juga sering dipinggirkan lewat praktik politik identitas berbasis agama.
Namun, secara perlahan restriksi kultural dan politis itu mulai dipatahkan sebagian lewat efek pendidikan yang dicapai oleh perempuan itu sendiri dan sebagian lewat perjuangan politik demokratis yang memberikan nilai suara perempuan sama dengan suara pria.
Gerakan feminisme yang diperkaya oleh tulisan Mary Wallstonecraft yang juga mempengaruhi gerakan sosial politik di Tanah Air seputar peran perempuan dalam bernegara agaknya perlu dinilai sebagai daya penggerak tambahan atas tercapainya cita-cita Kartini dalam memartabatkan wanita di hadapan pria.
Kini pandangan hidup yang dianut etnis Jawa tentang perempuan sebagai “konco wingking” (teman di belakang) yang identik dengan belahan jiwa dan kosmologi Kejawen yang merendahkan derajat wanita dalam semboyan surgo nunut neroko katut (ke surga ikut, ke neraka terseret) sudah diabaikan.
Gaya hidup mandiri yang dinilai lebih baik daripada berpasangan dalam penderitaan yang memunculkan gejala orang tua tunggal agaknya merupakan bentuk ekspresi tentang ditinggalkannya filosofi surgo nunut neroko katut itu.
Pembagian kerja secara kultural bahwa suami harus mencari uang dan istri harus mengurus rumah tangga juga sudah tak menjadi kemestian lagi. Tak sedikit istri yang menjadi tulang punggung dalam memenuhi kebutuhan rumah tangga sementara pria berperan mengurus manajemen keluarga.
Pengelolaan kehidupan yang berbasis gender dengan meletakkan posisi perempuan di bawah posisi laki-laki sudah diperlihatkan kebobrokannya baik secara teoritis maupun praktis oleh para pemikir feminisme.
Kesadaran bahwa kuasa wanita sepantar dengan kuasa pria dalam memaknai dan menjalani kehidupan sudah merambah ke mana-mana, bahkan ke wilayah perdesaan. Akselerasi diseminasi kesadaran ini dimaksimalkan oleh kemajuan teknologi informasi.
Akhirnya, dalam konteks keindonesiaan, kemerdekaan, kemandirian adalah efek lebih lanjut atas perjuangan dan cita-cita Kartini untuk menyepadankan martabat wanita di hadapan laki-laki. Dari sudut pandang inilah bisa dibilang bahwa target Kartini sudah terlampaui. (Ant)